Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Sepupu

"Apa yang Abang lakuin di sini?" Raesha bertanya setelah membawa sepupunya ke dalam indekos, menyuguhkannya dengan kopi panas setelah Anugrah pamit pulang.

Iya, sepupu, yang dengan tidak tahu dirinya telah membuat Raesha hampir jantungan dengan kedatangannya yang tidak diduga, terlebih lagi dengan barang bawaan yang tidak sedikit. Dua tas ransel itu masih tergeletak di lantai, sementara orang yang membawanya sedang duduk santai sembari menonton televisi. Jika saja Raesha tidak tahu apa itu yang namanya dosa, pria itu sudah pasti akan ia lempar dengan sandal.

"Abang!" geram Raesha, kesal karena Raefal belum kunjung menjawab pertanyaannya, dan hampir memukul kepala sepupunya dengan kipas anyaman.

"Sebentar. Kau nggak punya simpati, ya." Raefal kembali meminum kopinya hati-hati, hingga Raesha menghela napas kesal. Tenang ... Raesha bisa sabar menunggu, kok―setidaknya untuk sekarang.

Raefal merupakan kakak sepupunya, pekerjaannya hanya staf di kantor desa yang setiap kerjanya memakai seragam yang mampu membuat anak-anak mengaguminya. Melihatnya saat ini membawa dua ransel penuh, Raesha yakin, sepupunya telah mendapatkan sebuah pekerjaan yang mengharuskannya merantau.

Namun, Raesha hanya memastikannya saja. Siapa tahu Raefal merantau gegara diusir nenek. Atau jabatannya naik?―Tidak mungkin. Atau ... pekerjaan sebagai staf desanya mengharuskan ia pergi ke kota―mungkin saja.

"Bagaimana, Bang?" Raesha kembali bertanya dengan tidak sabaran ketika Raefal meletakkan gelasnya di atas meja.

Pria itu berdecak, lalu mendengkus seraya menyampirkan sarungnya di sandaran sofa. "Tidak ada basa-basi? Menanyakan kabar, atau menawari makan?" Raefal mengenyakkan dirinya, mengabaikan wajah tak mengenakkan Raesha.

Oke, Raefal telah menguji kesabarannya. Selalu! Bahkan waktu kecil pun, dia telah melatih kesabaran Raesha di usianya yang baru 5 tahun. Si anak bandel yang sok dewasa itu selalu berhasil membuat Raesha dan Elvan menangis. Dan sekarang ... Raefal tetap bandel―menurut Raesha.

"Gimana kabar Abang?" Lebih baik menuruti, bukan?

"Baik," jawab Raefal tak acuh, matanya menutup sementara tangannya menggaruk pipinya yang memerah.

"Kenapa Abang malah tiduran di luar?"

Mendengar itu, Raefal berjengit. "Menurut kau?" Di mana otak adik sepupunya yang satu ini? Haruskah Raefal memberinya lem agar tidak geser?

Raesha bukannya tak tahu, pertanyaan basa-basi yang ada di otaknya hanya itu. Kenapa yang salah di sini hanya dia?

"Aju nunggu lama dari jam tujuh. Kau pikir apa yang harus aku lakukan sementara pintunya dikunci? Jalan-jalan? Butuh duit buat beli minum!" Kini, Raefal menunjuk lengan dan wajahnya yang bentol-bentol. "Gara-gara nunggu kamu yang lamanya hampir membuat aku ngamuk, kulitku menjadi polkadot!"

"Itu cuma bentol!" koreksi Raesha.

"Kalo dilihat dari jauh, mengerikan." Raefal tampak tak terima, dan lebih suka membuat emosi sepupunya meningkat. Lagi pula, dia butuh perhatian dari Raesha, harap-harap semoga mendapat garukan di punggungnya yang gatal.

"Cuma bentol! Besok juga hilang," gerutu Raesha sembari menahan diri untuk tidak mencakar sepupunya. Raefal selalu berhasil membuat dirinya kesal sampai guling-guling. Dengan hasil pemikirannya saat ini, lebih baik ia terlahir sebelum abang sepupunya.

Sementara Raesha dan pemikirannya yang mustahil, Raefal menggaruk lengannya yang penuh ruam merah. "Semoga saja. Ada bedak atau semacamnya buat ngobatin badanku yang gatal? Kalau tidak ada, kau bisa membelikannya?"

Gigi Raesha bergemeletuk seraya menahan tangannya untuk tidak merobek sarung sepupunya. Sabar .... Raefal memang begitu. Jika menghadapinya dengan kepala batu, bisa panjang urusannya. Jika perdebatan macam ini tidak ada yang mau mengalah, sampai ayam berkokok pun, alih-alih masalahnya hilang, yang ada malah bertambah.

"Sebentar," ucap Raesha malas, berdiri dari duduknya. Seingatnya, ia menyimpan sebotol bedak guna mengobati gatal-gatal di dalam lemarinya. Semoga saja masih ada, itu sudah lama, dan semoga saja belum kedaluwarsa.

Saat ia kembali dengan sebotol bedak penghilang gatal, Raefal kembali membungkus dirinya dengan sarung, sementara tangannya mengotak-atik ponselnya dengan lihai. Haruskah Raesha menimpuknya sekarang?

Dia benar-benar melakukannya; melempar botol bedak tepat mengenai wajah Raefal. "Bangk*!" umpatnya.

"Jadi, bagaimana?" Raesha mendudukkan dirinya di samping Raefal, mengamati pria itu mengolesi bedak pada lengannya.

"Jadi apa?"

Raesha berdecak. Andai dia punya keberanian untuk memukul kakak sepupunya. "Abang dapat pekerjaan di sini? Atau pak lurah menyuruh Abang dinas ke sini?"

Meletakkan botol bedak di atas meja, Raefal menatap sepupunya sembari mengolesi pipi dengan bedak. "Aku mendapat pekerjaan," jawabnya santai, tetapi nada kegembiraan tidak bisa lepas darinya.

"Apa?" Raesha benar-benar penasaran dengan hal ini. "Pelayan di kedai makan?" Bukan berarti ia meremehkan pekerjaan tersebut, tahu sendiri mencari kerja itu susah.

Namun, Raefal tampak tak terima. Kemudian ia menjawab, "Kerja kantoran, lah. Memangnya kau saja yang bisa kerja kantoran?"

Dirinya hanya bertanya, tetapi kenapa kakak sepupunya mendramatisir keadaan?

"HRD. Jangan meremehkan, ya. Mentang-mentang posisi kamu sekretaris direktur utama."

Jelas-jelas Raesha tidak meremehkannya. Kalaupun Raefal bekerja sebagai tukang kipas sate, Raesha tidak mempermasalahkan hal tersebut, sebab dirinya tahu betapa susahnya mencari pekerjaan. Namun, jika dipikir-pikir, tidak mungkin Raefal menjadi tukang kipas sate.

"Kantor mana?" Siapa tahu pekerjaan Raefal di kantor yang sama―tidak! Kalau dipikir-pikir, semoga saja tidak! Raesha tidak mau sekantor dengan sepupu protektifnya, bisa-bisa aktivitasnya dibatasi.

Raefal memang sepupunya. Ayah Raefal merupakan kakak dari ayah Raesha. Namun, semenjak kedua orang tua Raefal meninggal dalam kecelakaan dan pria itulah yang paling dekat dengannya, Raesha sudah menganggapnya sebagai kakak kandungnya. Walaupun sikapnya menyebalkan, Raesha tahu, Raefal melakukannya karena rasa sayang terhadap dirinya. Hanya saja, rasa ingin menimpuk Raefal selalu muncul di setiap berhadapan dengan pria itu.

"Tidak perlu tahu."

Oh ... dengar? Raesha ingin menari-nari di atas sofa sebelum menendang wajah congkak sepupunya.

Mengabaikan rasa kesalnya, Raesha kembali bertanya, "Abang ke sini naik apa?"

"Motor," jawab Raefal apatis sembari membenarkan letak sarungnya.

Mendengar itu, Raesha sudah duduk tegak menghadap Raefal. Ini kesempatannya untuk menghemat uang. "Motornya mana? Boleh aku ikut numpang besok?"

Menghela napas, Raefal menatap Raesha datar. "Motornya mogok di jalan. Kau lihat di depan ada motor? Si Jeki aku titipin di bengkel dekat pasar malam."

Punggung Raesha merosot. Rencana menghemat uangnya gagal.

"Kalau kau mau numpang." Raesha sudah duduk tegak lagi, menatap Raefal menunggu kelanjutan kalimatnya. "bayarin ongkos bus ke pasar malam. Nanti aku kasih tumpangan gratis."

Punggung Raesha merosot lagi. "Ogah!" Lebih baik ia naik bus sampai kantor daripada sampai pasar malam. Bayarin orang pula! Itu namanya pemborosan. Dia belum mendapat gaji―masih panjang. Hanya uang pesangon yang didapatinya di masa percobaan sebagai sekretaris, yang hanya cukup untuk ongkos dan makan.

"Kau mau ke mana?" tanya Raefal, saat Raesha berdiri dan berjalan menjauh.

Kaki Raesha berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap Raefal. "Aku mau mandi. Setelah itu tidur. Abang tidur di situ saja. Tidak ada kamar lain, soalnya." Dia berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya.

Namun, baru beberapa langkah, Raefal kembali memanggilnya. Ditatapnya pria itu dengan malas, Raesha bertanya, "Apa?"

"Garukin punggungku."

"OGAH!" Setelah pak bos, sekarang harus punggung abangnya? Big NO! Lebih baik Raesha garuk tembok!

***

Anugrah sudah berdiri di depan pintu ruangannya dengan tangan menyilang di dada, sementara matanya menatap Raesha tajam. Entah kesalahan apa yang dilakukannya. Dia pun datang tepat waktu, bahkan pakaiannya rapi dan memakai celana, tetapi kenapa Anugrah terlihat marah?

Dengan takut-takut, Raesha berjalan menghampiri bosnya, lalu menyapanya dengan sopan.

Kini, dahinya mengerut ketika tangan Anugrah menengadah ke arahnya. "Bekalnya." Ah ... Raesha kini mengerti.

Dengan segera, dia memberikan kantung berisi kotak bekal kepada Anugrah. Hanya nasi goreng sederhana, semoga saja pria itu menyukainya. Pagi tadi, sebelum berangkat, beruntungnya Raesha membuat nasi goreng yang banyak. Raefal makan banyak pagi ini, dengan alasan, semalam ia tidak makan apa-apa. Berkat alasan itu, Raesha bisa memasukkan sisanya ke wadah.

"Ke ruangan saya."

Raesha menurut, berjalan di belakang pak bosnya. Entah apa titah yang akan di berikan padanya, Raesha hanya berharap semoga bukan yang aneh-aneh.

"Tolong suapi, saya akan mengevaluasi semua ini," titah Anugrah, seraya tangannya mulai bergerak lincah di atas keyboard  laptopnya.

Dan nyatanya memang yang aneh-aneh.

Apa yang bisa dilakukan Raesha selain menurut? Tidak ada.

Menggeser kursi agar lebih dekat dengan Anugrah, Raesha mulai menyuapi bos manjanya ini dengan hati-hati, takut jika segelintir nasi saja yang jatuh, bisa membuat Anugrah marah.

Lama kelamaan, Raesha mulai bosan, dan hampir saja menyumpal mulut Anugrah dengan sendok. Tahan ....

"Minum," katanya, setelah selesai menghabiskan nasi gorengnya. Anugrah makan dengan lahap, Raesha tak bisa berbangga diri sementara ia berubah menjadi pengasuh pria itu. Kini, ganti membantu pak bosnya minum.

Hanya minuman teh hangat dalam botol. Dengan hati-hati pula ia memasukkannya ke dalam mulut Anugrah, takut jika setetes saja mengotori jas, bosnya bisa marah.

"Kamu boleh keluar." Anugrah mengatakannya tanpa mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan.

Kotak bekal dan botol, dibereskan, lalu berdiri hendak keluar dari ruangan berkelas ini. Namun, Anugrah kembali memanggilnya.

"Buat ini dalam grafik." Raesha melemparkan setumpuk kertas yang kira-kira jumlah lembarannya setara dengan dua novel rata-rata di atas meja. "Selesai sebelum makan siang." Raesha terserang sesak napas saat itu juga.

Gila! Setebal itu harus selesai dalam beberapa jam? Haruskah Raesha guling-guling sekarang? Kampr*t! Si bosnya ini keturunan apa?!

"Baik, Pak." Namun, Raesha tetap mematuhinya.

Dengan hati dongkol, dia mengambil tumpukan kertas itu dan memeluknya.

"Saya permisi."

Anugrah mengangguk.

"Eh, Resa!"

Raesha berbalik, dan berusaha agar wajahnya terlihat normal, padahal ingin sekali ia mendengkus keras. "Iya, Pak?"

"Nasi goreng kamu kurang pedes. Dan yang paling fatal." Raesha menelan ludahnya gugup. Jangan sampai Anugrah marah hanya karena nasi gorengnya tidak enak. "bekalnya kurang banyak." Dan rahang Raesha sudah jatuh ke lantai.

***

Apa yang dilakukannya selain mengeluh? Tidak ada! Raesha sudah tepar di atas meja hanya karena membaca tiga puluh lembar laporan yang diberikan pak bosnya. Masih banyak yang harus ia baca dan salin ke lembar kosong pada laptopnya, sementara waktunya tinggal tiga jam lagi.

Tuhan ... berilah secercah kebaikan pada pak bos. Dia sudah pusing menghadapi sikap aneh pria itu, dan sekarang malah dihadapkan dengan lembaran menggunung ini? Raesha masih terima jika batas waktunya sampai besok. Tak apa ia lembur, yang terpenting ia bisa menyelesaikannya. Namun, sebelum makan siang? Raesha bukanlah orang super yang dapat menghentikan waktu.

Di saat-saat seperti ini, ponselnya malah berbunyi. Raesha mengabaikannya, beralih pada pekerjaannya. Dia harus menyelesaikannya dengan cepat. Jika ia hanya bermalas-malasan, kertas menggunung ini tak akan berkurang dengan sendirinya.

Oke! Kali ini Raesha tak bisa sabar. Ponselnya berdering berkali-kali membuat konsentrasinya buyar.

Ketika ditilik, Raefal sedang tak ada kerjaan dengan terus meneleponnya.

Karena bunyi dering serta kerlipan layar ponsel membuatnya terganggu, Raesha terpaksa menerima panggilan dari sepupunya. Lagi pula, jika ia tak menerimanya, Raefal pasti akan terus mengomel di indekos nanti.

"Kenapa lama? Jangan sok sibuk!"

Sabar .... Jika ia tidak bisa mengendalikan diri, bisa berdampak pada pekerjaannya. Raesha menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sebelum merespons, "Ada apa?"

"Aku sedang berbaik hati. Kau mau makan siang bersama? Gratis, kok," tawar Raefal. Terdengar menggiurkan, tetapi ... Raesha tahu kemungkinan apa yang akan terjadi jika menerima tawarannya.

Lagi pula, makanan di kantor tersedia secara cuma-cuma. Raesha yakin apa yang akan sepupunya beri tidak seenak yang pelayan kantin sajikan. Makan gorengan, misalnya. Bahkan di kantin ia bisa makan bakso dan soto sepuasnya.

"Sori, Bang. Simpan saja duit Abang untuk beli bawang," putus Raesha tanpa menghentikan kegiatannya menyalin laporan ke komputernya.

"Yakin?"

"Yakin, Bang."

"Oh ... benarkah?"

Raesha memutar bola matanya malas. Hampir saja ia berbuat kesalahan dengan menghapus tabel hasil kerjanya, beruntung ia bisa mengendalikan diri.

"Bang, aku lagi kerja. Aku matikan, ya?"

"Kau nggak mau pulang bersama―"

Baru kali ini Raesha menyesal telah memutuskan sambungan dengan sepupunya. Dia sedang menghemat uang. Pulang bersama dengan sepupunya bisa menyelamatkan isi dompet. Dengan segera Raesha menghubungi nomor sepupunya.

Beruntung sekali Raefal langsung menerima panggilannya.

"Bang, jemput aku di kantor, ya?"

"Sori, dek. Gunakan saja duitmu buat bayar bus." Kemudian tak terdengar suara lagi dari seberang sana―panggilan telah dimatikann.

Bangs*t! Kenapa sifat menyebalkan sepupunya tidak menghilang juga di usia menjelang kepala tiga? Sudah mengganggu pekerjaannya, lalu menolak permintaannya―haruskah Raesha melemparkan pengharum ruangan ke dinding kaca?

"Oy!" Raesha tersentak kala mendengar panggilan tersebut, dan semakin terkejut lagi saat pak bos berdiri menjulang di depannya.

Raesha segera berdiri, lalu membungkuk sopan. "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Dilihatnya Anugrah masih terdiam, Raesha ingin menanyakannya lagi, tetapi tatapan dari mata hitam itu telah membuatnya mengurungkan niat.

"Gara-gara kamu yang susah dipanggil, saya sudah tidak ingat dengan tujuan saya ke sini." Setelah mengatakannya, Anugrah berbalik keluar dari ruangan sebelum memasuki ruangannya sendiri.

Raesha yang mendengar itu, hanya bisa terdiam dengan wajah aneh.

***

"Gimana?"

Sebelum makan siang, Raesha menghadap pak bosnya dengan takut-takut. Kini, Anugrah menatapnya dengan tajam dari balik meja kerjanya.

Raesha tak bisa menyelesaikan pekerjaannya seperti yang dijadwalkan. Yang bisa ia kerjakan bahkan tidak sampai seperempatnya. Masih sangat banyak, dan masih sangat jauh selesainya. Jangan salahkan ia atas semua ini. Salahkan saja pak bosnya yang tidak tahu diri itu.

"Be-belum selesai, Pak," cicit Raesha takut-takut sembari memejamkan matanya.

"Belum selesai?" tanya Anugrah. Dia masih duduk santai sembari menopang dagu dengan kedua tangan, menatap sekretarisnya yang mengkerut.

Raesha mengangguk takut, masih memejamkan matanya, sementara kedua tangannya saling meremas―siap menerima kemarahan dari si Anu.

"Kalau begitu ..."

Deg, deg ... deg, deg .... Rasa-rasanya, Raesha seperti akan mendengar hukuman dari guru BK.

"... temani saya makan siang."

Mendongaklah kepalanya. Netranya mendapati Anugrah masih di posisi yang sama, hanya saja tatapan matanya tak setajam sebelumnya.

"Makan siang?" gumam Raesha tak percaya.

Anugrah mengangguk. "Di kantin saja. Saya sedang menghemat."

Menghemat.

Menghemat.

Menghemat?

Sepupunya akan guling-guling di teras rumahnya jika mendengar kata terakhir si Anu.

***

Sekarang, lihatlah ke sepenjuru kantin. Mereka―kebanyakan wanita―menatap ke arahnya dengan berbagai macam ekspresi.

Anugrah menariknya ke sebuah meja di dekat tempat minuman, di mana orang-orang dengan jelas menatap ke arah mereka. Raesha sudah menciut semenjak tadi. Tatapan mereka serasa menusuknya ramai-ramai, dan Raesha terserang ketakutan selama itu.

Mereka memesan bakso. Anugrah tentu dengan berbagai macam syarat aneh yang membuat pelayan kebingungan. Bakso tiga biji ukuran sama, daun bawang satu sendok teh (tak boleh kurang dan tak boleh lebih), sayur tanpa toge, dan saus bermerk tertentu yang tak ada di sini, sehingga salah satu pelayan harus segera membelinya di warung depan kantor.

"Abaikan saja!" Anugrah tahu apa yang dikhawatirkan sekretarisnya.

Alih-alih membuat Raesha tenang, dia justru malah makin menenggelamkan kepalanya di mangkuk bakso ketika sepasang netra menusuknya tepat di matanya. Mbak yang ditemuinya di dalam lift saat pertama kali ia datang ke sini. Wanita berambut merah, yang kini seperti hantu di mata Raesha.

Ava dan Nimas datang, melambaikan tangan padanya. Namun, baru beberapa langkah sebelum sampai di mejanya, mendadak wanita berambut pirang itu menganga dan Nimas terkena serangan jantung dadakan.

"Ava, Nimas!" Raesha dengan sengaja memanggil mereka. Terserah dengan Anugrah, yang terpenting dia punya teman di samping indukan gagak.

***

Dengan terpaksa―atau dengan senang jika yang Tenten rasakan―mereka bergabung dengan Raesha. Bersikap sopan kepada Anugrah, dan mulai memesan menu yang sama seperti mereka.

"Bibir kamu hebat, ya. Menyala dalam keadaan terang seperti ini," komentar Anugrah, tanpa menghentikan memotong baksonya.

Subjek yang dikomentarinya tak jelas, tetapi Ava merasa kalau pak bos telah mengomentarinya.

Tisu di depan ia raih, dan mulai menghapus lipstik merahnya dengan senyum canggung.

Tak ada pembicaraan santai seperti biasanya. Mereka makan dengan canggung, sementara Raesha merasakan kecanggungan dari tatapan karyawan wanita di sekitar.

Dan tanpa tahu situasi, Anugrah menyuruh Raesha mengikutinya lagi setelah menyelesaikan makan, bahkan Raesha belum menghabiskan baksonya.

Ava berkomat-kamit tak jelas ketika mereka meninggalkan meja, dan Nimas masih setia menatap kepergian Anugrah tanpa berkedip.

"Tugasnya belum sekesai, 'kan?" tanya Anugrah saat mereka memasuki lift.

Raesha mengerjap. "I-iya," jawabnya takut.

Tadi, dia sudah melupakannya, dan sekarang, malah diingatkan? Terpujilah sarung Raefal!

"Tinggal berapa?"

Tinggal berapa? Masih banyak! Lagian, si Anu tidak punya simpati, menyuruhnya menyelesaikan tugas sebanyak itu hanya dalam waktu tiga setengah jam? Jika itu Raefal, pria itu pasti langsung mengundurkan diri dari pekerjaan.

"Masih banyak, Pak," jawab Raesha jujur, masih menunduk tidak berani menatap Anugrah yang sekarang kembali terlihat menyeramkan.

Diam, Raesha tak mendengar komentar Anugrah. Ia pikir, di Anu akan marah, tetapi pria itu justru tengah menatapnya dengan tenang. Kepala Raesha kembali menunduk.

"Kalau begitu," ucap Anugra. Raesha menunggu. "jam sebelas siang, lusa, laporannya harus sudah selesai."

Dengan cepat, Raesha memutar kepalanya menghadap Anugrah. "Serius, Pak?" Pak bosnya sedang tidak bercanda, 'kan? Dan pak bosnya baik-baik saja, 'kan? Raesha memberanikan diri menyentuh kening Anugrah dengan punggung tangan.

"Apa yang kamu lakukan?"

Raesha segera menarik tangannya sembari menghela napas lega. "Syukurlah ...," gumamnya. Pak bos sedang baik-baik saja―sehat. Itu artinya, Anugrah serius dengan perkataannya.

***

Kebaikan pak bos tidak sampai selesai makan siang saja, saat pulang pun Anugrah kembali menampakkan kebaikannya dengan menawarkan tumpangan pada Raesha.

Raesha tentu menerima dengan senang hati. Uangnya aman. Toh Raefal tidak mau menjemputnya.

Namun ... seolah keberuntungannya tidak akan berjalan mulus, tiba-tiba saja sepupu laknatnya datang tanpa tahu situasi. Bahkan mengabaikan aturan kantor.

Dia tiba di depan sana dengan motor matik kesayangannya. Turun dari motornya, pria itu segera menghampiri Raesha, mengabaikan seseorang di samping gadis itu.

"Ayo pulang," ajak Raefal, tersenyum sembari menyugar rambutnya. Terlihat sok keren di hadapan pria keren―Raesha tahu betul kebiasaan sepupunya yang satu ini.

Sementara itu, Raesha tersenyum canggung dan mengumpat dalam hati. Pria itu sendiri bilang tidak mau menjemputnya, dan sekarang malah muncul layaknya hantu.

Kepala Raesha memutar menghadap Anugrah. Mengangguk sopan, lalu ia berkata, "Terima kasih, Pak. Saya pulang dengan abang saya saja."

"Yakin?"

Di telinga Raefal, Anugrah seakan menghinanya, sehingga sesuatu menyentil hatinya untuk berkata kasar.

"Iya, Pak," jawab Raesha, masih mempertahankan sopan santunnya.

"Mobil lebih nyaman."

Oh ... oh ... oh .... Raefal merasa terhina.

"Kau tau, Jeki lebih nyaman."

Anugrah mengernyit mendengar nama Jeki. Siapa pula itu? Mereka mau bonceng tiga?

"Tidak. Bahaya!" Anugrah salah paham. Dan Raefal pun salah paham.

"Eh! Kau pikir aku membawa motor dengan ugal-ugalan? Aku tahu cara berkendara dengan baik! Kau tidak usah bersikap seperti kekasih sepupuku."

Raesha tersedak mendengar kata aneh dari Raefal.

"Bang!" tegur Raesha, tidak sanggup jika sepupunya mengeluarkan kalimat lebih banyak lagi. Selain tak enak dengan pak bos, dia juga tak enak dengan para karyawan yang tengah menonton mereka. Banyak bisik-bisik yang mulai ia dengar. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, tetapi Raesha yakin, apapun itu pasti tak akan enak didengar.

Tanpa tedeng aling-aling, Raefal menarik lengan Raesha, tak membiarkan adik sepupunya berpamitan dengan pria yang telah menghinanya.

"Abang apaan, sih?" Raesha jengkel. Tanganya sakit akibat tarikan Raefal yang tidak main-main.

"Aku tidak suka dengannya. Sombong!"

Raesha berharap, semoga besoknya Anugrah tidak marah, atau yang terburuk: memecatnya. []

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel