Bab 16 Mulai
Bab 16 Mulai
Cuaca kota Semarang kembali tidak bersahabat hari ini. Hujan turun dengan derasnya, membuat banyak suara menjadi teredam akibatnya. Aroma Petrichor menguar, memberikan suasana syahdu di sana.
"Aroma hujan selalu memberi ketenangan." Sisca memandang keluar jendela kelas, menikmati pemandangan favoritnya sejak kecil tersebut dengan mata berbinar penuh antusias.
"Tenang apanya? Baunya lebih mirip bau amis," cibir Chandra sambil memandang keluar jendela dengan sinis,
"Gara-gara hujan aku jadi tidak bisa pulang, padahal Ibuku memasak banyak makanan enak untukku hari ini."
"Kau ini ...."
Sisca mencebik, "Hujan itu adalah berkat dari Tuhan, tahu! Kita harus bersyukur, kau kan tahu beberapa wilayah di negara kita tercinta ini ada yang mengalami kekeringan disaat kita kelebihan air disini."
Chandra merotasikan bola matanya malas, "Iya-iya, Bu Guru,"
"Tapi pikirkan juga, kota kita ini banyak sungainya loh. Bisa-bisa kalau begini terus kita bisa kebanjiran."
"Tidak akan kalau kita memiliki sistem drainase yang baik." Sisca menyerjapkan matanya riang,
"Banyak air itu artinya baik, Tuhan sedang memberikan berkah kepada kota kita."
"Terserah kau saja." Malas berdebat dengan Sisca, Chandra memilih menyambungkan ponselnya dengan airpods guna meredam suara berisik yang disebabkan oleh hujan di luar sana.
Untung saja Chandra sempat mengisi daya ponselnya saat jam istirahat tadi, kalau tidak, dia mau tak mau harus terus mendengarkan celotehan Sisca tentang hujan yang menurutnya tidak masuk akal tersebut.
Suara gemuruh terasa menggetarkan bumi. Kilat yang menyambar menyilaukan mata. Sisca menduga sebentar lagi akan terjadi badai, dia lalu menutup gorden di sampingnya dengan cepat, cahaya dari kilat sangat menyilaukan matanya.
"Katanya kau suka hujan?" ledek Chandra setelah melihat gelagat teman satu mejanya itu.
"Aku menyukai hujan, Chan, bukannya badai," pungkas Sisca kemudian menelungkupkan wajahnya di atas meja.
Siapa tahu setelah dia bangun tidur, cuaca kembali bersahabat sebab hari ini dia ada janji dengan Brody.
***
Sisca mengemasi buku-buku serta alat tulisnya setelah memantau kondisi cuaca di luar. Hujan deras telah berubah menjadi rintik gerimis kecil yang nyaris tak terlihat. Sang gadis kemudian melenggang keluar dari kelas, berniat menuju kelas Brody.
Pacarnya itu sudah menunggu di depan kelas, beberapa saat lalu dia mengirimi Sisca pesan singkat.
Mungkin keduanya ingin jalan-jalan romantis seperti film remaja romantis yang telah mereka tonton bersama beberapa hari lalu.
Brody bilang, dia ingin mengajak Sisca jalan-jalan dengan lebih romantis ketimbang film itu.
"Kita mau jalan-jalan ke mana?" tanya Sisca langsung pada intinya tatkala matanya menangkap eksistensi Brody di ambang pintu kelasnya.
Brody menyengir, "Makan siang dulu yuk, baru kita jalan-jalan keliling Semarang."
"Oh iya, kebetulan juga aku sudah sangat lapar." Sisca meringis, "Makan bakso aja yuk? Dingin-dingin begini enaknya makan bakso yang pedas."
"Boleh, ya sudah, kita langsung ke kedai bakso saja kalau begitu." Brody menggamit tangan gadisnya, lantas melangkah bersama meninggalkan lingkungan sekolah.
Angin sepoi-sepoi menyapa kedua sejoli itu dengan begitu ramah hingga membuat rambut mereka sedikit beterbangan terbawa angin. Tawa bahagia terpancar di wajah rupawan keduanya, seakan mereka adalah pasangan yang paling bahagia di seluruh dunia.
Keduanya tampak sibuk mengobrol sambil bertukar gurauan, membuat banyak mata dengan berbagai jenis tatapan tertuju kepada mereka. Ya, keduanya memang pasangan yang sangat mencuri perhatian.
***
"Yah, hujan lagi..." Brody mendesah kecewa ketika hujan kembali turun dengan derasnya padahal mereka belum sampai pada tujuan.
Sisca menghela samar, tersenyum maklum, "Faktor cuaca. Kita pulang saja ya?"
Brody mendecak sebal, "Bagaimana mau pulang kalau hujannya deras begini? Bisa-bisa kamu sakit, aku kan tidak mau kalau kamu sampai jatuh sakit gara-gara aku."
"Ya sudah, terus mau bagaimana?"
"Kita berteduh saja dulu." Brody mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, berharap dapat menemukan tempat berteduh yang aman serta nyaman untuk dirinya dan Sisca.
Tak berapa lama, Brody menemukan sebuah tempat strategis untuk keduanya berlindung dari guyuran hujan. "Ikut aku," titah Brody sambil menggandeng tangan pacarnya.
Keduanya berderap perlahan memasuki kawasan sekolah dengan naungan sebuah daun pisang besar yang melindungi keduanya sementara —karena memang mereka terkepung hujan di sekitar kawasan sekolah.
"Sial, sudah di kunci!" umpat Brody kesal setelah mendapati gerbang utama SMA Kartika telah di kunci dengan sebuah gembok besar.
"Bagaimana kalau kita berteduh di pondok dekat pohon beringin itu?"
Sisca menunjuk pohon beringin yang terletak di lorong pemisah antara gedung SMP dan SMA Kartika.
Tak jauh dari pohon itu memang terdapat sebuah pondok kecil terbengkalai, tetapi bisa di gunakan untuk sekedar berteduh.
"Kamu yakin?" tanya Brody memastikan.
"Tidak ada pilihan lain. Kamu bilang tidak mau aku jadi sakit karena kehujanan bukan?"
Brody menghela pasrah, "Ya sudah kalau begitu, ayo,"
Brody dan Sisca melenggang menuju pondok yang di maksud oleh Sisca. Langkah mereka terlihat memecah keheningan petang itu, semua orang nampaknya sedang menikmati cuaca sejuk ini di dalam ruangan mengingat kondisi saat ini benar-benar sepi.
Sangat sedikit orang yang berlalu lalang, hanya beberapa mobil dan pemotor yang menutup rapat tubuhnya dengan mantel hujan.
"Nah, pondok ini yang aku maksud tadi," kata Sisca sambil menunjuk sebuah pondok kayu usang beratapkan genteng dengan dagunya.
Brody mengangguk, dia kemudian berjalan mendahului Sisca guna memastikan terlebih dahulu pondok itu apakah aman atau tidak. Siapa tahu ada ular di sana. Brody merogoh saku celana sekolahnya, mengeluarkan ponsel lalu menyalakan senter.
Dia mengarahkan ponselnya ke seluruh penjuru pondok, mengamati dengan seksama setiap inchi pondok demi menjaga keamanan Sisca.
"Aman. Cepat kemari, nanti kamu makin kebasahan," perintah Brody mutlak.
Sang gadis kemudian buru-buru berjalan mendekat kepada Brody yang sudah duduk manis di atas pondok.
Angin berhembus semakin kencang, membuat tubuh Sisca bergetar samar akibat kedinginan.
Buku-buku jarinya juga nampak membiru, bibirnya memucat membuat Brody menjadi khawatir.
Dengan sigap, Brody melepas cardigan seragamnya, memasangkannya dengan telaten pada kedua bahu sempit Sisca.
"Maaf ya, gara-gara aku memaksa pergi jalan-jalan hari ini kamu jadi kedinginan begini," sesal Brody dengan raut sendu.
"Tidak masalah,"
Sisca mengulum bibir, "Aku tidak apa-apa selagi kamu di sampingku."
Mendengarnya, Brody tesenyum penuh. Dia merasa menjadi laki-laki paling beruntung karena dapat memenangkan hati Sisca.
"Eum, Sisca, kamu masih kedinginan?"
Brody memandangi Sisca dengan seksama. Seluruh pakaian yang membalut tubuh Sisca sudah sangat lembab, nyaris basah, Brody khawatir gadisnya itu akan jatuh sakit karena masuk angin.
"Iya, masih," cicit Sisca, sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Brody menggeser tubuhnya kemudian mendekap tubuh mungil Sisca tanpa aba-aba membuat sang gadis kaget bukan kepalang.
Sisca merasa jantungnya hampir copot karena berdegup terlalu kencang.
Dia juga dapat merasakan bahwa Brody mengalami hal serupa.
Detak jantung mereka yang amat kencang seolah saling sahut-menyahut, menimbulkan perasaan yang begitu membahagiakan bagi keduanya.
"Apakah aku boleh?"
Brody kembali buka suara setelah beberapa saat sibuk bergelut dengan pikiran serta perasaannya.
***