Bab 11 Teman
Bab 11 Teman
Hari sudah kembali bertukar menjadi senin.
Meski wajahnya terlihat ogah-ogahan, Sisca tetap beranjak dari kasurnya bersiap memulai hari baru di sekolah.
Masih dengan tampang lusuh dan rambut yang mencuat kemana-mana —matanya bahkan masih setengah terbuka, Sisca beringsut menuju kamar mandi pribadinya yang terletak di pojok kiri kamarnya.
"Hoam~ selamat datang hari senin yang menyebalkan. Kuharap hari ini lekas berlalu." Sisca bermonolog sambil membuka pintu kamar mandinya.
Dia mulai mengikat rambutnya sedemikian rupa agar bisa masuk semua ke dalam shower cap, Sisca mana pernah mau pergi ke sekolah dengan rambut yang basah, baginya itu tidak mengenakkan.
Setelah beres mengurus rambutnya, dia lantas mengguyur tubuhnya dengan air cepat-cepat. Waktunya bersiap-siap sudah tidak banyak, Sisca sudah tidak mau menyandang gelar 'Gadis Bandel' seperti saat masih SMP, dia ingin berubah sedikit demi sedikit.
Dengan cekatan, Sisca mengenakan pakaian sekolahnya tak lupa dengan semua atributnya.
Hari ini upacara bendera, bisa gawat kalau dia tidak pakai atribut lengkap.
Sisca mana mau menjadi bahan tontonan murid lain serta para guru dan staff sekolah karena tidak memakai atribut lengkap —sekolah memiliki kebijakan untuk memamerkan siswa dan siswi yang melanggar aturan di bagian paling depan lapangan, sejajar dengan tiang bendera.
Membayangkannya saja Sisca sudah ngeri.
Peraturan di sekolahnya yang satu ini menurutnya memang sedikit gila, terlalu ekstrim.
Dia bahkan tak habis pikir, bagaimana mungkin ada sekolah swasta dengan peraturan seketat ini.
***
Berbeda dari hari-hari sebelumnya, hari ini terpantau cerah.
Matahari bersinar terang, awan nampak bergumul ramai di atas cakrawala biru yang maha luas.
Udara kota Semarang pagi ini terasa begitu segar, membuat perasaan Sisca lebih membaik meskipun sejujurnya dia membenci hari senin.
"Aku masuk dulu ya, Pa. Papa hati-hati di jalan tidak usah ngebut. Assalamualaikum." Sisca menyalami Papanya lantas beranjak turun dari mobil dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya.
"Waalaikumsalam, kamu semangat belajarnya ya." Sisca mengangguk samar menanggapi ucapan sang Papa.
Detik berikutnya, mobil yang di kendarai oleh Papa melesat meninggalkan pelataran sekolah.
"Baiklah, ayo mulai hari ini dengan lebih baik," kata Sisca penuh optimis.
Gadis itu menjejakkan kakinya buru-buru memasuki lingkungan sekolah, gawat, sepuluh menit lagi sudah bell masuk.
Kalau tidak cepat-cepat dia bisa di hukum.
Berbahan bakar panekuk buatan Papa tadi pagi, kaki Sisca berlari dengan gesit melewati koridor utama sekolah hingga menapaki puluhan anak tangga menuju kelasnya.
Masakan Papa memang sedahsyat itu.
Minggu ini Sisca dan teman-temannya dari tingkat pertama akan mulai belajar.
Jadi, semua peraturan ketat itu juga sudah berlaku dan sialnya Sisca juga harus menaatinya.
Dia hanya bisa berdoa semoga tidak melanggar.
"Pagi, Sisca!"
Dengan riang, Chandra menyapa Sisca setibanya sang gadis di ambang pintu kelas.
Sisca tersenyum menanggapi, napasnya memburu tidak teratur karena berlari dari lantai dasar ke lantai tiga bukanlah jarak yang dekat.
"Kenapa kau lari-lari?"
"Takut telat, lihat, lima menit lagi sudah mau bell masuk aku bisa telat kalau jalan dengan santai dari gerbang,"
tukas Sisca setelah sistem pernapasannya membaik.
Chandra terkekeh, "Aih, iya kau benar."
Chandra Gunawan, anak laki-laki berperawakan tinggi dengan rambut agak ikal itu duduk satu meja dengan Sisca.
Wajahnya cukup tampan, tidak sedikit orang mengakui hal itu.
Namun sayang seribu sayang, di balik wajah cukup rupawan serta tubuhnya yang menjulang hingga 178 sentimeter itu, dia ternyata bertulang lunak.
Bukan bercandaan, memang benar adanya.
Suara Chandra terkenal paling nyaring di kelas, tiada yang bisa menyaingi.
Meski begitu, Sisca merasa nyaman berteman dengan Chandra.
Banyak orang beranggapan bahwa Sisca dan Chandra memiliki jiwa yang tertukar —Sisca yang tomboy dan Chandra yang gemulai.
Terbalik, itulah yang membuat pertemanan mereka terlihat unik.
Sisca kembali melangkah keluar kelas,
"Ya sudah, yuk turun bentar lagi upacara mulai nanti kena omel Pak Sastro loh ...."
"Oke, ayo capcus!"
Chandra berjalan mensejajarkan langkahnya dengan Sisca.
***
"Sis?"
Setelah Pak Wanto merapikan bahan ajarnya yang sejak tadi terkapar di atas meja guru, Chandra berani buka suara.
Pria paruh baya itu meninggalkan kelas dengan terburu-buru, nampaknya beliau ada rapat dadakan dengan guru lain di ruangan guru.
"Kenapa?"
Sisca menyahut sambil menyusun buku-bukunya, memasukkannya dengan rapi ke dalam ransel.
"Kau punya hubungan khusus atau bagaimana dengan Brody?"
Aktifitas Sisca seketika terhenti.
Kenapa tiba-tiba Chandra membahas soal Brody? Bukankah Chandra dan Brody tidak saling kenal?
Sebelah alis Sisca naik, memandang Chandra heran, "Kok kau bahas soal dia? Memangnya kau kenal dengan dia?"
Chandra menggeleng,
"Tidak, aku hanya pernah beberapa kali papasan dengan Brody di kantin, tapi katanya dia cukup terkenal di sekolah karena tampan."
"Iya kah? Terus kalau menurutmu yang sesama laki-laki dia itu bagaimana orangnya?"
Chandra mengusap dagunya dengan ibu jari dan telunjuknya, "Bandel, tapi sepertinya dia juga anak yang baik."
"Lalu, kau tahu dari mana kalau aku punya sedikit kedekatan khusus dengan Brody?"
"Banyak yang membicarakan soal itu, aku tidak sengaja dengar di depan toilet tadi,"
balas Chandra santai,
"Ya makanya aku tanya padamu, aku ingin tahu kebenarannya bagaimana. Begini-begini aku mau jadi teman yang baik untukmu, mana aku mau melihat kau jadi bahan gunjingan orang-orang seperti itu."
"Uh, Chandra ternya sebaik itu." Sisca tekekeh geli.
"Hei, aku serius!" sergah Chandra.
Sisca tergelak.
Duh, bagaimana bisa orang tua Chandra memiliki anak selucu ini?
Cerewet dan perhatian melebihi anak perempuan, menggemaskan sekali.
Sisca jadi iri, dia seketika ingin memiliki perasaan selembut milik Chandra.
Chandra mendecak sebal,
"Kau ini, ditanya serius malah ketawa, memangnya di matamu aku ini sedang melucu?"
"Lagian, kau memang lucu."
"Tapi aku sedang serius."
Mata besar Chandra melotot, dia benar-benar kesal dengan sikap Sisca, padahal kan Chandra sedang mengkhawatirkan dia tapi bisa-bisanya Sisca malah menganggap kekhawatirannya sesuatu yang lucu?
"Baiklah, baiklah, iya. Aku juga serius."
Sisca tersenyum simpul memandang Chandra, berharap senyumnya bisa membuat Chandra berpikir bahwa ia juga sedang serius.
Chandra menghela pendek,
"Biar kuulangi, apa kau punya hubungan khusus atau bagaimana dengan Brody?"
Demi apa pun, Chandra betul-betul merasa penasaran dengan hubungan Sisca dan Brody —dua manusia yang parasnya menjadi perbincangan hangat seantero sekolah sejak hari pertama mereka masuk ke sekolah ini.
Yang laki-laki tampan, yang wanita juga cantik.
Secara fisik, keduanya memang terlihat serasi kalau bersama.
Sisca kembali menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lantas menggeleng,
"Tidak. Aku dan Brody murni hanya berteman. Hanya teman seperti kau dan aku."
***