Bab 7 Makrab Part II
Bab 7 Makrab Part II
Sekali lagi, Sisca merasa dirinya benar-benar sial.
Bukan hanya soal dirinya yang terpaksa bersekolah di SMA Kartika ini, tetapi lebih buruk dari itu, dia dan timnya harus mengerjakan misi mencari atribut sekolah di lorong pemisah antara SMP dan SMA Kartika.
Lorong tersebut cukup besar serta lembab dengan tumbuhnya pohon beringin besar yang diyakini penduduk sekolah telah berusia ratusan tahun di sudut selatan lorong tersebut.
Tanaman raksasa berakar tunggang itu nampak sangat tidak terurus, kulit batang pohon itu terlihat mengelupas di sepanjang permukaan kayunya, belum lagi eksistensi berbagai tanaman benalu yang hinggap dan hidup di bawah naungan sang beringin.
Sisca tak henti-hentinya merutuk dalam hati, mengutuk nasibnya yang terus saja tertimpa kesialan sejak bersekolah disini.
Memangnya apa sih gunanya sistem zonasi ini?
Toh, dia tidak pernah terlambat sampai ke sekolah dimana pun dia bersekolah.
Hanya saja, Sisca suka bolos sesekali.
Sisca dan sembilan rekannya menyusuri lorong itu berbekal lima batang lilin serta satu kotak korek api kayu.
Udara terasa menusuk tulang, membuat Sisca merapatkan jalinan pakaiannya, berharap dia tidak jatuh sakit setelah ini.
Tetes keringat nampak menggantung di kening Brody, menandakan bahwa dia telah berusaha cukup keras memecahkan berbagai teka-teki yang di temukan olehnya beserta rekan satu tim.
Tangan kirinya menggenggam erat batang lilin, sedangkan yang satunya memegang beberapa lembar kertas yang mereka temukan.
"Gimana?" Roland, rekan satu tim mereka bertanya
"Menurutku, kita harus jalan ke utara supaya bisa menemukan petunjuk selanjutnya."
Sisca tercekat, "Utara? Kau yakin?"
Roland mengangguk kukuh, "Tentu,"
"Menurut kertas teka-teki yang ditemukan oleh Brody, sepertinya puncak dari segala teka-teki membingungkan ini ada di sebelah utara."
"Kalau begitu?"
Alis kiri Brody terangkat.
"Iya, pohon beringin itu," bisik Roland, namun terdengar penuh penekanan.
Detik berikutnya, Sisca merasa suhu udaranya terasa mencekam, turun secara drastis.
Perubahan suhu yang sangat tidak masuk akal, membuat bulu romanya berdiri tegak membuat Sisca semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang dari utara, membuat semua orang panik.
Mereka semua sontak saling berpengangan erat, berupaya saling menjaga satu sama lain.
"Kita harus saling menjaga!" pekik Brody sekuat tenaga, suaranya teredam oleh suara ribut yang diciptakan oleh angin.
Dedaunan kering terlihat turut serta beterbangan, menambah suasana mencekam yang tengah mengepung sepuluh orang pemuda serta pemudi itu.
Lilin-lilin yang berada digenggaman mereka padam, membuat jarak pandang mereka terasa sangat terbatas.
"Sebentar ...." Sisca berkata lirih,
"Kenapa tim kita jumlahnya jadi sebelas orang? Bukannya tadi sepuluh?"
Namun sayang, hanya Sisca yang menyadari keganjilan tersebut.
Datang badai secara tiba-tiba, lantas anggota tim mereka bertambah satu menjadi jumlah ganjil, apa hal tersebut masuk nalar?
Sisca meneguk salivanya kasar.
Dia betul-betul takut saat ini.
"KHUKHUKHU! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI WILAYAHKU?!"
"Siapa kau?!" Brody berseru lantang, sambil mengacungkan batang lilin dalam genggamannya dengan tatapan nyalang memandang ke sekeliling.
Lelaki itu tak merasa gentar barang sedikit.
"KEMBALILAH SELAGI AKU MASIH BISA MEMINTA SECARA BAIK-BAIK!"
Suara itu kembali menguar, lebih keras, sanggup menulikan pendengaran saking kerasnya.
Suara itu benar-benar menghantarkan rasa dendam serta amarah yang luar biasa kuat.
"PERGI ATAU AKU AKAN MEMANGSA KALIAN SEMUA HIDUP-HIDUP!"
Kontan, mereka lari kocar-kacir meninggalkan lokasi dengan tubuh yang sudah banjir oleh keringat dingin.
***
Brody diam tak bergeming.
Wajahnya pucat seakan tak teraliri oleh darah.
Tubuhnya bergetar samar, menandakan bahwa dia tidak baik-baik saja.
Pandangannya kosong, memandangi Sisca yang tengah terbaring tak berdaya di atas bangsal perawatan Unit Kesehatan Sekolah beberapa meter di hadapannya.
Malang, gadis itu jatuh pingsan hingga membuat semua kegiatan Makrab dihentikan.
Keadaan sekolah jadi kacau balau, semua murid panik serta cemas, hingga panitia pelaksana serta para anggota OSIS terpaksa membawa mereka ke tempat yang kondusif.
"Tadi itu ada apa sih?"
Dengan lugas, Rico menanyai Brody.
Brody menoleh, memandang Rico dengan tatapan meremehkan.
Dia kesal, sangat kesal.
Bisa-bisanya sekolah mengadakan kegiatan yang dapat membahayakan keselamatan siswanya sendiri seperti ini?
Tawa sarkas meluncur dari mulut Brody,
"Hei, kau ketua pelaksana kegiatan ini kan? Tanggung jawab sana, bawa Sisca ke rumah sakit. Sudah satu jam tapi anak itu belum juga siuman."
"Aku bertanya apa yang terjadi, sialan! Jawab aku dengan sopan." Alis Brody menukik tajam, menyiratkan luapan emosi yang siap meledak kapan saja,
"Jaga bicaramu, sialan. Kubilang kau harus tanggung jawab ya tanggung jawab! Siapa sih yang dengan bodohnya mengadakan kegiatan ini tanpa adanya pengawasan dari guru sama sekali? Kalau terjadi hal yang buruk pada Sisca bagiamana, hah?! Kau mau tanggung jawab?!"
Rico memandang Brody dengan tatapan menantang lantas mencengkram kerah kemeja seragam milik Brody kuat-kuat,
"Cecunguk ini benar-benar,"
Brody tertawa remeh, "Apa kau bilang?"
"Hei, aku hanya menanyakan kemana tanggung jawabmu, bukannya mengajakmu berkelahi."
Rico yang telah tersulut emosinya kemudian mengepalkan tangannya penuh tenaga membentuk bogem mentah yang siap mendarat di wajah Brody, tetapi dengan sigap Brody menghindar.
Tangan kokoh Brody dengan cekatan menangkap kepalan tangan Rico yang beberapa inchi lagi akan mendarat di wajah rupawan miliknya.
"Kok marah? Wah, berarti semua perkataanku benar dong?" Brody tersenyum simetris,
"Dengar ya, aku yakin seratus persen bahwa kau mengadakan kegiatan ini untuk kepentinganmu sendiri kan, ah, atau kau punya tujuan tertentu?"
Brody memicingkan matanya, memandang tajam kepada Rico, "Katakan!"
"Apa yang harus kukatakan? Aku hanya menjalankan kegiatan ini sesuai perintah serta keinginan sekolah." Rico bersikukuh.
"Cepat atau lambat, aku, Brody Kent akan menguak semua kejanggalan acara Makrab ini," desis Brody dengan suara rendah namun terdengar sangat mengintimidasi.
Katakanlah Brody anak berandal yang suka melanggar peraturan sekolah, tetapi jika dia menemukan ketidak adilan atau kejanggalan dalam suatu kejadian dia tidak akan berdiam diri begitu saja.
Brody mendecih, dia kemudian beringsut menuju bangsal tempat Sisca terbaring.
Siapa tahu, jika dia turut membantu Sisca bisa segera siuman.
Pandangan Brody menyiratkan perasaan khawatir yang begitu kentara.
Dia memandang wajah sayu Sisca lamat-lamat, "Cepat sadar ya. Jangan buat orang lain jadi khawatir begini, maaf aku bukan ketua kelompok yang baik."
"Dan semoga aku bisa mengungkap segala kejanggalan yang terjadi di sekolah ini."
Brody berujar lirih sembari memandang pohon beringin di lorong pemisah antara gedung SMP dan SMA Kartika dengan nanar.
Brody sangat yakin, pohon dan lorong itu memiliki misteri besar yang selama ini ditutup rapat oleh pihak sekolah.
***