Bab 8 Janggal
Bab 8 Janggal
Pukul satu dini hari.
Semarang masih tertutup kelamnya cakrawala malam.
Bulan tidak nampak, pun dengan gugus bintang.
Malam itu terasa begitu sunyi, hanya terdengar suara rintik hujan yang tidak begitu besar, gerimis.
Suara deru angin seolah mengoyak sunyinya malam kali ini.
Disaat semua orang masih bergumal dalam mimpinya Sisca menyerjap.
Membuka kedua kelopak matanya perlahan, membiasakan cahaya yang masuk ke dalam netranya, membantu matanya melihat dengan senyaman mungkin.
Selimut warna merah muda membungkus rapat tubuh kurusnya hingga sebatas dada, oh, cuaca ternyata memang sedingin itu.
Meski masih lesu karena kehilangan banyak energi akibat insiden tak masuk akal beberapa jam lalu, gadis itu tetap menolehkan pandangannya ke sisi kanan tubuhnya —dia merasa ada seseorang yang sedang memegangi tangannya.
Hangat serta nyaman, itulah yang dirasakan oleh Sisca.
Dua-tiga detik kemudian, dia tercenung.
Ada Brody yang tertidur sambil memegang erat tangan Sisca.
Tubuhnya hanya dibalut oleh kemeja putih sekolah, tanpa luaran sama sekali.
Anak itu sama sekali tidak mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih hangat padahal tahu cuaca sedang tidak bersahabat. Ceroboh.
Pandangan Sisca menelisik, memperhatikan figur lelaki yang terbuai oleh mimpi di sisinya itu.
Surainya hitam dan lebat, hidungnya mancung nan runcing dilengkapi pula dengan bibir kemerahan yang ranum. Rupawan, pikir Sisca.
Brody melenguh pelan, membetulkan posisi tidurnya. Dia tidur dengan posisi duduk, kasihan.
Kepalanya dia sandarkan di bangsal perawatan, sedangkan tubuhnya masih duduk dengan tegap.
Pasti dia pegal.
"Brody?"
Sisca memanggil pria itu sembari mengguncang pelan bahu lebar milik Brody.
"Hei, bangun. Tidurlah di tempat lain, badanmu bisa sakit semua kalau tidur sambi duduk begitu," sambung Sisca, masih setia menggerakkan tangannya di bahu Brody.
"Hm?"
Wah, suara Brody terdengar begitu rendah serta menggoda, membuat Sisca merasa darahnya berdesir hebat.
Jantungnya berdegup kencang, terlebih sang pria masih menggamit tangannya dengan lembut.
"Kau sudah bangun?" lanjut Brody dengan pandangan sayu yang mengarah kepada Sisca,
"Syukurlah."
Kedua sudut bibir Brody tertarik, menampilkan senyuman lega.
Meski penampilannya nampak agak kacau —rambut lebatnya mencuat kesana-kemari, Brody tetap saja terlihat menarik.
Tangan besarnya bergerak perlahan, membelai puncak kepala Sisca lembut dengan senyuman yang belum memudar.
Pandangannya seolah mengunci pandangan Sisca untuk tidak memandang ke lain arah,
"Aku lega akhirnya kau sadar dan tidak kekurangan satu apa pun."
Seketika Sisca mematung, terdiam di tempatnya dengan mulut yang tak dapat berkata apa-apa.
Jatungnya serasa mencelos, pipinya terasa menghangat akibatnya melebarnya pembuluh darah di sekitar wajah gadis berparas elok itu.
"I—iya, aku tidak apa-apa kok," sahut Sisca gelagapan dengan senyum kikuk yang menghiasi wajahnya.
Brody terkekeh pelan, "Kau ini ke apa?"
"Tidak," Sisca menggeleng cepat.
"Aku hanya agak kaget karena perlakuan spontan darimu barusan."
Lelaki itu mendengus geli,
"Oh, maafkan aku kalau begitu."
Sisca menghela, dia bangkit dari posisi rebahannya lantas duduk di atas bangsal rawatnya agar dapat memandang Brody dengan lebih leluasa,
"Omong-omong, Brody, apa kau tadi merasakan kejanggalan semasa kegiatan Makrab? Seperti ada sesuatu yang tidak wajar gitu? Kau merasa tidak?"
Alis kiri Brody terangkat, dipandangnya Sisca lekat-lekat. "Maksudmu? Sesuatu yang diluar nalar?"
Sisca mengangguk pasti, "Iya."
"Tadi sebelum ada teriakan kencang misterius yang aneh itu, aku melihat jumlah anggota kelompok kita bertambah menjadi sebelas orang, tapi seperinya hanya aku yang menyadarinya."
"Benarkah?"
"Aku tidak bohong, aku bersungguh-sungguh. Tadi kulihat, ada anak yang wajahnya pucat pasi tepat di belakang Roland,"
tutur Sisca dengan suara lebih pelan.
"Kejanggalan tidak hanya itu." Brody memandang Sisca lebih dalam,
"Kurasa, pihak sekolah, anggota OSIS dan semua panitia pelaksana Makrab malam ini menyembunyikan sesuatu dari kita semua."
***
Sang mentari telah terbit di ufuk timur.
Sudah jam tujuh pagi, semua orang sibuk mengemasi barang-barang mereka dengan terburu-buru, ingin segera pulang.
Akibat kejadian diluar nalar yang menimpa tim lima belas semalam, semua agenda acara Makrab dibatalkan atas instruksi kepala sekolah.
Namun diam-diam, Sisca dan Brody tengah menyusun rencana untuk menguak misteri menyangkut lorong pemisah antara SMP dan SMA Kartika beserta pohon beringin tua itu.
Keduanya amat penasaran dengan teka-teki serta segala keanehan yang terjadi selama acara Makrab berlangsung.
Mulai dari tidak hadirnya satu pun guru pembimbing di acara semalam, hingga munculnya teriakan misterius yang dialami oleh tim lima belas.
"Kau pulang naik apa?"
Setelah usai merapatkan resleting ranselnya, Brody mengalihkan atensinya kepada Sisca yang sedang sibuk berkemas.
Syukurlah, keadannya sudah membaik.
Sisca hanya merasa agak lemas dan pening, mungkin faktor karena dia sama sekali belum pernah jatuh pingsan sebelumnya.
"Minta jemput sopir."
Sisca menoleh, memandang Brody sekilas lantas melanjutkan aksi berkemasnya.
"Gimana kalau aku yang antar? Naik motor lebih cepat loh, sepertinya kau masih butuh banyak istirahat."
Baiklah, usaha yang bagus Brody!
Mendengar tawaran Brody, gadis lawan bicaranya itu kemudian mendengus geli, setengah tidak percaya dengan rentetan kalimat yang didengarnya dari mulut Brody.
"Kau bercanda?" Sisca tergelak,
"Nanti pacar-pacarmu yang di sebelah sana itu mengamuk, aku tidak mau jadi sasaran amukan massa!"
"Hei, aku serius!" sergah Brody gemas. "Mau tidak?"
"Apanya?"
Brody menggaruk tengkuknya, salah tingkah,
"Pulang, tapi aku yang antar,"
"Memangnya kau punya helm cadangan?"
"Soal itu mudah,"
Brody mengibaskan telapak tangannya cepat,
"Kita bisa beli dulu di toko helm dekat sekolah."
"Hah, beli? Kau ini yang betul!"
"Memangnya apa yang salah?" Brody terkikik,
"Lagi pula, helmnya hanya akan kuberikan padamu. Tidak ada seorang pun yang boleh memakainya selain kau."
"Tapi—"
Brody mendecak, meraih pergelangan tangan kurus milik Sisca,
"Sudah, ayo pulang! Semua orang sudah bersiap-siap untuk pulang. Lagi pula kau masih butuh banyak istirahat."
"Tasku belum diambil!"
"Hahaha, kenapa tidak bilang? Sini aku bawakan."
Brody membungkukan tubuhnya, meraih ransel berwarna biru langit milik Sisca lantas menentengnya.
Keduanyanya berjalan beriringan menuju lapangan parkir sambil bersenda gurau.
Hubungan Brody dan Sisca nampak menghangat, lambat laun keduanya semakin akrab satu sama lain.
Sesekali mereka terlihat tertawa disela-sela kegiatan bertukar cerita yang tengah mereka lakukan.
"Sisca?"
Suara berat milik Brody kembali menyapa indera pendengaran Sisca setibanya mereka berdua di depan motor sport hitam milik Brody.
"Kenapa?"
"Hmm...." Brody berdeham, terlihat salah tingkah.
Dia menggaruk tengkuknya dengan wajah gugup.
"Besok kau ada waktu luang tidak? Kalau ada, mau tidak jalan denganku?" Pipi Sisca seketika menghangat, tetapi dia buru-buru mengubah ekspresi wajahnya sewajar mungkin.
"Boleh, nanti kuhubungi ya?"
***