Ringkasan
Silvia adalah seorang sekretaris yang bekerja di bawah pimpinan Ansello, seorang duda beranak satu yang ditinggal pergi oleh istrinya setelah melahirkan putranya yang bernama Dovan. Selain menjadi sekretaris, Silvia juga terkadang harus direpotkan dengan kehadiran Dovan yang sering dibawa oleh Ansello ke kantor. Hobi Dovan adalah bertanya ini itu kepada Silvia, sampai-sampai buat kepala Silvia hampir pecah karena sikap anak dari bosnya tersebut. Ansello yang awalnya tak begitu tertarik dengan Silvia pun jadi diam-diam menaruh rasa ketika melihat Dovan yang begitu suka mengusik Silvia yang sedang bekerja.
prologue
Aku cuma bisa diam memandang Pak Sello yang sejak tadi berdiri di depan kap mobilnya yang terbuka, entah sungguhan memeriksa ada masalah atau tidak dengan si mesin mobil atau malah hanya sekadar dia lihat-lihat saja. Pasalnya, dia sudah lima belas menit lebih berdiri di depan sana sambil bertolak pinggang, merunduk seolah ingin memarahi mesin mobil yang tiba-tiba mogok di tengah jalan menuju kantor setelah tadi kami bawa pergi ke lokasi proyek baru dari klien kami.
“Pak, apa gak manggil montir aja?” Tanyaku, ini sebenarnya aku setengah gelisah karena sekarang sudah hampir pukul lima sore, mana kantor masih jauh pula dari daerah sini.
Masih dengan tangan yang berada di atas pinggang, pria berjas garis-garis itu membalikkan badannya, memandangku datar. “Boleh-boleh, coba tolong kamu telponin aja ya. Saya juga gak ngerti ini masalahnya di sebelah mana.”
Kalau tahu gak bisa benerin kenapa dari tadi dipandangin terus sih, Pak?!!
Taulah ya si Bapak emang ganteng, tapi ya gak usah coba bikin si mesin mobil kantor jatuh cinta sama muka dia dulu biar bisa nyala sendiri. Astagfirullah.
“Saya mana ada nomor bengkel, Pak? Bapak aja deh yang nelpon. Saya pulang pergi kantor aja masih pakai ojek online.”
Pak Sello nurunin tangannya dari pinggang, menghela nafas panjang. “Saya juga mana punya? Mobil saya, kan gak pernah mogok kaya gini. Tau gitu saya gak bakalan pergi pakai mobil ini, mending pakai mobil sendiri.”
Kalau udah tahu mobilnya sendiri lebih bagus dan gak mogokan kaya mobil kantor kenapa juga situ maksa naik mobil kantor sih?!
“Terus sekarang gimana?” Tanyanya.
“Gimana apanya, Pak?”
“Ini kita terus gimana baliknya ke kantor?”
“Pesen taksi online aja, Pak. Kalau enggak ya ojek online biar makin cepat sampai kantornya. Jam segini, kan Surabaya sudah mulai rawan macet.”
“Ya udah kamu pesen deh dua. Saya ambil laptop sama tas saya di mobil.”
“Pesan satu aja ya, Pak.”
Pak Sello menatap sangsi, batal bergerak dari tempatnya. “Kan tadi saya bilang dua. Kamu udah bersihin telinga kamu, kan?”
“Ya kan buat Bapak sendiri. Sayanya gak usah.”
“Kenapa?”
“Soalnya rumah Ibu saya ada di sekitar sini. Kalau balik ke kantor dulu ya mau ngapain? Udah mau jam pulang kantor, tas juga sudah saya bawa ini.”
Pak Sello memincingkan mata, bibirnya yang manyun bergerak ke kanan-kiri seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Rumah Ibu kamu di sebelah mana?”
Kok perasaanku gak enak ya?
— akal bulus —
“Bosmu itu umurnya berapa?”
“31 kalau ndak salah, Bun.”
“Ganteng ya?”
“Ya begitu itu.”
“Sudah punya istri dia?”
“Duda, Buun..”
“Waaah, kok bisa?”
“Gak tau, Bun. Aku gak pernah kepo sama kehidupan pribadi dia. Bunda kenapa gak ngobrol langsung aja sih sama orangnya? Tanya-tanya aja sendiri biar anak Bunda ini besok dipecat dari kantor.”
“Jangan ngomong begitu!” Omel Bunda mencubit lenganku. “Dipikir nyari kerja itu gampang apa?”
“Aduh, Buun, sakit Ya Allah!”
“Biar tau rasa, biar kalau ngomong gak sembarangan. Ngomong-ngomong...” Bunda tersenyum lebar. “Kamu gak ada kepikiran gitu buat deketin dia?” Bunda menaik turunkan alis dengan menyebalkannya.
Aku batal mengambil tatakan cangkir, lebih memilih untuk menoleh dan menatap Bunda. “Dia duda, Bun. Punya anak umurnya lima tahun, udah bisa jalan, bisa ngomong, bisa bikin orang kesel juga. Lagipula siapa juga yang mau nikah sama duda?” Jelasku pelan-pelan, biar Bunda paham.
Bunda menepuk punggungku agak keras. “Banyak tau yang mau nikah sama duda!”
“Terus kenapa Bunda gak rujuk sama Ayah? Ayah kan juga duda, jangan pilih-pilihlah.”
“Siapa yang pilih-pilih? Ayahmu itukan dudanya sama Bunda, ya masa Bunda nikah lagi sama dia? Beda cerita lagi kalau dudanya itu bos kamu, udah ganteng, kaya, I—”
“Punya anak.” Potongku.
Bunda melirik malas. “Iya, punya anak. Tapi Bunda pasti juga bakalan tetap mau sama dia.”
“Inget umur, Buuuuun. Bangun, udah mau Maghrib.”
“Umur Bunda masih empat limaan ya!”
“Kaya tahun kemerdekaan ya, Bun? Tua.”
“Minta bunda pites kamu??”
“Hehehe..”
“Udah sana bawa tehnya ke depan. Kasihan tuh bos kamu kelamaan nunggu.” Suruh Bunda, padahal yang dari tadi buat aku lama bikin tehnya ya dia. Hadeh.
Aku bawalah secangkir teh panas buatanku ke ruang tamu, Bunda jelas dong mengekor di belakang. Masih mau lihat muka gantengnya Pak Sello katanya.
“Silahkan diminum, Pak.” Ucapku sembari meletakkan cangkir dan tatakannya di meja depan Pak Sello.
Kepala Pak Sello mengangguk, tersenyum tipis. “Terima kasih, saya jadi ngerepotin kaya gini.”
Haha.
Akal bulusnya itu loh...
Wong juga tadi dia sendiri yang minta dibawa ke sini.
“Gak apa-apa kok, gak ada yang merasa direpotin. Silahkan diminum.” Kata Bunda dengan senyum sumringahnya.
Kalau kaya gini jadi kebayang Bunda beneran suka sama Pak Sello, nikah, terus aku punya adek angkat yang namanya Dovan alias anaknya Pak Sello yang masih lima tahun dan super nyebelin itu. Duh.
“Iya, Bu.” Dia senyum lagi ke Bunda, terus matanya pindah ke aku. “Oh iya, Sil..” Pak Sello gerak-gerakin alisnya, ngasih kode yang aku tahu benar apa maksudnya.
Aku sebenarnya gak mau ya setuju sama idenya Pak Sello. Meskipun awalnya aku yakin kalau Bunda bakalan nolak, tapi kalau sudah lihat betapa kesemsemnya Bunda sama rupanya Pak Ansello ini... Aku jadi ragu kalau Bunda bakalan nolak.
“Kenapa?” Tanya Bunda yang tingkat kepekaannya melebihi tinggi badannya Pak Sello.
Aku menoleh ke Bunda, terus noleh lagi ke Pak Sello, habis itu noleh lagi ke Bunda. Semoga leherku gak patah setelah ngelakuin gerakan yang sama sebanyak seratus kali.
“Gini loh, Bun... Jadi kan... Ini... Tadi aku sama Pak Sello kan habis dari lokasi proyek, terus mobil kantor yang kami pakai mogok di jalan dekat pertigaan sana. Niatnya tadi mau manggil montir, tapi udah kesorean, jadi makanya aku mampir ke sini. Montirnya baru bisa datang besok pagi, jadi...”
“Kalian mau nginep di sini?”
Apa aku bilang? Sinyal kepekaan Bunda tuh memang gak pernah bisa diragukan.
“Kalau boleh sih, Bu.”
Senyum Bunda mengembang kesenangan. “Ya boleh doooong! Bapak Sello mau jadi mantu saya juga boleh banget!”
Maaf, Bun, tapi tanganku refleks ingin menabok punggungmu. Jangan kutuk aku.
— akal bulus —
“Ini Pak.” Kataku mengulurkan pakaian lama Ayah yang sengaja aku simpan di lemari kamar.
Pak Sello melihat baju yang aku ulurkan ke dia, cuma dilihat, gak diambil. “Apa?”
“Baju ganti buat Bapak. Emang Bapak gak risih pakai baju itu terus seharian?”
“Baju kamu?” Dia menunjuk pakaian yang masih aku pegang.
“Ya enggaklah, Pak. Ini baju lama Ayah saya, tinggi Ayah saya gak jauh beda kok sama Bapak. Kayanya sih bakalan muat.” Kataku.
“Punya handuk baru gak? Jadi pengin mandi.”
Begini nih kalau gak ada Bunda. Namanya juga bos ya, Sil, turutin aja daripada dipecat dari posisi sekretaris.
“Mau sekalian sabun sama sikat gigi baru gak, Pak?” Niatnya mau sarkas.
“Boleh boleh, tolong ya.”
Ngomongnya halus, tapi di telingaku kok kedengarannya kaya dia gak tahu diri banget ya?
“Kenapa Bapak gak pesen ojek atau taksi online aja sih, Pak? Kenapa harus nginep di sini?”
“Saya belum isi kuota, gak bisa pesen.”
“Saya pesenin.”
“Gak gak gak, nanti malah saya hutang kuota ke kamu.”
“Halah Pak, wong cuma pesen taksi online ini. Saya ikhlas—”
“Ini handuk, sabun sama sikat giginya mana? Saya udah kegerahan ini.” Tak acuhnya sambil melonggarkan dasi, padahal sekarang dia masih di ruang tamu, tentunya pintu depan harus dibuka soalnya Bunda sedang pergi ke rumah RT, mau lapor kalau dia ada tamu di rumah. Sengaja biar gak ada yang salah paham.
“Gak sekalian samponya, Pak?” Kesalku.
“Boleh.”
WALAAAH, PENGIN NGERAUK MUKANYA BENERAN AKU SEKARANG. Rasanya aku yang punya riwayat darah rendah ini jadi berubah pindah haluan ke darah tinggi.
“Eh iya, Sil.”
“Kenapa lagi?” Tanyaku melirik malas.
“Ayah kamu mana? Belum pulang kerja?”
“Ayah saya gak tinggal di sini, Pak. Bunda sama Ayah saya sudah pisah dari saya SMP. Saya ke belakang dulu nyari handuk buat Bapak.” Kataku melengos masuk ke bagian dalam rumah.
“Sabun, sikat sama sampo jangan lupa!”
“Iya Pak, astagfirullaaah!”
— akal bulus —
“Oh, anaknya Jenderal to?” Pak Sello mengangguk-angguk kan kepalanya setelah aku cerita soal siapa Ayah ke dia.
Selain nyebelin, manusia satu ini juga tingkat kekepoannya lumayan tinggi.
“Mantan.”
“Oh.. Anak mantan Jenderal too?”
“Ya gak usah diulangin, Pak.” Kataku seraya masuk ke dalam warung sate, memesan tiga porsi sate untuk dibungkus dan dibawa pulang.
Jadi begini, kenapa sekarang aku dan Pak Sello ada di warung sate? Singkat cerita, tadi setelah Ibu pulang dari rumah Pak RT, Nyai Kanjeng Ratu Yuriana Sukma Rahayu Adiwangsa bilang kalau dia gak masak apa-apa karena bulan ini bukan jadwalku untuk tinggal bareng dia. Dan ya, kami berdua disuruh pergi keluar untuk beli sate yang dia mau, boncengan bareng Pak Sello naik scoopy merah muda punya Ibu.
Bayangin dong seorang Herdian Ansello Wibowo keluar rumah dengan kaos tiga warna ala bapak-bapak, naik motor scoopy merah muda sambil pakai helm setengah muka keliling kota boncengin anak orang cuma buat nyari sate ayam.
Hehe, kalau buat aku sih lucu, soalnya jarang ngelihat Pak Sello kaya gini. Apalagi kalau di kantor dia biasanya pakai setelan jas rapi tuh, terus rambutnya suka dibikin kelimis ganteng gitu kan. Beuh, tampang-tampang yang bisa buat Bunda jatuh cinta.
Gak, aku gak nge-ship Bunda sama Pak Sello. Ya kali?
“Kamu masih tinggal sama orang tua kamu?” Tanya Pak Sello mengambil satu bungkusan keripik singkong seribuan yang ada di meja tempat kami menunggu.
“Iya.”
“Umur kamu bukannya udah mau masuk dua lima ya? Gak kepikiran gitu buat punya rumah sendiri? Minimal kamu sewa apartemen, atau enggak ngontrak rumah gitu. Saya dulu aja umur dua empat sudah punya rumah sendiri, terus nikah, punya anak.”
“Ya jangan disamain gitu dong, Pak. Bapak laki-laki, saya perempuan. Saya baru dapat kerja kemarin sore, Bapak—”
“Vi!”
Aku menoleh.
“Angga?”
“Di sini kamu? Kirain masih di Benowo.” Angga duduk di sebelahku, seolah gak lihat keberadaan Pak Sello.
Angga, dia ini temen aku di sini, rumahnya cuma beda satu kompleks sama rumah Ibu. Dulu kami kenalan pas waktu SMA, kami juga sempet pacaran seminggu pas kelas sebelas. Iya, cuma seminggu. Kami sepakat putus karena merasa jauh lebih nyaman kalau jadi teman aja seperti sedia kala. Jadi, sampai sekarang kami masih berteman. Haha. Happy ending sangat.
“Aku ke sini cuma mampir, kebetulan tadi habis dari lokasi proyek eh malah mobil kantornya mogok di tengah jalan. Untung banget lokasinya deket rumah Bunda, jadi nginep aja di sana, sekalian nungguin mobil.”
“Ooh,” laki-laki berkacamata itu nganggukin kepalanya. “berarti besok kamu balik lagi dong ke rumah Om Bima?”
“Iyalah, Ngga.”
“Kemarin aku lihat di Instagram, Tulus bakalan tampil tuh di Surabaya. Kamu nonton gak?”
“Ih, serius? Aku gak tahu. Kapan-kapan?” Hebohku yang langsung terinterupsi dengan suara dehaman dari kursi seberang.
Aku menoleh, jadi lupa daratan juga kalau sudah ketemu sama Angga.
“Eh, ada orang?” Celetuk Angga bikin aku nahan ketawa, beda sama yang diceletukin, matanya udah hampir copot dari tempatnya.
“Ngga, kenalin, ini bos aku, Ansello namanya.” Ucapku menepuk lengan Angga.
Angga menyunggingkan senyum ramah, mengulurkan tangannya ke Pak Sello yang mukanya jauh dari kata ramah.
“Angga.”
“Sello.” Balas Pak Sello menjabat tangan Angga sekilas, lalu ia lepas dan kembali ia gunakan untuk memakan keripik singkongnya, sibuk sama dunianya sendiri.
“Eh Vi, kita nonton Tulus-nya bareng aja gimana? Soal tiket nanti aku yang cariin deh.”
“Boleh-boleh, tapi sebelum beli tiketnya kasih tau dulu aku tanggal pastinya. Biar aku bisa cocokin jadwal kerja aku.”
“Acaranya habis Isya' kok. Sempet pasti.”
“Iya kalau dia gak saya suruh lembur.” Celetuk Pak Sello yang langsung buat kami berdua menoleh.
Oke, dia emang ngeselin.
“Memang sejak kapan kantor kita pernah biarin karyawannya lembur? Biasanya juga kalau memang kerjaannya numpuk ya dibawa pulang. Bapak jangan ngelantur deh, kalau gak biasa makan keripik singkong mending gak usah dimakan. Siapa tahu otak Bapak jadi agak geser karena gak biasa makan singkong.”
Pak Sello menatap tak terima. “Kenapa jadi nyalahin singkong? Saya begini-begini juga pernah makan singkong, meremehkan saya kamu!”
Aku bisa dengar suara ketawa pelan dari orang di sebelahku. “Ini kenapa jadi pada ngeributin soal singkong? Kasihan tau singkongnya.”
Dan keberadaan Angga pun tak begitu bisa membantu, yang ada malah makin memperparah.