5. bertemu dengan Damian
Ketika Damian pertama kali melangkah masuk ke ruang tamu rumah Nina, kehadirannya seketika mengubah atmosfer ruangan. Dia adalah sosok yang tinggi dan tegap, wajahnya tampak dingin, seolah memancarkan kekuasaan yang tak terbantahkan. Pakaian formalnya rapi tanpa cela, tetapi bukan penampilannya yang mencuri perhatian Nina—melainkan auranya yang berat dan tak tersentuh. Dia memancarkan kekuatan yang membuat orang lain merasa kecil hanya dengan berada di dekatnya. Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan, namun kosong dari emosi yang biasa terlihat pada seseorang.
Damian duduk di seberang Nina, memperhatikan dengan seksama, namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Di balik ketenangan luarnya, ada ketegangan yang dirasakan oleh siapa saja yang cukup dekat dengannya. Ia sudah terbiasa mengendalikan situasi, mengendalikan orang-orang di sekitarnya, dan bagi Damian, perasaan adalah kelemahan. Emosi tidak pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Dalam dunia yang penuh kekerasan dan tipu daya seperti dunia mafia, kelembutan hanya akan menjadi penghalang.
"Jadi, kamu Nina," katanya akhirnya, suaranya dalam dan dingin. Tatapannya menelusuri wajah Nina seolah ingin membaca apa yang ada di pikirannya.
Nina merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya, tapi dia menegakkan tubuhnya. Ini bukan saatnya menunjukkan kelemahan. Meski Damian adalah pria yang mengintimidasi, Nina tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan rasa takut memengaruhi tindakannya.
"Aku tahu kita di sini untuk membicarakan perjodohan ini," jawab Nina dengan nada tegas, berusaha menjaga ketenangannya. "Tapi aku ingin menyatakan dari awal bahwa aku tidak setuju. Aku tidak berniat menikah dengan orang yang tidak aku kenal, apalagi seorang mafia."
Damian hanya mendengarkan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Dia sudah terbiasa mendengar penolakan, bahkan ancaman dalam hidupnya. Tapi Nina berbeda. Dia tidak berbicara dengan ketakutan, melainkan dengan keyakinan. Itu menarik perhatiannya.
"Orang-orang seringkali berpikir bahwa mereka bisa memilih jalannya," katanya, suaranya nyaris berbisik, namun tajam seperti pisau. "Tapi dalam kenyataannya, dunia ini sudah memilihkan jalur untuk kita sejak awal."
Nina mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Perjanjian ini bukan hanya soal kita, Nina. Ini tentang kekuatan yang jauh lebih besar. Kamu mungkin ingin percaya bahwa kamu bisa menolak, bahwa kamu bisa lepas dari semua ini. Tapi dunia mafia tidak bekerja seperti itu," lanjut Damian, nadanya tetap dingin, tapi kini terdengar lebih tegas.
Nina menggigit bibirnya. Dia tidak ingin terlihat lemah, tapi sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa Damian tahu lebih banyak tentang dunia ini daripada dia.
"Kamu mungkin terbiasa dengan hidup yang normal, penuh kebebasan," Damian melanjutkan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Nina. "Tapi aku tidak bisa memberimu kehidupan seperti itu. Jika kamu masuk ke dunia ini, kamu akan selalu berada dalam bayang-bayang kekuasaan dan bahaya. Jika kamu menikah denganku, kamu harus siap untuk menjalani hidup yang berbeda."
"Kamu membuatnya terdengar seperti sebuah ancaman," balas Nina, berusaha mempertahankan sikapnya.
"Ini bukan ancaman," kata Damian, akhirnya menatapnya lebih dalam. "Ini kenyataan. Dan kenyataan sering kali lebih kejam daripada yang kita bayangkan."
Keheningan kembali mengisi ruangan. Nina mencoba mencari tanda-tanda emosi di wajah Damian, tetapi dia hanya menemukan kekosongan. Pria ini seperti tembok batu—kuat, dingin, dan tak tergoyahkan.
"Aku tidak akan memaksamu menikah denganku," ujar Damian tiba-tiba, kalimat itu mengejutkan Nina. "Tapi jika kamu menolak, kamu harus siap dengan konsekuensinya. Keluargaku tidak pernah melepaskan apa yang menjadi hak mereka. Dan kamu, Nina, sudah menjadi bagian dari perjanjian itu sejak lama."
Kata-katanya membawa nuansa ancaman yang samar, tetapi Damian mengucapkannya dengan tenang, seolah semua ini hanyalah fakta yang tak terbantahkan. Nina merasa perutnya mual, terjepit di antara kebebasan yang ia inginkan dan kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
"Aku tidak ingin hidup dalam ketakutan, Damian," Nina akhirnya berkata, mencoba menahan kebingungannya. "Aku bukan bagian dari duniamu, dan aku tidak pernah menginginkan ini."
Damian mengangkat alis sedikit, meskipun ekspresinya tetap sulit dibaca. "Kamu mungkin tidak menginginkannya, tapi dunia sudah memilihmu. Dan aku tidak akan membiarkan orang lain menguasaimu. Hanya aku yang bisa melindungimu dari bahaya yang akan datang."
Nina terdiam, pikirannya berpacu. Dia tidak ingin terjebak dalam dunia Damian, namun ada bagian dari dirinya yang tahu bahwa Damian mungkin benar. Dunia mafia tidak memberi ruang bagi mereka yang mencoba kabur. Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Damian mungkin dingin dan penuh misteri, tapi dia bukan seseorang yang bisa membuat Nina tunduk.
"Aku akan memikirkannya," kata Nina akhirnya, matanya menantang.
Damian berdiri perlahan, mengangguk kecil sebelum berbalik menuju pintu. Sebelum keluar, dia berhenti dan menatap Nina untuk terakhir kalinya, sorot matanya dalam namun tetap penuh rahasia.
"Kita akan bertemu lagi, Nina. Dan ketika saatnya tiba, kamu akan memahami bahwa ada lebih banyak hal yang harus dipertimbangkan daripada sekadar keinginanmu."
Dengan itu, Damian pergi, meninggalkan Nina dengan seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya. Sosoknya yang penuh misteri, kekuasaan yang tak terlihat, dan kata-kata yang tajam namun tersirat membuat Nina sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
bersambung
Happy reading