2. Di jodohkan!
Nina melangkah lelah ke rumah setelah seharian di rumah sakit. Pikirannya penuh dengan catatan pasien dan prosedur medis yang harus dilaksanakan esok hari. Senja telah menggelapkan langit, dan hujan rintik-rintik di luar jendela menambah suasana kelelahan di dalam dirinya. Setiap langkah terasa berat, seolah beban tanggung jawabnya sebagai dokter menyertai di setiap langkah.
Sesampainya di rumah, Nina langsung membuka pintu dan disambut aroma masakan yang menggugah selera. Senyum tipis muncul di wajahnya saat merasakan hangatnya suasana di dalam rumah. Ibu angkatnya, Ibu Mira, selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa nyaman setelah hari-hari yang melelahkan.
“Selamat datang, sayang! Bagaimana harimu?” sapa Ibu Mira sambil mengaduk panci di atas kompor.
“Capek, Bu. Seperti biasa, banyak pasien hari ini,” jawab Nina sambil menggantungkan jas putihnya di gantungan.
Nina melangkah ke dapur dan mencium aroma sup ayam yang sedang dimasak. Hatinya terasa hangat dengan perhatian yang diberikan Ibu Mira. “Tapi enak sekali aroma masakannya, ya. Ini pasti favoritku.”
Ibu Mira tersenyum, “Tentu saja! Ini untukmu. Sudah siap makan malam?”
Belum sempat menjawab, suara pintu terbuka kembali dan muncul sosok ayah angkatnya, Bapak Arman, dengan ekspresi serius di wajahnya. “Nina, ada yang perlu kita bicarakan,” katanya dengan nada yang membuat Nina merasa cemas.
Nina menatap kedua orang tuanya bergantian. “Ada apa, Pa? Kenapa terlihat serius sekali?”
Bapak Arman menghela napas berat. “Kami tidak ingin menyimpan rahasia ini darimu lebih lama lagi. Ini tentang masa depanmu.”
“Kalau ada yang perlu aku tahu, bilang saja, Pa. aku sudah dewasa,” Nina menjawab, berusaha terdengar tenang meskipun ada rasa gugup di dalam hati.
Ibu Mira menggenggam tangan Nina, tatapan penuh kekhawatiran. “Nina, sejak kau lahir, ada sesuatu yang telah ditentukan untukmu. Kami ingin kamu tahu bahwa kau telah dijodohkan.”
“Dijodohkan? Maksudnya?” tanya Nina, bingung. “Siapa yang menjodohkan Nina?”
“Damian,” Bapak Arman menjawab tegas, lalu melanjutkan, “Dia adalah pewaris keluarga mafia yang sangat berpengaruh di kota ini. Ini semua sudah diatur sejak dulu oleh keluargamu.”
Nina merasa seolah dunia di sekitarnya bergetar. “Damian? Siapa dia? Kenapa saya tidak pernah mendengar tentang ini sebelumnya?” Suara Nina mulai bergetar, menyadari betapa mengejutkannya berita ini.
“Karena kami ingin melindungimu,” kata Ibu Mira, suaranya lembut namun tegas. “Kami tahu reputasi keluarganya. Namun, ini adalah tradisi yang sudah berlangsung lama. Hubungan ini bisa membawa keamanan dan kekuatan bagi kita semua.”
“Keamanan dan kekuatan?” Nina menegaskan, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya. “Tapi saya tidak ingin dijodohkan! Saya sudah punya hidup sendiri, saya seorang dokter, dan saya tidak tertarik dengan dunia itu!”
Bapak Arman menatapnya dengan serius. “Kami mengerti, Nina. Namun, pernikahan ini bukan hanya tentang cinta, ini tentang kekuatan dan kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Keluarga Damian mengharapkan hal ini. Mereka percaya bahwa kalian akan membawa kekuatan baru ke dalam keluarga.”
“Lalu apa, saya harus menikahi seseorang yang tidak saya kenal?” Nina mengangkat suaranya, mengekspresikan kemarahannya. “Bagaimana jika saya tidak mencintainya? Bagaimana jika dia bukan orang yang baik?”
Ibu Mira merangkulnya, “Kita tidak bisa memilih jalan hidup kita sendiri di dunia ini, sayang. Kadang kita harus mengikuti apa yang ditentukan. Dan percayalah, kami tidak akan membiarkanmu terjebak dalam hal yang buruk. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Nina merasakan air mata menggenang di matanya. “Tapi saya tidak ingin menjalani hidup ini. Saya ingin memilih jalanku sendiri, mencintai orang yang saya pilih. Ini bukan fair!”
“Kami paham, Nina,” Bapak Arman mengusap punggungnya. “Tapi ini adalah kesempatan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Damian bukan sembarang orang. Dia adalah pemimpin, dan keluarganya memiliki pengaruh yang kuat. Jika kau menerima ini, kau bisa membantu banyak orang, termasuk pasien-pasienmu.”
Nina memejamkan mata, mencoba mengontrol emosinya. Hatinya berkecamuk. Semua impiannya, semua yang ia bangun, terasa seperti terancam oleh sebuah takdir yang tidak bisa ia ubah.
“Dua hari lagi, Damian akan datang ke sini. Dia ingin bertemu denganmu,” Bapak Arman menambahkan, memperjelas situasi.
“Dua hari?” Nina menatap mereka, bingung. “Saya tidak siap untuk ini.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu,” Ibu Mira mencoba menenangkannya. “Berikan diri Anda kesempatan untuk mengenalnya. Kita bisa berdoa bersama agar semuanya berjalan dengan baik.”
Nina merasakan berat di dadanya. Semua ini terasa terlalu cepat, dan keputusan yang harus ia ambil tampaknya semakin menjauhkan dirinya dari kehidupan yang sudah ia bangun. Keputusan itu tidak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga mengubah hidup orang-orang yang ia cintai.
Dengan kepala yang penuh keraguan, Nina hanya bisa mengangguk pelan. “Baiklah, saya akan mencoba untuk mengenalnya. Tapi saya tidak janji akan menerima semua ini dengan mudah.”
Ibu dan Bapak Arman saling berpandangan, lalu Bapak Arman berkata, “Kami hanya ingin kau bahagia, Nina. Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa kami ada di sini untuk mendukungmu.”
Nina menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pikirannya. Apa pun yang akan terjadi, ia harus bersiap menghadapi apa yang akan datang. Dalam hatinya, ia tahu bahwa jalan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga merasakan sebuah tantangan baru yang akan membawanya ke arah yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Bersambung
Happy reading