Ringkasan
Nina tidak pernah mengira hidupnya yang tenang sebagai seorang dokter akan berubah drastis setelah ia mengetahui bahwa dirinya adalah tunangan Damian, pewaris keluarga mafia yang telah dijodohkan sejak kecil. Ketika mereka dipertemukan kembali, Nina terkejut dengan perubahan Damian, yang kini menjadi pria dingin dan berbahaya. Damian tidak peduli dengan perjodohan ini, tetapi saat musuh-musuhnya mulai menargetkan Nina untuk melemahkannya, Damian mendapati dirinya siap melakukan apa saja untuk melindungi wanita yang mungkin satu-satunya orang yang bisa menyentuh hatinya.
1. Prolog
Hening malam diiringi suara detak jam dinding yang mengisi ruang kerja Nina. Cahaya lampu meja menerangi selembar kertas dengan daftar nama-nama pasien yang baru saja diperiksa hari ini. Di antara secangkir kopi yang sudah dingin, tangan Nina bergerak lincah, menuliskan catatan terakhir sebelum beranjak istirahat. Di luar, hujan rintik mulai turun, seolah mengiringi lelah yang tak tertahankan di tubuhnya.
Nina, seorang dokter muda berusia 27 tahun, terkenal bukan hanya karena kepintarannya, tapi juga karena dedikasi tanpa batas terhadap pasien-pasiennya. Berwajah tegas namun tetap menyiratkan kelembutan, Nina adalah sosok mandiri yang tak pernah mengandalkan siapa pun, bahkan di tengah beban berat pekerjaannya. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dengan kedisiplinan dan tuntutan tinggi, warisan dari kedua orang tuanya yang juga berprofesi sebagai dokter.
Hari ini seperti biasanya, Nina melewati shift yang panjang di rumah sakit. Jadwal jaga malam yang melelahkan, penuh dengan pasien-pasien yang membutuhkan perhatian khusus. Namun, tak pernah sekalipun ia mengeluh. Baginya, hidup sebagai seorang dokter adalah panggilan jiwa.
***
"Dokter Nina, pasien di ruang 302 ingin bertemu," panggilan suara suster mengagetkannya dari fokus pada berkas yang sedang dibaca.
Nina menoleh, memperlihatkan senyum tipis. "Sekarang?" tanya Nina sembari melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul sepuluh malam, dan tubuhnya sebenarnya sudah menjerit meminta istirahat.
"Ya, Dok, dia bilang ini sangat penting," suster itu mengangguk, wajahnya penuh rasa cemas.
Tanpa berpikir panjang, Nina bangkit dari kursinya. "Baik, saya akan ke sana," katanya sambil merapikan jas putih yang mulai kusut.
Langkahnya mantap menuju ruang pasien, melewati koridor panjang rumah sakit yang sunyi. Di tiap sisi, ruangan-ruangan terlihat gelap, hanya satu atau dua yang masih ada cahaya menyala—tanda ada pasien yang masih terjaga atau mungkin keluarga yang menunggui. Begitu sampai di depan pintu kamar 302, Nina mengetuk pelan sebelum masuk.
"Selamat malam, Bu Ira. Bagaimana perasaannya malam ini?" sapanya lembut sambil menghampiri wanita tua di ranjang.
Pasien yang sudah sering Nina rawat itu tersenyum tipis, wajahnya sedikit pucat tapi tetap menunjukkan semangat. "Malam, Dokter. Maaf mengganggu, tapi saya hanya ingin bicara sebentar. Ini bukan soal kesehatan saya," katanya dengan suara lemah.
Nina menaruh stetoskopnya di meja dekat ranjang. Ia duduk di kursi sebelah, memperhatikan wanita itu dengan tatapan penuh perhatian. "Tak apa, Bu Ira. Ada yang bisa saya bantu?"
Wanita tua itu menatapnya lekat-lekat. "Dokter, Anda bekerja terlalu keras. Saya sering lihat Anda bolak-balik di rumah sakit ini tanpa istirahat. Tak pernahkah Anda merasa lelah?"
Nina tertawa kecil, meski terdengar sedikit getir. "Lelah itu sudah biasa, Bu. Tapi saya mencintai pekerjaan ini. Lagipula, kesehatan pasien seperti Ibu jauh lebih penting."
"Iya, saya tahu," balas Bu Ira, "tapi seorang dokter juga manusia. Anda butuh istirahat, dan kadang... butuh seseorang yang peduli pada Anda."
Kata-kata Bu Ira membuat Nina terdiam. Sebenarnya, apa yang dikatakan wanita itu bukan hal baru baginya. Ia sudah sering mendengar saran serupa dari teman-temannya. Namun, hidupnya yang sibuk dan ambisinya untuk terus berprestasi membuat Nina mengabaikan hal itu.
"Saya baik-baik saja, Bu," jawab Nina akhirnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Saya di sini untuk membantu Ibu. Jadi, mari kita fokus pada kesehatan Ibu, ya?"
Bu Ira tersenyum lembut, namun sorot matanya mengatakan sesuatu yang lebih dalam. "Terima kasih, Dokter. Saya bersyukur bisa dirawat oleh dokter seperti Anda. Semoga, suatu saat nanti, ada seseorang yang merawat hati Anda seperti Anda merawat kami semua."
Nina hanya tersenyum. Kata-kata itu menggantung di benaknya, meski ia tak ingin memikirkannya lebih jauh.
***
Setelah menyelesaikan tugasnya malam itu, Nina kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursi, menatap keluar jendela. Hujan masih turun, membasahi taman rumah sakit. Di balik profesionalitas dan semangatnya, ada rasa hampa yang kerap ia rasakan dalam kesunyian seperti ini. Di usianya yang masih muda, Nina sudah mencapai banyak hal: lulusan terbaik dari fakultas kedokteran ternama, bekerja di rumah sakit besar, dan diakui oleh banyak orang sebagai dokter yang berbakat. Tapi di balik semua itu, ada ruang kosong dalam hidupnya yang belum pernah terisi.
Bunyi notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Nina. Sebuah pesan dari salah satu teman kuliahnya, meminta untuk bertemu akhir pekan ini. Nina menghela napas. Akhir pekan adalah satu-satunya waktu di mana ia bisa sedikit beristirahat, tapi sekarang undangan untuk bertemu teman-temannya membuat ia harus memikirkan lagi rencana istirahatnya.
Ia mengetik balasan singkat, menolak undangan itu dengan alasan pekerjaan, meski dalam hati ia tahu itu bukan alasan yang sebenarnya. Nina terlalu terbiasa sendiri, terlalu nyaman dengan dunianya yang sibuk. Dan mungkin, itu yang membuat ia tetap bertahan dalam kesendiriannya.
Malam terus berlanjut, hujan tetap membasahi bumi, dan Nina menutup hari dengan sebuah pertanyaan yang perlahan menggerogoti hatinya: apakah ia benar-benar bahagia?
Bersambung
Happy reading