03
Pertama, aku seneng dong ya setelah sekian lama gak ketemu sama Jinan jadi bisa ketemu lagi gara-gara Pak Sello yang seenak jidatnya nurunin aku di pinggir jalan.
Kedua, aku juga seneng karena bisa tukeran nomor sama Jinan. Hehe. Hehehehe.
Ketiga, tapi semua kebahagiaan itu hancur lebur karena kelakuan anak Pak Sello alias Arian Dovan Wibowo yang entah secara sengaja atau enggak masukin ponselku ke dalam mug kopi yang memang biasa aku taruh di atas meja kerja dekat keyboard.
Kejadiannya bener-bener pas tempat di depan mataku sendiri. Aku beneran lihat dia, bocah nyebelin itu dengan santainya celupin ponsel aku ke dalam mug kopi setengah penuh itu sesantai dia celupin oreo ke dalam gelas susu.
ANAKNYA SIAPA SIH INI YA TUHAAAAAN?!!!
“Gak mau tau, Pak! Pokoknya Bapak harus ganti!”
“Masa anak Jenderal gak bisa beli handphone baru sendiri?” Cuek Pak Sello.
“Mantan Pak! Mantan!”
“Iya iya, mantan Jenderal.”
“Sekarang yang jadi masalah itu bukan saya anak mantan Jenderal terus gak mampu buat beli handphone baru. Tapi, ini masalahnya adalah anak Bapak yang udah bikin rusak handphone saya! Bapak harus tanggung jawab!”
“Bukti?”
Mataku mendelik, kedua tanganku terkepal ingin sesegera mungkin melayangkan tinju ke muka songong duda beranak satu di balik meja ini.
“Bapak lihat aja CCTV! Devi juga lihat kok gimana anak Bapak mikirnya handphone saya itu oreo versi baru.”
“Emang hape kamu android?”
“Iya! Udahlah, Pak buruan tanggung jawab!”
“Tanggung jawab apa?”
Bukan, itu bukan suara Pak Sello.
Yang satu ini suara perempuan. Kedengeran kaget dan sumbernya dari belakangku.
Aku belum balik badan sih, tapi Pak Sello matanya sudah mendelik sendiri melihat ke belakangku.
Wah, sial... Siapa nih?! Jangan-jangan mantan istrinya Pak Sello? Siapa namanya? Bu Maya? Bukan Maya Estianty, kan ya? Bukan Luna Maya juga, kan ya? Kalau iya ya apa kabar nasib hamba Ya Tuhaaaan???
“Tanggung jawab apa maksudnya?” Suaranya bersamaan dengan suara ketukan heels yang beradu dengan lantai ubin yang makin lama makin mendekat dan...
Tap.
Berhenti pas di sampingku.
Jujur, aku takut buat noleh.
“Ansello, kamu apain karyawan kamu hah?”
“A-An.. Salah paham, Mbak. Bukan— itu..”
Mbak? Pak Sello kenapa malah manggil orang ini kaya gitu?
“Salah paham gimana? Jelas-jelas dia tadi teriak minta tanggung jawab ke kamu. Kalau kamu memang gak betah sendiri, kenapa gak nikah lagi aja? Gak perlu bikin hamil anak orang.”
Mataku mendelik, kepalaku refleks menoleh, dan mataku makin ingin keluar dari tempatnya karena wajah yang aku lihat sekarang.
“Pak Sello pakai wig?” Tanyaku menceplos, memandang wanita di sebelahku ini dengan takjub namun juga bingung.
“Heh! Saya di sini kenapa kamu katain pakai wig heh?!”
Aku menoleh ke meja, dan ya, Pak Sello masih ada di sana, terus yang ini siapa? Mukanya mirip banget sama Pak Sello.
Wanita itu menoleh, menatapku dengan datar. “Saya Sahila, kakaknya Ansello. Kamu dihamilin sama dia?”
Mataku mendelik lagi. Emang tampangku kelihatan kaya orang yang sekali diajak "main" langsung hayuk gitu???
Hellooooooooowwwww...!!
Aku gak semurahan itu ya, TERIMA KASIH!!
“Mbak! Bukan gitu!”
“Hush! Mbak lagi ngomong sama perempuan ini! Kamu diem!”
“Mbak, tapi—”
“Diem!” Mbak Sahila mendelik ke Pak Sello, lalu kembali melihat ke aku.
Wah, gila sih..
Gak kakak gak adik kenapa gennya bagus banget gini sih?
“Sudah berapa bulan?”
Aku melirik ke Pak Sello, mukanya yang putih itu makin pucat pasi gara-gara takut sama kakaknya. Kocak abis.
“Eung..... Baru... Sepuluh menit yang lalu sih.. Mbak?” Jawabku, takut-takut.
“Sepuluh menit?!” Gantian Mbak Sahila yang melotot. “Yang bener aja kamu?!”
“Sil! Jangan makin dibikin mumet!” Seru Pak Sello.
Aku menoleh. “Y-ya kan emang baru sepuluh menit yang lalu!!” Protesku.
“Kalian baru ngelakuin sepuluh menit yang lalu?!”
WOAH, beneran mumet ini sih.
“Sil! Jelasin!”
“Kenapa gak Bapak aja?!”
“Ya kamu dong!”
“Kok saya?!”
“Ya iya!”
Lalu muncul Dovan dari balik pintu, setia dengan kotak rubiknya, dengan wajah sumringah menceletuk. “Pa, Dopan mau adek kaya Upin Ipin.”
INI APAAN SIH?! DOVAN DIRACUNIN APA LAGI SIH SAMA SI DEVIIII?!!
— akal bulus —
“Ayo jelasin sebenarnya ini ada apa sama kalian?!”
Posisi kami bertiga masih berada di dalam ruangan Pak Sello, namun dengan pengaturan tempat yang berbeda.
Pak Sello yang tadi duduk nyaman di kursinya sekarang pindah berdiri di sebelahku, sedangkan Mbak Sahila, dia pindah duduk di kursi Pak Sello bertingkah layaknya seorang inspektur yang menginterogasi anak buahnya yang gagal dalam menjalankan tugas.
Dovan? Dia udah diungsikan keluar, bukan dengan Devi, tapi dengan adiknya Pak Sello, yep Pak Brili. Aku gak sempet lihat mukanya sih, soalnya aku takut juga mau noleh ke belakang.
Kesalahpahaman yang terjadi di sini memang belum rampung sejak tadi. Yang ada makin parah gara-gara Dovan yang tiba-tiba muncul dan bilang minta adek kaya Upin-Ipin. Kalau aku sih jelas gak akan pernah kepikiran kaya gitu, ya masa mau punya adik yang kepalanya lebih besar dari badan? Yow, mending aku melihara kucing selusin sih.
Gak deng. Makanan kucing mahal. Mandiinnya juga susah. Bisa-bisa aku jadi kaya Spongebob yang berubah jadi tante-tante ala emak-emak di drama Korea yang rambutnya keriting gara-gara sibuk ngurusin ratusan siput terlantar sendirian. AMIT-AMIT!!
“Kalau kalian berani ngelakuin, kenapa gak berani ngakuin?!”
Duuuh... Ini Mbak Sahila kayanya salah pahamnya udah makin jauh deh.
“Sumpah, Mbak demi Tuhan, Sello gak ngapa-ngapain sama karyawan Sello! Dia bukan minta tanggung jawab soal apa yang Mbak pikirin sekarang, dia itu—”
“Perempuan gak akan teriak-teriak minta tanggung jawab kalau gak kamu hamilin, Sell!”
Duh, gila sih. Ini aku kenapa jadi terjebak di sini sih? Tau gitu tadi gak usahlah minta Pak Sello ganti hape aku kalau jadinya begini. Mending aku beli hape baru sendiri aja, terus main ke rumah Jinan, modus bilang kalau hape aku kecebur got jadi harus beli baru terus kontaknya hilang semua jadi mau minta nomor dia lagi gitu. Penasaran juga sama anak dia. Bapaknya aja ganteng, apalagi anakanya? Hehe.
“Sil!”
Aku langsung tersadar dari lamunanku setelah merasakan tepukan yang lumayan keras pada lenganku. Aku refleks menoleh, mendelik pada Pak Sello yang sekarang juga tengah memelototiku.
“Kamu jelasin ke dia maksud kamu minta tanggung jawab tadi!” Omelnya berbisik, mukanya kelihatan marah bercampur panik.
”Ya gak usah mukul juga sih, Pak.” Ketusku melengos, lalu pindah memandang kakaknya Pak Sello. “Itu, Mbak.. Jadi gini, tadi Dovan celupin handphone saya ke cangkir kopi, terus rusak, makanya saya minta tanggung jawab ke Pak Sello.”
Udah, kan? Cuma disuruh jelasin apa yang sebenarnya, kan?
“Yakin kamu? Kalian berdua sekongkol ya?”
Ini Kakaknya Pak Sello kenapa gak percayaan banget sih?!
“Sumpah, Mbak! Kalau gak percaya tanya aja Dovan-nya!” Pak Sello angkat suara, dari nadanya sih dia kelihatan agak ketakutan.
“Brill! Brili! Bawa Dovan masuk, Bril!” Seru Mbak Sahila.
Lalu, tak berselang lama, suara pintu yang dibuka terdengar, bersamaan dengan suara langkah kaki yang saling bersahutan.
“Tadi nyuruh Brili bawa Dovan keluar, sekarang disuruh bawa masuk lagi. Ini ada apaan sih?”
Mataku refleks melirik, entah kenapa serasa terpancing dengan suara protesan dari Pak Brili yang baru—
Subhanallah...
Kayanya baru kali ini aku terpesona sama wajah laki-laki sampai nyebut begini...
Itu Pak Brili?
Kok manis?
Kok hatiku jadi lemah?
Kenapa aku malah deg-degan?
Kenapa perutku jadi mulas?
Kenapa...
Kenapa...
Kenapa....
“Sil!”
Aku tersadar, menoleh ke orang di sebelah Pak Brili. Orang ini ya, kenapa dari tadi hobinya manggilin namaku terus sih?! Gak tau apa kalau aku lagi menikmati indahnya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa?!
“Apa sih, Pak?!” Protesku dengan suara berbisik, menatap gusar Pak Sello.
“Jangan ngelamun!”
“Siapa yang ngelamun seh, Pak?!” Suaraku tak sengaja meninggi, buat si Pak Brili jadi menoleh.
Oke, tahan, Sil. Jangan mimisan dulu. Aku tahu kamu lemah sama yang manis-manis. Tapi gula darahmu jangan naik sekarang. Malu kalau sampai beneran mimisan.
“Itu loh Dovan lagi mau jelasin duduk perkaranya! Kamu simak!”
Aku memutar mata, muak. “Iyaa..” Balasku dan beralih melihat ke Dovan yang berdiri di depan Pak Brili. Tingginya cuma sepinggul Pak Brili ternyata. Pendek kali.
“Dovan,” Panggil Mbak Sahila dengan suara yang halus, buat bocah kecil itu agak mendongak memandang sang tante. “Dovan tadi masukin handphone-nya Tante Silvi ke dalam mug ya?”
Dan bocah itu, bocah itu mengangguk pemirsa!!
“Iya, Tan. Soalnya tadi kata Tante Depi hapenya Tante Silvi itu juga oreo. Jadi Dopan celupin aja ke kopi.”
Bukan cuma aku aja yang melongo di sini, tapi para keluarga atasanku ini juga pada melongo gak percaya dengan jawaban Dovan barusan.
Oke, bisa kita simpulkan di sini bahwa Devilah biang kerok dari masalah pertanggungjawaban yang hampir melenceng karena salah paham.
Harusnya aku minta ganti rugi ke Devi.
Tapi bentar.
Si Dovan kan juga percaya aja dikasih tahu Devi kalau handphone aku itu oreo. Jadi...
Mereka harus ganti rugi setengah-setengah.
Sounds fair enough.
Tapi...
“DEPIIIIII!!”
Aku mau meluncur keluar dulu, botakin kepalanya Devi.