02
Dahiku mengernyit, mataku menyipit memperhatikan anak Pak Sello alias Dovan yang sedang berdiri tak jauh dari mejaku, menari-nari sambil menggumam satu nyanyian yang lumayan familiar di telingaku.
“Dov, ngapain?” Panggilku, buat bocah dengan rubik di tangannya itu menoleh, berhenti melakukan aktivitasnya.
“Jadi Morgan, Tan.”
“Ha? Morgan? Morgan...”
“Semes, Tan, Semes.”
“Smash?”
“Iya, yang cenat cenut. Gini nih, 'kenapa hatiku cenat cenut cenat cenut'.” Senandungnya sambil membuat gerakan hati maju mundur dengan kedua tangannya di depan dada.
Ini tahun berapa tolooong, kok bisa bocah ingusan semacam Dovan ini bisa kenal Morgan Smash?
Aku melambaikan tanganku, mengisyaratkan Dovan untuk mendekat. Dan bocah itu beneran datang ke depan mejaku.
“Kenapa Tan? Mau ngasih aku jajan?”
Kalau bukan anak bos sendiri mungkin dia udah aku jitak.
“Bukan. Kamu kenal Morgan Smash dari siapa?”
Dovan manyunin bibirnya, terus kepalanya menoleh ke arah kanan dan tangannya terulur menunjuk ke satu arah. “Tante Depi.”
Aku menoleh, menatap Devi yang tengah sibuk mengetik di komputernya. “Dev.” Panggilku.
Perempuan itu menoleh, menggerakkan kepalanya seolah bertanya 'kenapa?'.
“Kamu ngasih Dovan nonton videonya Smash?”
Devi menggeleng cepat. “Dovannya tadi yang maksa minta ikut nonton, bukan salahku dong kalau sekarang—”
Suara dering telepon kantor di mejaku langsung memutus ucapan Devi. Begitu juga kontak mataku dengan kawan semasa SMA-ku itu. Aku memutar kursi, menerima panggilan yang masuk. Belum sempat aku menyapa, orang di ujung sambungan sudah terlebih dahulu berucap.
“Cepat ke ruangan saya.”
Lalu putus begitu saja.
Tsk, ingin rasanya aku banting ganggang telepon ini.
Aku bangkit dari kursiku, lalu Dovan mulai berkicau. “Tante mau ke mana?” Tanyanya mendongak, menatapku dengan mata polosnya.
“Ketemu sama Papa kamu. Ikut?” Sengaja aku mengajak Dovan, siapa tahu di dalam sana aku akan diomeli. Kalau aku ajak Dovan kan pasti si Ansello itu mikir seribu kali sebelum mengomeli aku.
“IKUUUUT!”
Aku tersenyum, mempersilahkan Dovan masuk duluan ke dalam ruangan Pak Sello.
“Sil—” Mata Pak Sello tertuju pada anaknya yang ikut masuk denganku, lalu pindah padaku. “Kamu ngapain ngajak Dovan?”
“Dia yang ikut.” Jawabku.
“Ck, ya sudah, duduk.”
“Dovan duduk di mana, Pa?”
“Di sofa.” Jawab Pak Sello tersenyum ke anaknya.
“Okeey!” Balas Dovan sambil membuat ok sign dengan jarinya, lalu berlari dan melompat duduk ke atas sofa.
Mata Pak Sello berpindah, dari yang tadinya hangat ke anaknya langsung berubah dingin saat bertemu denganku. “Kamu kenapa masih berdiri?”
Aku menghela nafas pelan, lalu menarik kursi di depan meja kerja Pak Sello dan duduk seperti perintahnya barusan.
“Ada apa, Pak?” Tanyaku.
“Jadi gini...” Pak Sello menata dokumennya, mengetuk-ketukkan ujung tumpukan kertas yang ia pegang di atas meja. “Minggu depan rencananya saya mau liburan keluarga sama Dovan.”
Entah kenapa aku mencium aroma wangi kebebasan.
“Mungkin sekitar semingguan ke desa.”
Aroma wanginya makin menyeruak kawan!
“Dovan katanya mau ngelihat kerbau.”
Tadi pengin jadi Morgan cenat-cenut, sekarang pengin ngelihat kebo. Impiannya Dovan kenapa aneh-aneh gini sih?
“Kamu ikut ya?”
Aromanya sekarang berubah busuk. Busuk banget!
“Maaf? G-gimana Pak? Saya...”
Pak Sello meletakkan kertas-kertas dokumennya ke dalam map, wajahnya naik menatapku lurus. “Kamu ikut liburan bareng saya sama Dovan ke desa.”
Aku menganga, terus mingkem setelah melihat telapak tangan Pak Sello bergerak dari terbuka ke menutup.
“Pak, Bapak bilang kan itu tadi liburan keluarga, ya seharusnya yang pergi ya Bapak sama keluarga Bapak. Saya,” Aku menunjuk diri sendiri. “bukan bagian dari keluarga Bapak. Saya hanya sekretaris yang tugasnya membantu Bapak setiap pekerjaan yang berhubungan dengan kantor. Tapiiii.. Kalau soal yang satu tadi kayanya gak bisa deh, Pak. Soalnya saya juga sudah ada janji dengan teman saya—”
“Yang kacamataan itu? Mau nonton Tulus?” Wajah Pak Sello berubah menyebalkan.
Aku tersenyum kecil. “Iya.”
“Saya kasih kamu upah tambahan. Soalnya Dovan mau kamu ikut, jarang loh saya sampai mohon-mohon begini ke karyawan.”
Dahiku berkerut, tak yakin dengan ucapan Pak Sello. Kepalaku perlahan menoleh ke bocah laki-laki berbaju kodok yang sekarang sibuk tiduran di sofa sambil memutar-mutar rubiknya, seolah tak mendengar percakapan yang baru saja terjadi.
Aku kembali melihat ke Pak Sello, dan orangnya sudah mengangkat sebelah alis tebalnya, seolah bilang “Gimana? Mau ya?”
“Saya pikir-pikir dulu deh, Pak. Soalnya jarang saya bisa keluar sama Angga.”
“Oooooh~ kamu suka ya sama temen kamu itu?” Mata Pak Sello memincing.
“Suka sih enggak, Pak. Cuma jarang, kan saya pergi nonton konser Tulus gratis. Perginya sama orang ganteng pula.” Jawabku asal.
“Emang di mata kamu saya gak ganteng?”
Ketawa lah aku sama omongan Pak Sello barusan. Pede sekali manusia satu ini?! Waktu kecil kebanyakan makan kaca ya?
Duh, iya deh ganteng. Tapi kalau orang ganteng tiba-tiba ngomong kaya gitu rasanya kaya lagi nonton acara lawak. Lucu aja dan memalukan. Buat aku pribadi ya!
“Ganteng kok, Pak, ganteng. Cuma ini kan saya maunya pergi ke konser Tulus, bukannya tamasya ke desa bareng seorang duda dan anaknya.” Makin nyeplos aja mulutku.
Dahi Pak Sello berkerut, wajahnya berubah serius. “Kamu mau saya halalin dulu biar gak jalan sama duda dan anaknya?”
“Saya bukan babi, Pak. Gak perlu dihalalin.”
Pak Sello merapatkan bibirnya, mengusap wajahnya dengan telapak tangan dan menghela nafas berat. Lalu memaksakan diri untuk tersenyum.
“Ya udah, kamu pikirin aja dulu. Nanti kalau saya inget kamu saya kasih tahu jumlah upah tambahannya berapa kalau kamu mau ikut.”
Aku memberikan sign ok dengan jariku pada Pak Sello dan bangkit dari dudukku sekarang.
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Pamitku.
“Tante! Ikut!!”
“Udah saya bilang, kan anak saya suka sama kamu?”
Iya, Pak, terserah. Dovan memang suka sama saya, suka ngerecokin saya maksudnya.
— akal bulus —
Waktunya makan siang tiba, aku dan Devi bersamaan pergi ke luar kantor untuk makan ke warung nasi Padang. Kebetulan banget kami lagi kepingin makan nasi kuning.
Selama di perjalanan menuju tempat makan, kami berdua sempatkan untuk mengobrol tentang Pak Sello. Sebenarnya Devi dulu sih yang mulai, aku mah ikut aja.
Devi ini lebih dulu kerja di kantor Pak Sello ketimbang aku, aku masuk ke sini juga karena bantuan dia. Jadi kalau semisal bicarain soal Pak Sello ya dia jagonya.
“Kamu tau gak, Sil? Pak Sello itu dulu pernah cuti setahunan gitu, dan selama setahun itu kantor dipegang langsung sama adiknya, Pak Brili. Selama setahun itu, gak gak, bahkan sampai sekarang nih ya gak ada yang tahu tuh alasan kenapa Pak Sello tiba-tiba cuti begitu. Baru deh pas banget sebulan sebelum kamu keterima di kantor, Pak Sello balik lagi dan Pak Brili yang tukang ngelawak itu balik ke Malang.”
“Aku gak tau sih harus komentar apa. Tapi, Dev..”
“Hm?”
“Kamu tahu gak kenapa Pak Sello bisa cerai sama istrinya?” Oke, aku lumayan kepo sama hal ini karena sebel aja kenapa dia gak ngajak mantan istrinya aja buat liburan keluarga sama dia. Ngapain juga harus ngajak aku, ganggu orang mau nonton konser Tulus aja!
Devi mengetuk-ketukkan ujung telunjuknya di bibir bawahnya, berpikir. “Soal itu juga aku kayanya kurang tahu deh, Sil. Dulu sih ya pas awal-awal nikah tuh Bu Maya sering banget pas makan siang ke kantor bawain makan siang buat Pak Sello, tapi cuma beberapa bulan aja sih, habis itu dia gak pernah main lagi tuh ke kantor.”
“Terus... Kalau Dovan?”
Devi melirik aku. “Dovan kan baru dibawa ke kantor setahun setelah kamu kerja di kantor.”
“Iya, maksudnya kenapa gak gantian diasuh gitu loh? Kan biasanya ada tuh yang oper sana seminggu, oper sini seminggu. Kaya aku, sebulan di sini, sebulan di sana.”
“Ya jangan disamain dong! Ada ajalah hak asuh yang diambil sepenuhnya sama salah satu pihak orang tua. Tergantung sama pengadilannya juga. Ayo ah buruan jalannya, keburu jam makan siangnya selesai!” Katanya sambil menarik tanganku dan berjalan terburu menuju warung nasi Padang.
Padahal dia sendiri yang tadi mulai ngobrolin soal Pak Sello. Duh.