Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 18 Seusai

Bab 18 Seusai

"Kau sudah sadar?" Sebuah suara menyapa pendengaran Brody.

Sepasang netra kelam milik pemuda itu mengerjap perlahan, membiasakan cahaya yang masuk.

Setelah matanya terbuka sempurnya, lelaki itu mendapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan serba putih.

Aroma yang menyapa indera pembauannya pun terasa sangat tidak familiar, mirip bau obat-obatan yang cukup menusuk.

Meski masih terkulai lemah, Brody menolehkan kepalanya perlahan, mengamati lingkungan di sekitarnya.

Dia tidak mengenal ruangan ini.

Semuanya terasa asing.

Sebenarnya dia berada di mana?

"Kau sedang berada di rumah sakit," papar Rudi setelah beberapa saat lelaki itu mengamati gerak-gerik Brody.

"Apakah kau bertemu dengan Sisca?" tanya Brody dengan raut panik sekaligus khawatir.

"Tidak, aku hanya menemukan kau sendirian terkapar pingsan di depan pohon beringin tua dalam lorong pemisah gedung SMP dan SMA Kartika," tutur Rudi terus terang.

Dia memang melihat Brody terkapar tak sadarkan diri sendirian hari itu, tiga hari yang lalu.

Brody tak sadarkan diri selama tiga hari.

"Lalu bagaimana bisa kau menemukan aku?"

"Aku mendapat telepon dari Ibumu hari itu, katanya kau tidak pulang-pulang padahal haru sudah mau malam, jadi aku berinisiatif mencarimu dan akhirnya menemukanmu tergeletak pingsan di sana," terang Rudi sembari mengingat-ingat kejadian tersebut.

Rudi tidak berbohong.

Dia memang menemukan Brody pingsan seorang diri di depan pohon beringin tua tersebut sendirian, tidak bersama siapapun.

"Memangnya kenapa kau bertanya soal Sisca?" Rudi yang di rundung rasa penasaran akhirnya memutuskan untuk bertanya mengenai Sisca.

Memangnya ada apa dengan gadis itu? Kenapa Brody terlihat seperti orang takut sekaligus panik begitu?

Brody menghela, menyugar surai lebatnya ke belakang dengan tak sabaran

"Aku tidak yakin kau akan percaya jika aku menceritakan semuanya."

"Tentu aku akan percaya." Rudi mengangguk kukuh,

"Kita sudah bersahabat sejak masih bocah, mana mungkin aku tidak mempercayaimu?"

Brody menghirup oksigen sebanyak yang ia mampu hingga memenuhi paru-parunya, menghembuskannya kembali setelah bertukar menjadi karbon dioksida,

"Hari itu, Sisca di culik oleh hantu perempuan yang mendiami pohon beringin tua itu. Dia di bawa masuk ke dalam pohon beringin dan sialnya aku tidak bisa berbuat apa-apa..."

Rudi menepuk pelan punggung sahabatnya itu,

"Bagaimana bisa? Memangnya apa yang terjadi sampai hantu itu membawa Sisca masuk ke dalam pohon beringin tua itu?"

Brody terisak kemudian.

Mengingat kembali kejadian tempo hari membuat hatinya benar-benar kacau.

Sungguh, kenapa dia tidak bisa menjadi lelaki yang dapat di andalkan?

Padahal seharusnya dia yang melindungi Sisca.

"Aku dan Sisca awalnya jalan-jalan, lalu berniat pulang karena hari sudah beranjak sore. Tapi baru sampai setengah jalan, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kebetulan ketika hujan kami berada di dekat lingkungan sekolah..."

Napas Brody tersengal karena tangis, namun ia tetap menceritakan kronologi yang sebenarnya kepada Rudi,

"Lalu, kami bermaksud berteduh di dalam sekolah tapi ternyata gerbang utama sudah terkunci.

Akhirnya, dengan saran Sisca, kami berteduh di pondok yang terletak di dekat pohon beringin tua itu,"

Rudi terhenyak, mencoba mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut Brody dengan cermat, ia tidak mau kalau malah salah memahami.

"Karena hujan semakin deras, baju Sisca jadi lembab, benar-benar lembab hampir basah. Aku membuka cardigan seragamku untuk membalut tubuhnya karena tidak mau dia jatuh sakit,"

lanjut Brody,

"Setelah itu, entah bagaimana, aku begitu bergairah melihat Sisca, hingga akhirnya kami berciuman." Mata Rudi membulat sempurna.

Dia betul-betul kaget dengan penuturan Brody barusan, pasti ada hal yang tidak beres hingga mereka jadi melakukan hal itu.

"Jadi karena itu, si penunggu pohon beringin marah besar lalu mengambil Sisca?" gumam Rudi masih setengah tidak percaya.

"Iya,"

Brody tertunduk lesu,

"Dia memberiku dua misi jika mau menyelamatkan Sisca."

"Misi?"

"Ya. Aku harus menemukan kakak dari si hantu itu di sebuah desa." Kening Rudi berkerut,

"Desa yang di mana? Di provinsi kita kan masih ada banyak desa,"

"Desa Blakbakan. Dia bilang kakaknya tinggal di sana, bagaimana mungkin aku pergi ke sana seorang diri?" ucap Brody putus asa.

"Kau tidak boleh putus asa begitu," kata Rudi memberi nasihat,

"Tak usah khawatir, aku bisa membantumu. Mana mungkin aku membiarkan kau pergi ke desa asing sendirian? Setidaknya kita bisa saling menjaga satu sama lain. Tetapi sebelum itu, tugasmu sekarang adalah memulihkan kesehatan."

"Aku mana mungkin bisa menunggu selama itu?" sergah Brody,

"Bisa-bisa Sisca mati di tangannya!"

"Hei, percayalah padaku! Hantu itu tidak mungkin mencelakakan Sisca kalau dia tidak memilik dendam pada Sisca," desis Rudi,

"Aku yakin, di balik semua ini pasti ada hikmahnya. Ayo, ceritakan semuanya padaku dengan lebih rinci lagi,"

***

Papa Sisca sedang berada di kantor polisi, membuat laporan menyangkut puterinya yang hilang secara tiba-tiba tanpa jejak.

Teman-temannya tidak ada yang tahu, pun dengan pihak sekolah.

Apalagi sekolah masih belum menggunakan kamera pengawas, barang tentu pihak berwajib maupun pihak sekolah makin kesulitan mencari jejak keberadaan Sisca. Semua menguap bak embun, hilang tanpa jejak.

Tidak ada sedikit pun petunjuk yang dapat menjadi indikasi kemana agaknya Sisca pergi.

"Laporan Bapak telah kami terima. Kami juga sudah berkoordinasi dengan pihak sekolah tempat anak Bapak belajar, dan syukurnya mereka mau membantu mengungkap kasus ini," ungkap sang Petugas setelah mengakhiri sambungan via telepon dengan pihak SMA Kartika beberapa detik lalu.

Papa Sisca memandang kedua ujung sepatunya.

Seumur hidupnya, baru kali ini beliau merasa benar-benar cemas serta khawatir.

Bagaimana pun, hanya Sisca yang saat ini beliau miliki.

"Tolong segera temukan anak saya, Pak..." Papa Sisca memelas dengan pelupuk mata yang telah basah oleh air mata, "Saya tidak punya apa-apa lagi selain puteri saya. Hanya dia yang saya punya, hanya dia alasan saya untuk tetap bertahan hidup, Pak."

Petugas muda itu mengangguk takzim, merasa iba melihat kondisi Papa Sisca.

Dia lantas menyodorkan kotak tisu kepadanya. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Bapak tentu saja perlu membantu kamu dengan do'a kepada Tuhan yang maha Esa."

"Tentu, saya juga akan membantu pihak kepolisian dan sekolah agar secepatnya dapat menemukan anak saya." Papa Sisca menghapus air matanya dengan tisu,

"Hanya dia yang saya punya, Pak. Hanya dia. Saya sudah kehilangan istri saya, mana mungkin saya rela kembali kehilangan orang yang saya cintai?"

Tangis Papa Sisca terdengar begitu memilukan, membuat sang Petugas muda memandangnya sendu. Dia jadi ingat kepada kedua orang tuanya.

Kasihan Bapak ini, pikir si Petugas.

"Iya, Pak. Bapak banyak berdoa saja ya, dengan restu dan ke hendak Tuhan, kita pasti bisa segera menemukan anak Bapak."

Pria muda itu menepuk samar bahu Papa Sisca,

"Do'a orang tua adalah do'a yang paling mustajab, Pak. Saya percaya itu."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel