Bab 14 Bantuan Chandra
Bab 14 Bantuan Chandra
Hamparan luas lapangan putih yang di tumbuhi tanaman ilalang itu nampak menari tersibak oleh sapaan semilir angin sore.
Jika ditanya tanaman apa yang paling dia sukai, maka Brody akan dengan sigap menjawab ilalang.
Bukan tanpa alasan, bagi Brody, ilalang adalah tanaman sederhana yang bisa tetap terlihat cantik meski hanya memiliki penampilan yang seadanya.
Bahkan, ilalang dengan hebatnya mampu bertahan hidup dalam lahan yang kesulitan air sekalipun, tentu Brody merasa sangat takjub.
Di sisi kanan lapangan itu, tepat di bawah pohon angsana, Brody sedang menikmati segelas es kopi di genggamannya.
Dia sedang menantikan kedatangan seseorang, mereka sudah sepakat membuat janji di sini, lokasi yang tidak jauh dari rumah keduanya.
Seolah tidak peduli celana mahal keluaran terbarunya akan kotor terkena tanah, Brody dengan cueknya duduk lesehan di bawah pohon.
Lelaki itu hanya mementingkan kenyamanannya, dia mana mau menunggu sambil berdiri yang ada kakinya akan pegal dan Brody tidak suka hal itu.
Angin juga turut menyapa helaian rambut Brody, membuat beberapa helainya terangkat ke atas.
Terlihat lucu tatkala Brody cepat-cepat membenarkan rambutnya lagi.
Hembusan angin pun seakan senang membelai Brody, tak heran, banyak gadis yang menaruh hati padanya. Mereka semua seolah tutup mata dengan segala fakta bahwa Brody bukanlah seorang siswa yang baik.
Dia begitu dekat dengan kata Berandalan.
"Sudah lama menunggu?"
Brody mendongak, mendapati Chandra telah berdiri tegak di hadapannya.
Tubuh lelaki itu hanya di balut dengan selembar baju kaos tipis dan celana pendek rumahan tetapi tidak menampilkan kesan murahan.
Chandra juga berasal dari keluarga berada, Brody tahu akan hal itu.
Brody mengulum bibir, "Tidak juga."
"Mau bicara disini atau kita pergi ke tempat lain?"
Chandra bertanya setelah menyadari bagian belakang celana Brody tertutup oleh bercak tanah kering yang cukup lebar.
"Disini saja, lagi pula aku hanya ingin membicarakan hal penting denganmu." Chandra menautkan alis tipisnya,
"Mengenai apa?"
"Soal Sisca," ucap Brody lugas.
"Memangnya ada apa dengan Sisca? Kau tidak sedang berencana melakukan hal yang tidak-tidak padanya 'kan?"
tuding Chandra setelah mengingat desas-desus mengenai perilaku Brody semasa masih duduk di bangku SMP.
Brody menggeleng cepat,
"Mana mungkin aku melakukan hal yang seperti itu pada gadis yang sedang kusukai?"
"Apa? Sebentar, biarkan aku mendengarnya sekali lagi. Tolong ulangi, barusan kau bilang apa?"
"Hei, Chandra, aku menyukai temanmu, Sisca. Kau puas?"
Chandra tergelak, "Aku sih sudah menduga."
"Gadis secantik itu siapa sih yang tidak suka?"
"Memangnya kau juga suka padanya?"
"Suka sebagai teman. Biar pun orang-orang, terutama siswi lain melekatkan predikat bandel padanya, tapi aku tidak beranggapan seperti itu. Bagiku, secara pribadi, Sisca adalah gadis yang baik dan cukup menyenangkan. Aku tidak heran kalau kau memutuskan untuk menyukainya," terang Chandra panjang lebar, memberikan jawaban yang memuaskan bagi Brody.
"Jadi, aku mengajakmu bertemu karena ingin meminta bantuanmu untuk menyatakan perasaanku pada Sisca dalam waktu dekat,"
kata Brody ragu-ragu.
"Soal itu kau tak perlu ragu, aku dengan senang hati akan membantu sampai kalian bisa berpacaran." Senyum Chandra merekah,
"Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk membantumu, Brody?"
***
Kepulan asap tipis seolah berebut menguar dari gelas porselen berisikan cokelat hangat di hadapan Sisca, membawa serta aroma khas cokelat yang terasa menenangkan.
Sisca meniup gelas itu sesekali, menyeruput sedikit demi sedikit isinya, menikmati nikmatnya cokelat hangat di tengah kelamnya awan kelabu yang menutup rapat kota Semarang pagi itu.
Sudah hari sabtu, namun Sisca tidak memiliki agenda kegiatan di luar rumah hari ini.
Sejak tadi dia hanya berkutat dengan laptopnya, menikmati koleksi film horror barunya di temani oleh secangkir cokelat hangat serta beberapa jenis camilan manis.
Akhir pekan ini cuaca sedang tidak bersahabat.
Suhu udara bahkan rendah, membuat menggigil meski belum turun hujan sedari tadi.
Ditengah keasyikannya menikmati adegan seram melalu laptopnya, Sisca terganggu oleh getaran panjang dari ponselnya yang sejak tadi tergeletak di atas nakasnya.
Sisca menekan touch pad sebelah kiri laptopnya, membuat film yang tengah di putar terjeda.
"Haduh, kali ini siapa pula yang mengganggu kebahagiaanku?"
Sang gadis bangkit dari kursi, melenggang menuju nakas guna mengambil ponselnya yang terus saja bergetar panjang.
"Halo?" sapa Sisca ogah-ogahan tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang sedang menghubunginya.
"Coba kau lihat keluar jendela,"
"Apa?"
"Lakukan sekarang!"
Penasaran, Sisca kemudian membuka gorden putih yang menjuntai menutupi jendela kamarnya hingga pemandangan di luar jendela terlihat dengan jelas.
Detik berikutnya, Sisca tertegun menyaksikan sebuah balon udara merah muda berbentuk hati menyapa indera pengelihatannya.
Pupil indah milik Sisca membesar, pertanda sang gadis merasa bahagia.
"Sisca!"
Brody berteriak dengan toa di tangannya, "Aku menyukaimu!"
Kedua belah pipi Sisca memerah padam.
Dia senang sekaligus malu dengan tindakan tiba-tiba yang di lakukan oleh Brody.
Buru-buru, dia meraih cardigan hitam yang tergantung di balik pintu kamar keluar dari kamarnya bermaksud menemui Brody.
Dua-tiga anak tangga ia lalui sekaligus.
Dia ingin cepat-cepat bertanya kepada Brody apa maksud dari segala perbuatan dadakan lelaki itu.
"Kau, kenapa berbuat seperti ini?" ucap Sisca cepat, sedikit menuntut.
"Kau tanya kenapa aku berbuat seperti ini?" Brody tersenyum simpul,
"Kan tadi sudah sudah kubilang, aku menyukaimu. Mana mungkin kau tidak paham?" Sisca tercenung, dia pikir semua yang terjadi barusan hanyalah mimpi.
Beberapa saat berlalu, hingga Sisca menampar pipinya sendiri.
"Kok sakit?" si gadis bergumam.
Brody tekekeh geli melihat aksi Sisca,
"Ya jelas sakit dong, 'kan kau sedang tidak bermimpi, jelas kau akan kesakitan jika ditampar dengan keras begitu,"
"Kau ini ada-ada saja."
"Kalau tidak mimpi, terus apa? Bunga tidur?"
tanya Sisca dengan polosnya.
Brody menggeleng tak habis pikir, gadis di hadapannya itu ternyata benar-benar polos tidak sesuai dengan penampilan luarnya.
Sang pria kemudian menghela,
"Ini kenyataan, bukan mimpi ataupun bunga tidur."
"Aku bilang aku menyukaimu, ya sudah, itu artinya aku benar-benar menyukaimu."
"A—pa? Kau, menyukaiku? Aku tidak salah dengar 'kan?" ujar Sisca tergagap, dia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar olehnya.
"Haduh, sudah kubilang aku benar-benar menyukaimu!" sergah Brody gemas sambil mengacak rambutnya frustasi. Sungguh, kepolosan Sisca membuatnya benar-benar merasa gemas.
"Aku... juga suka padamu." Sisca bergumam pelan nyaris tak terdengar.
Brody tersenyum penuh kemenangan,
"Kalau begitu, Vincincia Siscada, apakah kau bersedia menjadi pacarku?"
Tangan kanan Brody menyodorkan satu buket besar berisi bunga mawar berbagai warna kepada Sisca.
Sang gadis mengangguk kukuh, diterimanya bunga itu dengan senyuman malu-malu.
"Iya, aku mau," jawab Sisca sambil menyembunyikan pandangannya, masih terlalu malu untuk memandang Brody yang kini telah resmi menjadi kekasihnya.
"Woy, kalian sudah selesai? Cepat bantu aku menurunkan balon udara sialan ini!" teriak Chandra sambil memegang tali yang terhubung langsung dengan balon udara yang tadi terbang di depan jendela kamar Sisca.
Kedua sejoli itu terkekeh geli, lantas berlari menghampiri Chandra yang sudah kepayahan menahan balon udara itu dari terpaan angin kencang,
"Terima kasih, Chandra!"
***