Pustaka
Bahasa Indonesia

A Closed Book

120.0K · Tamat
CallMeJo
54
Bab
15.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

"Menyuapi, membuang sampah, memijat punggung, bahkan mencuci pakaiannya. Apakah itu tugas sekretaris?!" Raesha menahan diri untuk tidak membalikkan meja."Saya bosnya, dan saya yang berkuasa." Anugrah menyeruput kopinya santai.________________________________________Kalau saja mencari pekerjaan itu mudah, Raesha akan undur diri di hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris di perusahaan besar. Gajinya besar, cukup untuk membelikan motor ayahnya yang sering mogok. Namun sayangnya, berbagai cobaan harus ia hadapi. Mulai dari pekerjaan yang beratnya minta ampun, bahkan sikap si bosnya yang absurd.

PresdirCinta Pada Pandangan PertamaWanita CantikMetropolitanBillionaireSweetMenyedihkanDewasaMemanjakanBaper

Prolog

"Kasihan, ayolah .... Aku mohon, Sob."

Yang diajak bicara hanya diam sembari menyeruput kopinya dengan santai, tak menghiraukan sahabatnya yang tengah menatap dirinya dengan raut wajah yang mampu membuat wanita lari terbirit-birit.

"Nugrah, cuma sebentar. Kalau dia tidak bisa, pecat saja. Tiga hari lumayanlah, bisa untuk bayar indekos." Mata cokelatnya bersinar, buaya-buaya berenang di dalamnya, hingga timbul keinginan pribadi dalam benak Anugrah untuk menimpuknya dengan gelas.

Apakah tiga hari itu tidak lama? Bisa pusing ia kalau mempekerjakan seseorang yang tidak mempunyai ahli di bidangnya. Itu sama saja dengan bekerja sendiri, atau malah menambah pekerjaan. "Merepotkan saja!" batinnya.

Anugrah masih diam. Terserah sahabatnya mau bicara apa, ia tidak peduli. Kalau pun pria di depannya menangis guling-guling atau koprol, Anugrah tetap tidak peduli.

"Dia baru lulus tiga bulan ini. Masih fresh graduate. Tahu sendiri mencari pekerjaan itu susah. Dia sudah kirim surat lamaran ke mana-mana, tapi tidak ada yang memanggil. Uangnya sudah habis hanya untuk itu. Ayolah ... kasihan. Dia sahabatku sejak umur biji jagung. Dia sudah seperti perawan tua yang luntang-lantung. Miris sekali."

Elvan sudah tak ada harapan lagi selain meminta pada sahabat yang juga merangkap sebagai bosnya. Dia punya sahabat yang hidupnya miris setelah lulus kuliah. Niatan pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan, justru menganggur sembari meratapi isi kulkas yang kosong. Bahkan Elvan harus mengantarkan makanan padanya, takut-takut gadis itu menggerogoti sofanya. Andai saja dirinya anak sultan, Elvan tidak perlu memohon-mohon seperti sekarang kepada sahabatnya yang pelit.

Harapannya hanya pada pria di depannya ini. Daripada uangnya habis hanya untuk memberi makan sahabat tidak tahu dirinya, lebih baik ia tabung untuk masa depan yang sudah di depan mata. Lagi pula, ini demi kebaikan sahabatnya. Kurang baik apa dirinya, ya Tuhan .... Semoga surga mudah didapat tanpa perlu tiket mahal.

"Kenapa tidak mencoba kirim surat lamaran lagi? Siapa tahu kali ini beruntung." Anugrah menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari kopi hitam di tangan, menggoyang-goyangkannya perlahan.

Perusahaan yang membutuhkan pekerjaan itu banyak, tetapi tidak dengan perusahaan yang ia pimpin. Lagi pula, bukan urusan dirinya terhadap hal tersebut. Terlebih lagi, Elvan memohon pekerjaan yang jelas-jelas tidak dibutuhkan.

Embusan napas keluar dari mulut Elvan. "Susah. Zaman sekarang kalau mau mendapat pekerjaan, harus memakai uang, atau orang dalam."

"Menurut kamu, apa yang kamu lakukan sekarang?" tanya Anugrah santai.

Elvan meringis, lalu tertawa paksa. "Hanya tiga hari, elah. Setidaknya dia punya uang untuk makan dan cetak foto."

Anugrah menatap Elvan dengan alis terangkat. "Sebegitu melaratnya dia?"

Dengan cepat, Elvan mengangguk. Tak apa melebih-lebihkan, bukan? Toh, demi kebaikan sahabatnya. "Makan saja harus aku yang kirim. Katanya, sih, uangnya tinggal selembar warna cokelat. Terus, mau minum saja harus ke tetangga."

Alis Anugrah makin menekuk mendengarnya. Sudah pasti wanita itu tidak berguna sama sekali! Namun, sisi baik dari dalam diri Anugrah muncul karena tarikan tak kasat mata, diletakkannya gelas berisi kopi itu di atas meja, Anugrah berkata, "Suruh dia datang besok."

Elvan nyaris memekik dan melontarkan gelas ke langit-langit kafe. Syukurlah ... uang untuk rencana nikahnya bisa aman. "Langsung ke ruangan. Bawa surat lamarannya juga."

Kini Elvan meringis. "Aku bilang, dia tidak punya uang. Cetak foto mahal. Perusahaan kamu butuhnya masing-masing ukuran, tiga lembar, 'kan?" Elvan menghitung dengan jari tangannya. "Ada tiga ukuran, dikali tiga. Sembilan. Satu foto harganya berapa? Dua ribu. Belum lagi amplopnya sama kertas folio. Asal kamu tahu saja, sekali salah mencoret, dia ganti kertas. Bisa sampai lima lembar hanya untuk satu surat," beritahu Elvan panjang lebar. Ini demi menyelamatkan uang tabungan, juga telinganya yang berdengung akibat ocehan sahabat melaratnya.

Tahu betul karakter sahabatnya seperti apa. Walaupun Elvan membawa kabar bahagia, sahabatnya akan tetap meminta yang lain darinya. Bisa terbang uang di dompetnya. Bukannya ia pelit, hanya saja, sekarang sedang tanggal tua. Belum lagi ia harus membawa mobilnya perawatan, juga jarinya gatal ingin memakai cincin.

Anugrah menghela napas. Heran, orang itu mau kerja atau mengemis? Beruntunglah Anugrah anak baik.

"Ya sudah. Bawa Cv-nya saja," kata Anugrah pada akhirnya. Hanya kasihan mendengar betapa mirisnya si Perawan Tua itu. Kemudian ia menambahkan, "Jangan lupa berpakaian yang rapi."

Rasa-rasanya Elvan ingin menangis bahagia saat mendengarnya. Anugrah memang penyelamat masa depannya. Haruskah ia memeluk dan membenturkan kepala Anugrah ke kue cokelat yang masih utuh itu?[]