4. Perjanjian yang tidak diinginkan
Setelah melangkah keluar dari rumah, Nina berusaha mengatur napasnya. Udara malam yang sejuk membantu meredakan amarah yang menggebu di dalam dada. Dia berjalan menjauh, mencari tempat yang sepi untuk menenangkan pikiran. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Ponselnya bergetar di dalam tas, memecah keheningan malam.
Dengan ragu, dia mengeluarkan ponsel dan melihat nama yang muncul di layar—Ibu Mira. Dengan berat hati, dia menjawab panggilan itu.
“Nina, tolong dengarkan kami. Ini sangat penting,” suara Ibu Mira terdengar panik.
“Apa lagi yang bisa ibu katakan?” balas Nina, berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar. “Saya sudah cukup mendengar hari ini. Saya tidak ingin mendengarkan tentang Damian atau perjodohan ini lagi.”
“Ini bukan hanya tentang perjodohan, sayang. Damian sudah mencari kamu. Dia sangat ingin bertemu denganmu,” Ibu Mira menjelaskan, nada suaranya menunjukkan ketegangan.
“Dia mencari ku?” Nina menahan napas. “Kenapa dia mencariku? Apa yang dia inginkan?”
“Dia ingin membicarakan perjanjian keluarga kita,” Ibu Mira menjawab, suaranya kini terdengar lebih serius. “Perjanjian ini harus segera dijalankan. Keluarga kita dan keluarganya telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah ikatan.”
“Perjanjian?” Nina merasa hatinya bergetar. “Apakah ibu serius? Saya bukan barang dagangan yang bisa diperdagangkan seperti itu! Saya tidak ingin terlibat dalam permainan berbahaya ini.”
“Ibu tahu ini sangat sulit bagimu, tetapi ini adalah bagian dari tradisi. Keluarga kita sudah terikat dalam kesepakatan ini selama bertahun-tahun. Jika kita menolaknya, dampaknya bisa sangat buruk bagi semua orang, termasuk kita,” Ibu Mira menjelaskan, suaranya penuh penyesalan.
Nina terdiam sejenak, mencerna kata-kata ibunya. “Apa yang akan terjadi jika saya menolak? Apa yang akan terjadi pada kalian?”
“Keluarga Damian memiliki pengaruh besar. Mereka bisa membuat hidup kita sulit jika kita menolak. Kami tidak ingin itu terjadi,” Ibu Mira berkata dengan nada yang memohon. “Tolong, berikan kesempatan untuk berbicara dengan Damian. Dia mungkin bukan orang yang kamu bayangkan.”
Nina menutup mata, mencoba menahan air mata yang ingin mengalir. “Apa pilihan saya, Bu? Menikahi orang yang tidak saya kenal? Hidup dalam bayang-bayang dunia yang tidak saya inginkan?”
“Aku tidak bisa menjanjikan apa pun, Nina. Tapi jika ada kesempatan untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, kita harus mencobanya,” Ibu Mira berkata, suaranya penuh harap.
Nina merasa tertekan. Dia sudah berjuang melawan ketidakadilan dalam hidupnya, melawan stigma dan ekspektasi sebagai seorang wanita muda yang berprestasi. Sekarang, dia terjebak dalam dilema yang bahkan lebih rumit. Dia tahu betapa berbahayanya dunia yang digambarkan orang tuanya, tetapi dia juga tahu bahwa memilih untuk mengabaikan semuanya sama saja dengan menyerah.
“Baiklah, saya akan memberinya kesempatan,” Nina akhirnya menjawab, suaranya lemah. “Tapi saya tidak berjanji untuk menerima perjodohan ini.”
“Terima kasih, sayang. Kami akan mendukungmu apapun yang terjadi. Damian akan datang ke rumah kita besok malam. Aku akan memastikan kamu merasa nyaman,” Ibu Mira menjawab, nada suaranya mencerminkan rasa syukur.
Nina menutup telepon, merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh tali. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Satu hal yang pasti: dia tidak akan membiarkan orang lain mengendalikan hidupnya. Dia akan berjuang untuk mendapatkan kembali kendali atas takdirnya sendiri.
Sambil berjalan kembali ke rumah, Nina mencoba merencanakan langkah selanjutnya. Dia tidak hanya ingin menjadi pengantin yang patuh, tetapi juga ingin memahami siapa Damian sebenarnya. Apa yang dia inginkan? Apakah dia benar-benar setia pada perjanjian ini, atau adakah harapan untuk menemukan jalan lain?
Dia tahu ini akan menjadi pertarungan yang sulit, tetapi dia bertekad untuk melawannya. Saat dia memasuki rumah, hatinya penuh dengan tekad. Besok malam, pertemuan itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya, dan dia akan memastikan bahwa suara dan keinginannya didengar.