Bab 12 Pedekate
Bab 12 Pedekate
"Oi, Brody, kau sedang apa?!"
Seketika Brody tersedak sereal yang tengah di nikmatinya dengan khidmat.
Lelaki itu mengumpat dalam hati, berharap siapa pun dapat mengajarkan sopan santun yang baik kepada Rudi.
Tangan Brody dengan tergesa meraih segelas air putih, menenggaknya hingga tandas demi menyelamatkan dirinya dari keadaan darurat tersedak sereal yang menimpanya saat ini.
Rudi sialan.
"Bisa tidak kau datang dengan lebih sopan? Tidak perlu berteriak, telingaku masih normal ya!" sungut Brody penuh amarah setelah selamat dari insiden tersedak barusan.
"Kenapa kau makan sereal di siang bolong begini? Dasar aneh," cibir Rudi setibanya ia di meja makan tempat Brody berada.
"Kau yang aneh." Brody mendecak,
"Kenapa kesini sambil teriak-teriak seperti orang hutan? Kau mau kukirim ke hutan?"
"Sembarangan." Rudi menempeleng Brody,
"Aku ke sini karena aku barusan dengar kabar dari teman-teman yang lain, katanya kau sedang dekat dengan Sisca, apakah itu benar?"
"Terus kenapa?" tanya Brody pongah,
"Memangnya salah?"
"Kau pernah dengar kan dia itu anak yang terkenal bandel di sekolahnya dulu?"
"Lalu apa masalahnya?"
"Kau tidak jadi mendekati Filia?"
Brody menggeleng cepat, "Tidak, kurasa aku akan cocok dengan Sisca. Toh, dia tidak sama dengan penilaian orang-orang. Aku juga heran kenapa orang-orang selalu menilai tanpa mau mengenal secara langsung terlebih dahulu."
"Kau habis kerasukan?" Rudi berujar heran,
"Tidak biasanya kau seperti ini hanya karena seorang gadis."
"Ngawur!" Brody mendecak,
"Itu karena Sisca memang berbeda, meski di mata orang-orang dia adalah gadis yang bandel tapi sebetulnya dia adalah gadis berhati murni. Sungguh, aku tidak menyesal berkenalan dengannya."
"Yang betul?"
"Iya, aku serius. Sisca itu gadis baik yang dinilai salah oleh orang-orang, dan kurasa aku mulai menyukainya."
"Menyukai dalam artian apa?" Rudi memandang Brody, mencari tahu kebenaran dari ucapan lelaki itu barusan mengingat Brody suka bercanda, siapa tahu Brody tengah mengerjainya.
"Menyukai layaknya seorang pria kepada wanita."
Nihil.
Rudi tidak menemukan kebohongan atau keraguan barang sedikit dari pahatan tegas wajah Brody Kent, sang sahabat sejak kecil.
*
Langit kota Semarang kembali tertutup awan kelabu sore ini.
Tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat Brody untuk pergi ke Mall guna membeli hadiah kecil untuk Sisca.
Tidak dalam rangka apa-apa, dia hanya melakukannya karena sedang jatuh cinta. Bukankah seorang pria harus merebut hati wanita pujaannya dengan cara elegan? Nah, Brody memakai prinsip tersebut untuk mencoba menarik hati Sisca.
Berbalutkan jalinan jaket denim tebal di tubuhnya, Brody melangkah mantap menuju garasi untuk mengambil motornya.
Dia memutuskan untuk pergi seorang diri agar tidak terpengaruh dengan bujukan orang lain —Brody adalah tipikal orang yang sangat mudah di kelabui, apalagi oleh Rudi, makanya dia memilih untuk pergi sendirian.
"Aku harus bergegas sebelum hujan, ah, semoga saja hujan belum turun hingga aku kembali pulang." Brody memandang kearah langit, setelah itu cepat-cepat menyalakan mesin motornya meninggalkan pekarangan rumah mewahnya.
Beruntung jarak antara Mall dan rumah Brody tidak begitu jauh, jadi dia hanya memerlukan waktu singkat untuk tiba di bangunan besar setinggi lima lantai tersebut.
Sepuluh menit, Brody telah memasuki lahan parkir sepeda motor. Buru-buru dia naik menggunakan tangga manual menuju lobby utama Mall. Dari sana Brody akan lebih mudah menjumpai berbagai pernak-pernik khas wanita, mulai dari pakaian, kosmetik hingga aksesoris, semuanya lengkap tersedia di lantai dasar.
Brody merogoh saku jaketnya, mencari keberadaan ponselnya. Beberapa hari lalu, Brody sempat menghubungi kakak sepupunya via pesan singkat demi mencari hadiah terbaik untuk Sisca. Dan benar saja, sang kakak dengan senang hati mau membantu.
Wanita itu bahkan dengan senang hati memberi tahu Brody semua toko langganannya.
Setelah membaca ulang pesan dari sang kakak sepupu, Brody melanjutkan langkahnya menuju toko kosmetik.
Ya, dia berencana membeli sebuah lip tint keluaran terbaru dari sebuah brand ternama asal Korea Selatan yang tengah di gandrungi oleh banyak remaja puteri setahun belakangan.
"Cari apa, Kak?" Brody terperanjat, namun buru-buru mengubah ekspersinya menjadi lebih tenang di hadapan karyawan toko itu.
"Oh, saya cari lip tint yang warnanya cocok untuk seorang gadis berkulit putih," papar Brody sambil menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan foto Sisca.
"Kulitnya sangat cerah, dia akan cocok pakai warna apa pun dalam varian lip tint yang kami punya," balas sang karyawan.
"Kalau boleh saya tahu, umurnya berapa?"
"Kalau tidak salah 15 tahun, kelas satu SMA."
Sang wanita mengangguk paham, dia lantas mengarahkan Brody ke depan etalase yang memajang lip tint dari berbagai brand serta memiliki pilihan warna yang sangat beragam,
"Nah, karena yang mau pakai masih usia sekolah, saya menyarankan Kakak belikan yang ini, warna peach. Warnanya cerah tapi tidak mencolok."
"Oke, bungkus yang itu ya, Mbak."
*
"Halo?"
"Sisca, kau sedang ada dimana?"
"Di rumah, kenapa memangnya?"
"Bisa keluar sebentar? Aku ada di depan rumahmu tapi pagarnya di kunci, satpamnya juga tidak ada,"
"Oh? Tunggu sebentar ya, aku akan segera ke sana."
"Piiip!"
Brody menghela napas lega. "Syukurlah, Sisca ada di rumah." Semoga dia suka dengan hadiah yang di beli dengan sepenuh hati oleh Brody hari ini.
Lelaki itu kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku jaket denim warna hitam yang membalut tubuh tegapnya tersebut dengan rapi. Sembari menunggu Sisca keluar, Brody memilih duduk di atas jok motornya sambil memandang lingkungan sekitar.
Ternyata lingkungan tempat Sisca tinggal mayoritas dihuni oleh orang-orang berduit jika di lihat dari segi bangunan rumah yang menyapa indera penglihatannya.
Rata-rata rumah di sekitar rumah Sisca berukuran besar dengan desain mewah yang tidak main-main.
Hanya beberapa yang terlihat hanya memiliki dua lantai, gila, batin Brody.
"Hei, apa yang membuatmu sampai repot-repot kemari?" Sisca menyapa setelah dia membuka gerbang utama rumahnya di bantu oleh satpam.
"Aku punya sedikit hadiah untukmu." Brody mengulurukan sebuah kantung plastik cantik berwarna merah muda kepada Sisca sambil tersenyum manis.
Sisca menerimanya dengan raut penasaran, "Apa ini?"
"Bukan sesuatu yang mahal atau pun penting, tapi sepertinya kau akan membutuhkannya." Brody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum kikuk.
Tidak mau larut dalam rasa penasaran, Sisca lantas membuka bungkusan merah muda itu.
Netranya kemudian disapa oleh sebuah botol cantik yang memiliki warna sedikit lebih muda ketimbang kantong plastik yang membalutnya.
"Lip tint? Bagaimana kau bisa tahu kalau aku memang sedang ingin membeli kosmetik?" Sisca terlihat menerima hadiah itu dengan senang. Pipinya nampak merona, dipermanis pula oleh senyum penuhnya.
Seketika Brody merasa hatinya menghangat.
Lelaki itu tersenyum tipis memandang interaksi menggemaskan antara Sisca dan lip tint barunya.
"Kau suka? Syukurlah, kukira kau akan membuangnya setelah tahu aku hanya memberimu itu."
"Brody, terima kasih banyak. Aku sangat suka, kebetulan aku memang ingin membeli benda ini tapi kau malah memberikannya padaku sebagai hadiah, ah, aku senang sekali!"
"Tidak masalah. Kakak sepupuku yang menyarankanku untuk membeli itu, aku senang kalau kau menyukainya."
'Kau senang? Syukurlah. Kalau begitu aku akan terus memperjuangkan hatimu agar bisa kumiliki secepatnya,' batin Brody.