Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Keluarga

Bab 9 Keluarga

"Assalamualaikum, aku pulang!"

Sisca berseru lantang, berharap suaranya membuat semua orang keluar dari kesibukan rutinitas paginya, terutama sang Papa.

Dia tiba-tiba sangat merindukan Papanya, tak tahu kenapa.

Kakinya melangkah, menapaki potongan besar ubin putih yang di susun menjadi satu tersebut perlahan.

Dingin, entah kemana selop bulu berwarna kuning kesayangan Sisca yang biasanya ia taruh di dekat pintu utama saat sang empunya pergi keluar rumah itu.

Sandal itu sangat nyaman dan hangat, makanya Sisca sangat menyukainya.

Rumah besar itu nampak lengang, hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang Sisca lihat berlalu-lalang sambil mengerjakan pekerjaan masing-masing.

Ada yang sibuk dengan kemoceng bulu di tangannya, ada pula yang sibuk dengan alat penyedot debu, dan ada juga yang sibuk membersihkan kaca dengan alat khusus serta spray berisi cairan pembersih kaca.

Kediaman Sisca dan Papa memang mayoritas materialnya adalah kaca.

Jadi, mereka perlu beberapa orang sekaligus untuk membersihkan rumah dalam satu hari.

Tidak heran rumah ini memiliki banyak asisten rumah tangga.

Ke mana agaknya Papa?

Apa beliau sudah berangkat ke kantor?

"Nona sudah sampai, syukurlah. Nona mau makan apa?" Mbak Dina, menyapa setibanya Sisca di dapur.

Sisca tersenyum tipis, mengambil botol minuman berisi air dingin dari dalam kulkas,

"Nanti aku ambil sendiri saja, Mbak. Terima kasih, aku masuk ke kamar dulu ya."

Dengan tas yang masih tersampir di bahunya, Sisca berderap masuk ke dalam kamarnya.

Hah, Sisca merindukan aroma sea salt khas kamarnya itu meskipun baru sehari tidak bermalam di sini.

Dia meletakan ranselnya di atas meja belajar, mengambil langkah menuju ranjang kemudian duduk sambil menenggak habis botol minum berisi air dingin itu.

"Badanku sakit semua," keluh Sisca pelan, lebih mirip gumaman.

Dia lantas beranjak, mengambil pakaian rumahan secara acak dari lemari.

Sisca merasa kegerahan meskipun sudah mandi di sekolah tadi pagi.

Hari ini dia berencana istirahat seharian, tidak berniat melakukan kegiatan apa pun di luar rumah.

Sisca kelelahan, entah kenapa dia merasa energi di tubuhnya seolah tersedot habis akibat insiden semalam. Dia sendiri bingung apa yang terjadi hingga gadis itu bisa jatuh pingsan.

Sebenarnya ada apa sih di lorong dan pohon beringin tua itu?

***

"Papa, duh, terima kasih banyak ya! Kok bisa-bisanya Papa tahu aku pingin sepatu ini?"

Wajah jelita Sisca terlihat sangat cerah malam itu. Senyumnya merekah dengan lebar dan manis, membuat siapa pun merasa tentram memandangnya.

Papa pulang dengan bungkusan berukuran sedang berisi sepatu baru untuk Sisca, membuat gadis itu senang bukan kepalang.

Suasana ruang keluarga rumah meraka terasa hangat malam ini.

Senyuman Sisca bahagia diikuti senyuman puas yang terpatri di wajah Papa membuat malam ini amat berbeda dari biasanya.

Kehangatan kasih sayang sepasang Ayah dan Anak itu membuat hati semua orang yang melihat turut menghangat.

Meski terlihat sepele, tetapi keduanya nampak begitu senang.

Terlebih Sisca setelah mendapat hadiah dari Papanya, wajahnya menjadi sangat cerah.

Apalagi sepatu itu memang sudah lama di idam-idamkan oleh Sisca tanpa sepengetahuan Papanya. Bahkan, dia sudah menabung beberapa minggu terakhir dengan cara menyisihkan uang sakunya setiap hari.

Namun kali ini, Papa sukses membuat Sisca bahagia serta merasa beruntung memiliki Papa yang lambat laun mulai tidak memaksakan segala kehendaknya kepada Sisca seperti dulu.

Tapi bagaimana bisa Papa tahu kalau Sisca menginginkan sepatu ini?

Bukankah dia tidak memberi tahu siapapun?

Papa turut tersenyum, mengusak pucuk kepala Sisca penuh sayang,

"Kemarin lusa Papa tak sengaja lihat kamu sedang sibuk memandangi foto sepatu itu dari ponsel dengan mata berbinar-binar."

Sisca memeluk sepatu mahal itu penuh suka cita, senyuman seolah tak mau luntur dari wajahnya.

Dia betul-betul bahagia.

"Terima kasih sekali lagi, Papa."

"Sama-sama, sayang. Ya sudah, sepatunya simpan dulu ya. Kita makan malam dulu, Papa sudah lapar nih."

Tangan besar Papa meraih pergelangan tangan kurus puterinya, membawa anak semata wayangnya itu menuju meja makan.

Keduanya terlihat berbincang hangat, saling bertukar cerita mengenai kejadian yang terjadi kepada mereka sepanjang hari di bubuhi tawa-tawa kecil yang terdengar begitu menyejukkan.

"Pa, besok aku mau jalan keluar sama temanku. Boleh tidak?"

Sisca memandang Papanya takut-takut.

Sebelumnya Sisca memang tidak pernah izin kepada Papa sebelum bepergian kemana-mana.

Namun kali ini, dia ingin lebih menghargai kehadiran orang tua tunggalnya itu.

Sedikit demi sedikit, Sisca ingin menjadi anak baik yang bisa di banggakan oleh orang tuanya.

"Teman yang mana?"

Papa bertanya santai sambil memotong daging steak di hadapannya, meskipun pria paruh baya itu merasa agak tidak menyangka bahwa Sisca akan meminta izin padanya seperti ini.

"Teman di SMA, laki-laki. Apa boleh?"

Papa menoleh sedikit, memandang Sisca,

"Boleh. Jangan pulang terlalu larut, jam delapan malam pokoknya kamu sudah di rumah ya. Papa tidak mau dengar alasan apa pun kalau kamu terlambat pulang."

Sisca mengangguk takzim, memahami sepenuhnya ucapan sang Papa.

Dia kemudian menyendokan makanannya ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan.

Baiklah, sisi baiknya dia tetap boleh bergaul dengan lawan jenis meski waktunya tidak banyak.

"Minggu depan mau jalan sama Papa?"

Mata Sisca kembali berbinar, "Kemana? Papa punya waktu luang? Wah, asik!"

"Rencananya Papa mau ajak kamu makan malam di Restoran Berbekiu Korea yang letaknya tak jauh dari kantor Papa, tapi siangnya kita jalan-jalan ke Mall dulu sekalian beli tas sekolah yang baru untuk kamu," tutur Papa,

"Mau tidak?"

"Mau, Pa! Sangat mau!"

Sisca menjawab penuh antusias.

Syukurlah, Papa sudah bisa meluangkan sedikit waktunya untuk Sisca.

"Baguslah kalau begitu." Papa tersenyum simpul,

"Tadinya Papa mau ajak besok, tapi masih ada pekerjaan yang harus Papa tinjau di lapangan."

"Minggu depan kita quality time seharian penuh kan, Pa?"

"Tentu. Makanya Papa mau menyelesaikan semua pekerjaan secepatnya, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu sebagai Ayah dan Anak yang hangat." Papa terkekeh kecil.

"Aku paham kok," sahut Sisca manis sambil tersenyum,

"Aku tidak akan ganggu Papa kalau Papa sedang sibuk, toh, Papa bekerja keras demi masa depanku bukan?"

"Wah, anak Papa semakin dewasa rupanya." Papa mencubit gemas kedua belah pipi Sisca,

"Tapi kok rasanya tidak rela ya?"

"Ayolah, Papa!" Sisca tergelak.

"Usiaku sudah lima belas tahun. Mana mungkin aku selalu berlagak seperti bayi yang selalu merengek pada Papa?"

"Haduh, anakku sudah benar-benar dewasa sekarang. Baiklah, Papa senang mendengarnya."

Papa tersenyum teduh, memandang Sisca penuh kasih.

"Aku sayang Papa,"

"Papa jauh lebih sayang lagi. Semoga kamu terus bahagia ya, Anakku."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel