Ringkasan
Sekolah Kartika adalah SMA yang terhubung langsung dengan SMP Kartika. Di tengah-tengah lorong antara keduanya ada sebuah pohon beringin tua tempat seorang gadis bunuh diri karena hamil di luar nikah. Konon gadis itu menuntut balas pada siapapun yang tetap tinggal di sekolah selepas senja. Adalah Brody dan Sisca, sepasang remaja nakal yang merasa sial masuk sekolah Kartika karena zonasi sekolah. Kemudian mereka berciuman di dekat beringin selepas senja. Hal buruk terjadi, Sisca terseret masuk ke dalam perut beringin yang mendadak terbuka. Brody syok sekaligus bingung.
Bab 1 Tragedi Memilukan
Bab 1 Tragedi Memilukan
Sebagian bab dari novel ini mengandung unsur dewasa, darah serta kengerian berlebihan, bagi yang tidak nyaman dengan konten tersebut dianjurkan untuk tidak melanjutkan membaca.
Diharapkan kebijakan pembaca.
Semarang, 25 September 1998...
Suara gemuruh guntur serta tiupan angin kencang mengoyak kesunyian petang kali ini, nampaknya sebentar lagi akan terjadi badai.
Sekonyong-konyong, datang seorang gadis dari arah timur koridor utama SMA Kartika dengan berlinang air mata.
Tubuhnya dibalut seragam putih abu-abu, tetapi dengan kondisi yang sudah acak-acakan.
Rambut panjangnya menjuntai berantakan nyaris menutupi seluruh bagian wajahnya.
Sulastri namanya, dia berjalan tertatih seolah menentang kencangnya tiupan angin yang menerpa tubuhnya.
Tubuh kurusnya tidak bergeming meski angin yang bertiup sangat kencang menubruk tubuhnya.
Lirihan pilu terdengar dari bibirnya yang memucat, lirihan yang betul-betul menyiratkan rasa putus asa, malu serta berbagai emosi lain yang menyertainya.
Malang nasib Sulastri, gadis pendatang dari desa itu harus menelan pil pahit kehidupan diusianya yang masih belia.
Sulastri merasa tidak kuat menanggung semua beban berat ini.
Perlahan namun pasti, kaki Sulastri melangkah menuju pohon beringin tua diujung lorong pemisah antara SMP Kartika dan SMA Kartika, dibawah naungan gelapnya senja.
Hanya kilat yang sesekali menerangi langkah Sulastri menuju tujuannya disertai suara gemuruh yang memekakan telinga.
Tiba di depan pohon beringin tua, Sulastri duduk di tengah celah akar kokoh pohon tersebut sambil menangis sesenggukan.
Hujan turun dengan begitu deras seolah mewakili segala perasaan Sulastri pada senja kali ini, dia menangis sejadi-jadinya meratapi kesalahan yang diperbuatnya.
Bagaimana kalau Ibu dan Bapak di desa tahu?
Bagaimana kalau Paman dan Bibi yang selama ini mau berbaik hati menampungnya selama di kota tahu apa yang telah diperbuat oleh Sulastri? Yang benar saja, mereka pasti tidak akan mau mengampuni dosa Sulastri.
Tangan ringkih Sulastri membelai perutnya dengan lembut seakan menghantarkan kasih sayang yang amat besar, sorot matanya sendu penuh dengan rasa iba dilengkapi dengan air mata yang telah menggenang di kedua pelupuk matanya.
"Maafin Ibu ya, Nak. Ibu tidak bisa, Ibu tidak akan pernah bisa menanggung semua ini, Ibu tidak sanggup. Semua ini salah Ibu, dosa Ibu."
Sulastri melirih dengan bibir yang bergetar hebat akibat kedinginan.
Kuku jari-jarinya sudah nampak membiru.
Sulastri yang malang.
Terlalu mencintai hingga rela mengorbankan mahkota kehormatannya membuatnya jatuh dalam penyesalan yang begitu pedih ini.
Dengan gerakan cepat, Sulastri mengayunkan sebuah golok yang ternyata sejak tadi ada di sana, pada pangkal lehernya, mengayunkannya terburu-buru guna memutus seluruh pembuluh darah pusatnya.
Senja itu ditemani derasnya hujan yang membungkam tangis penyesalan Sulastri, gadis itu memilih pilihan terburuk untuk mengakhiri hidupnya dengan sang jabang bayi yang masih dikandungnya.
Darah mengucur deras bak air mancur dari luka besar yang dibuat sendiri oleh Sulastri membuat pakaian yang dikenakannya bertukar warna menjadi merah pekat.
"Diakhir hidupku ini, A—aku... bersumpah, akan menuntut balas pada... siapa pun yang masih berada di sini saat hari sudah senja..."
Beberapa saat berlalu hingga akhirnya tubuh bersimbah darah Sulastri tergeletak tak bernyawa di depan pohon beringin dengan segala emosi perih yang menemaninya di penghujung usia.
***
Beberapa hari setelahnya...
Semua orang nampak sangat kehilangan dengan wajah sendu mereka.
Semuanya mengelilingi makam tempat Sulastri baru saja dikebumikan.
Isak tangis juga terdengar lirih memecah keheningan di tempat pemakaman umum desa Blakbakan, kampung halaman Sulastri siang ini.
Ibu Sulastri terlihat histeris, tidak bisa menerima kenyataan bahwa puteri bungsunya telah pergi untuk selamanya dengan cara mengenaskan seperti ini.
Sejak tadi, beliau meraung-rauk layaknya orang kurang waras sambil berjongkok menaikan tanah makam anaknya.
Air matanya bercucuran, tangisnya begitu hebat hingga suaranya nyaris lenyap.
Sulis, kakak kandung Sulastri berupaya menenangkan sang Ibunda dengan memeluknya erat-erat sembari mengucapkan kalimat penenang.
"Ibu jangan seperti ini ya, Lastri pasti bakalan sedih sekali kalau kondisi Ibu begini..."
bisik Sulis kepada Ibunya.
"Bagaimana bisa Ibu baik-baik saja setelah adikmu dihamili lelaki tidak bertanggung jawab? Bagaimana bisa Ibu tenang setelah anak Ibu meregang nyawa dengan kondisi mengenaskan begini? Jawab, Sulis, bagaimana caranya?!" raung Ibu dengan bercucuran air mata.
Sulis menghela pasrah.
Dia kembali merengkuh Ibu ke dalam pelukannya, berharap kondisi psikis Ibu akan segera membaik seiring berjalannya waktu.
Ia juga memahami apa yang dirasakan Ibu mengingat Sulis dan Sulastri adalah dua saudari yang akur serta kompak.
Sulis benar-benar tidak menyangka semua ini terjadi kepada adik satu-satunya yang sangat disayanginya.
Nyawa harus ditebus dengan nyawa, pikir Sulis.
Dia bertekad menemukan siapapun yang telah merenggut kehormatan adiknya meskipun harus mencari hingga ujung usianya.
Sudah menjadi janji Sulis untuk adiknya tercinta atas nama hubungan persaudaraan yang amat erat.
"Bapak, Paman dan Bibi, tolong ajak Ibu pulang dulu ya. Sulis mau baca surah yassin dulu buat Lastri, kasian Ibu belum makan dari kemarin."
pinta Sulis sambil menoleh, memandangi Bapak, Paman serta Bibi dibelakangnya.
Bapak nampak tidak bergeming.
Tiada satu pun kata yang keluar dari bibirnya, beliau juga sama terpukulnya dengan Ibu.
Hanya saja, beliau menahan diri untuk tidak menangis didepan Sulastri.
Paman mengangguk, "Ya sudah, kamu pulangnya jangan kesorean ya. Kita kan ada takziah nanti malam sampai tujuh hari."
"Terima kasih." balas Sulis.
Dia membantu Ibu bangkit dari posisi jongkok yang sejak tadi dilakoninya dengan perlahan.
Ibu memiliki penyakit yang menyangkut fungsi sendi lututnya, jadi harus diperlakukan dengan sangat perlahan.
"Sampai rumah nanti Ibu makan ya, minum obat. Kaki Ibu pasti sakit kelamaan jongkok begitu. Sulis gak mau Ibu jadi sakit."
Dengan sabar dan penuh kelembutan, Sulis membelai punggung Ibunya, berusaha menghantarkan energi positif kepada Ibu.
"Nanti bantu Ibu minum obatnya ya, Bibi. Sulis juga langsung pulang kalau sudah baca yassin."
"Iya, Neng, nanti Bibi bantu. Kamu hati-hati ya."
Sulis mengulum bibir membentuk senyuman tipis,
"Terima kasih, Bi. Sulis titip Ibu ya."
Keempatnya lantas melenggang pergi meninggalkan Sulis sendirian di area pemakaman.
Netra cokelat gelap milik Sulis menatap nanar pusara basah milik adiknya.
Perasaannya benar-benar kacau.
Semua ini di luar dugaannya.
Sulis merasa telah gagal menjadi kakak yang baik untuk Sulastri, dia tidak bisa melindungi adiknya dengan baik.
Dia menyesal telah mendesak Bapak dan Ibunya untuk memberi izin kepada Sulastri untuk melanjutkan pendidikan di kota Semarang.
Namun apa boleh buat, semuanya sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur.
Mau disesali bagaimana pun juga Sulastri tidak akan bisa kembali hidup ditengah keluarganya seperti semula.
Tidak akan ada lagi keributan yang ditimbulkan oleh keduanya dirumah.
Tidak ada lagi pertengkaran lucu antara Sulastri yang jahil dan Sulis yang cerewet.
Semuanya akan menjadi sangat asing serta berbeda, semuanya pasti akan sangat merindukan Sulastri, sampai kapan pun gadis bersurai panjang nan indah itu akan selalu hidup didalam hatinya.
Sepasang pelupuk mata milik Sulis basah dan membengkak. Alis serta hidungnya memerah bak terbakar, melukiskan dengan jelas betapa terpukulnya dia saat ini.
Sulis menghela napasnya dengan susah payah, hidungnya terasa mampet akibat terlalu banyak menangis sejak kemarin,
"Lastri, kamu istirahat yang tenang ya. Mbak minta maaf karena gagal menjaga kamu, maaf Mbak sudah lalai memperhatikan kamu sampai tidak tahu bahwa kamu menanggung beban seberat ini."
Diusapnya nisan kayu bertuliskan nama Sulastri perlahan, "Mbak janji untuk berusaha mencari siapa lelaki durjana yang telah merenggut kegadisanmu hingga kamu harus menanggung semua ini. Mbak akan pastikan kamu dan keponakan Mbak akan kembali pada Tuhan tanpa beban barang sedikit."
Beralaskan daun keladi besar yang ditemukannya yak jauh dari makan sang adik, Sulis mengambil posisi duduk bersila disisi kanan makam.
Suara paraunya melantunkan do'a lantas diikuti dengan surah yassin dengan begitu khusyuk sebagai bekal untuk adiknya menempuh perjalanan selanjutnya di dimensi seberang.
Sulis yakin, apa pun yang akan terjadi ke depannya, dia akan berhasil mengirim pria biadab yang menjadi penyebab utama perginya Sulastri untuk selamanya ke neraka dengan siksaan yang paling pedih.
Tekadnya sudah sangat bulat, dia bahkan rela menghadapi apa pun resiko yang akan menjegalnya demi ketenangan sang adik di alam baka nantinya.
***