1. Pak Bos
Hari Senin memang hari yang indah―setidaknya untuk saat ini. Dan semoga saja hari-hari yang lainnya selalu indah. Jika iya, terpujilah kaus kaki sepupunya.
Untuk itu, dirinya lama berdiri di depan cermin, meniti penampilannya agar terlihat sempurna.
Rambut. Tersisir rapi walau masih ada sedikit yang mencuat ke samping. Tak apa, yang terpenting terlihat rapi dan manis―cokelat mengilap, macam es krim yang sering anak tetangganya jilat.
Ceklis.
Baju. Kemeja putih dan celana bahan hitam. Terlihat keren saat ia memadukannya dengan jas krem milik sahabatnya yang tertinggal. Jika sudah punya uang, ia akan membeli beberapa pakaian bagus agar terlihat rapi di setiap harinya. Semoga saja.
Ceklis.
Wangi. Rambut, badan, tangan, dan pakaian diendus. Sudah wangi. Sabun mandi bahkan tinggal setengahnya, sampo satu saset habis, dan minyak wangi yang tinggal beberapa semprot pun habis. Yang terpenting, di hari pertamanya bekerja (itu pun kalau diterima) dia wangi, sehingga bosnya tak terganggu oleh bau rebahan.
Ceklis.
Sepatu. Sepatu hak lima sentimeternya diangkat, memeriksanya kalau-kalau ada lecet. Namun, tidak. Mengilap karena barusan ia gosok dengan lap sebanyak ratusan kali.
Ceklis.
CV. Foto yang tinggal selembar itu ditatap dengan senyuman. Cantik tak seperti foto KTP-nya yang burik. Biodata, dan prestasi-prestasinya ia baca dengan rasa bangga. Pasti pak bosnya akan terpana saat membaca betapa banyaknya prestasi yang ia dapat.
Ceklis.
Uang saku. Ditiliknya dompet berwarna krem itu. Harap-harap jarinya akan lihai bergerak menghitung, tetapi nyatanya hanya mengelus uang yang tinggal dua lembar.
Miris.
Dimasukannya dompet ke dalam tas dengan hati membatin. Sekali lagi, dia meneliti penampilannya kalau-kalau ada yang kurang. Siapa tahu ada noda yang luput dari penglihatannya.
"Cantik seperti biasa," katanya, diakhiri kedipan untuk dirinya sendiri melalui cermin.
Berterima kasihlah kepada sahabatnya, Elvan, yang mau mencarikannya pekerjaan. Betapa bahagianya ia mendapat kabar mendadak itu semalam. Sekretaris CEO pula. Gajinya cukup untuk membelikan motor ayahnya yang sering mogok. Membayangkan saja sudah membuatnya bahagia.
Ketika Elvan datang ke indekosnya di malam hari, dia kira pria itu ingin menumpang curhat, pasalnya Elvan membawa banyak makanan tak seperti biasanya. Katanya, "Aku sedang baik. Ini terakhir kalinya aku ngasih makan ke kamu."
Ia pikir, Elvan akan pergi entah ke mana dan tak akan mengunjunginya lagi. Atau Elvan sudah tak mau lagi memberikannya makanan. Ia memakluminya, dia sudah banyak merepotkan sahabatnya. Untuk itu, dia terima semua makanan itu dengan rasa bersalah. Mungkin ia harus mencari pekerjaan lagi. Tak apa tukang sapu, yang terpenting dia tidak lagi merepotkan sahabatnya.
Di sela-sela aktivitas makannya, dirinya tersedak saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Elvan. Demi apapun itu, hal yang didengar dari Elvan mengalahkan kegembiraan apapun selama ini. "Aku sudah bicara dengan pak bos―kau tahu, sahabatku. Katanya, kau bisa datang langsung ke Jumpfield. Hanya membawa CV."
Rasa-rasanya ia ingin sekali memeluk Elvan, dan melemparkannya ke angkasa menyatu dengan bintang-bintang. "Serius?" Elvan mengangguk. "Posisi apa?" Tak apa dia bekerja sebagai penjaga kantin, yang terpenting dia bisa bekerja. Dengar-dengar gaji penjaga kantin di perusahaan besar, gajinya lumayan dibandingkan pelayan kafe, terlebih lagi perusahaan macam Jumpfield yang memiliki anak cabang yang sudah berdiri di mana-mana.
"Sekretaris," jawab Elvan santai, sembari mengunyah pizanya, sementara matanya menghitung sisa donat.
Ia memelotot mendengarnya sampai piza yang dikunyahnya hampir meluncur ke pangkuan. Sungguh? Sekretaris? Mimpi apa ia selama rebahan? Mungkin liur ibu peri menetes pada wajahnya saat ia tertidur.
"Aku tidak salah mendengar, 'kan?" tanyanya memastikan. Siapa tahu telinganya bermasalah. Ia mengusap-usap telinganya, mengabaikan piza yang teronggok di pangkuan. "Sekretaris siapa?"
"Sahabatku," balas Elvan, dengan santai lagi, sementara ia sudah hampir berteriak mendengarnya.
Sungguh? Sekretaris Direktur Utama?! Bisa mati muda ia kalau begitu. Namun, tak masalah. Mencari kerja itu susah. Selagi ada kesempatan, kenapa tidak dicoba?
Demi menghemat pengeluaran pada dompetnya yang kering, dia menaiki bus yang lumayan padat. Sebenarnya ia sudah menghubungi Elvan untuk mengantarkannya, tetapi pria itu tak mau melakukannya dengan alasan, akan menjemput kekasihnya. Cih! Berbicara kekasih di depan dirinya. Ia akan muak setiap kali Elvan menceritakan sang kekasih padanya. Sudah tahu ia jomlo semenjak lahir, sahabatnya malah menceritakan betapa senangnya jika memiliki kekasih.
Dia tak henti-hentinya berkaca di kaca bus yang transparan, takut-takut ada hal yang dapat membuatnya tak percaya diri di depan pak bos, sampai membuat seseorang yang duduk di sampingnya menatap aneh.
Namun, beruntunglah, perjalanan tak memakan waktu lama.
Berdeham singkat berusaha menghilangkan tremor fisiologis-nya, yang sayangnya susah sekali. Melihat gedung yang menjulang di depan tiba-tiba membuatnya tak percaya diri. Sial*n! Si gedung berdiri gagah, sementara dirinya berdiri gemetaran.
Sungguh, pemandangan di depan sana tampak mengerikan, padahal tidak ada hantu yang terlihat―hanya orang-orang yang berjalan santai juga tanaman yang sedang mandi.
Mengangkat hidungnya, menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan langkahnya.
Semangat! Demi motor mogok ayahnya!
Dengan percaya diri yang dibuat-buat, ia berusaha mengabaikan orang-orang di sekitarnya yang berpenampilan sempurna. Meyakinkan diri bahwa sebentar lagi ia akan menjadi bagian dari perusahaan ini, langkahnya cepat menuju meja resepsionis.
"Selamat pagi," sapa resepsionis, diiringi senyuman; suaranya anggun, senyumnya seperti boneka―kaku. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"
Hari ini cerah, secerah wajah resepsionis yang berdempul membuat batinnya menjerit. Ia tak akan pernah memakai bedak setebal itu. Tidak! Selain wajahnya akan aneh, tetapi juga hal tersebut dapat disebut dengan pemborosan.
Dia berdeham. "Saya ingin melamar pekerjaan di sini," katanya.
Alis si resepsionis terangkat. Kemudian teringat akan sesuatu. "Atas nama?"
"Raesha Adinda."
Elvan memberitahukan bahwa ia harus bertanya langsung pada resepsionis. Tak perlu khawatir akan jawabannya, sebab Elvan sudah memasukannya pada list tamu pak bos. Terima kasihlah kepada Elvan. Berkatnya, ia tak perlu mengurus segala hal.
Sepertinya, si resepsionis adalah orang yang ramah, berbeda dengan wajahnya yang terlihat seperti berdiam diri di depan tungku ramuan. Ada di lantai lima belas. Cukup untuk menormalkan tubuhnya yang bergetar. Katanya, pak bos baru saja datang, dan Raesha disuruh langsung menemuinya.
Naik dengan lift karyawan, membuat Raesha menggerutu dalam hati. Orang-orang di dalam lift ada yang terang-terangan menatapnya aneh, tetapi ada juga yang ramah dengan menyapanya terlebih dahulu.
"Mbak karyawan baru, ya?" tanya mbak di sampingnya. Suaranya kecil, tetapi Raesha bisa mendengarnya.
Jangan menilai seseorang dari penampilannya, merupakan kiasan yang sering digumamkannya ketika bertemu dengan orang asing. Seperti mbak di sampingnya ini, walaupun wajahnya terlihat licik macam penggosip (bukannya menghina, tetapi seperti itulah gambaran yang dilihatnya), sepertinya dia orang yang baik dan ramah. Namun, Raesha tak henti-hentinya menatap wanita itu. Bibir merah, bulu mata lentik, rambut bergelombang, bahkan berkat sepatu tingginya wanita itu terlihat mirip raksasa.
"Belum jelas, Mbak," jawab Raesha.
Alis si mbak menekuk bingung. Mbak berambut berambut cokelat lurus ini sedang melamar pekerjaan atau apa? Belum pernah ia mendengar adanya lowongan pekerjaan di sini. Ah ... mungkin ia ketinggalan gosip, makanya ia tak tahu.
Si mbak mengangguk seraya tersenyum. "Semoga berhasil, ya, Mbak." Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka dan si mbak keluar bersama beberapa pegawai lainnya.
Ketika pintu lift terbuka di lantai lima belas, kakinya melangkah keluar mengabaikan tatapan sepasang mata yang mengawasinya dari dalam lift yang pintunya masih terbuka. Toh, Raesha sudah diizinkan untuk menemui direktur utama. Jadi, abaikan saja mereka.
Raesha mencari-cari di manakah ruangan yang dimaksudkan oleh mbak resepsionis. Sampai matanya berhenti pada tulisan Direktur Utama yang tertempel di pintu kayu putih yang mengkilap, sampai ia bertanya-tanya, seberapa mahalnya cat yang digunakan. Kenapa memikirkan cat?
Sekali lagi dia menilik penampilannya, sebelum mengetuk pintu. Menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi dahinya, lalu memeriksa kancing kemejanya, dan menepuk punggung jasnya kalau-kalau ada debu yang tersangkut. Kemudian sahutan suara dari dalam membuatnya terkesiap dan jantungnya sudah lari-lari.
Bingung antara pingsan dan berlari ke dalam lift, dia akhirnya memilih untuk memasuki ruangan di depannya.
Saat pintu berwarna putih itu terdorong membuka oleh tangan gemetarnya, Raesha bisa melihat betapa rapinya ruangan itu, tak seperti yang pernah dibayangkannya. Benar-benar rapi. Ada sofa yang melingkar di dekat dinding kaca yang mengarah pada pemandangan kota, figura-figura berupa foto dan sertifikat berjejer rapi di dinding, lantainya berdecit saat Raesha dengan sengaja menyeret sepatunya.
Matanya bergulir dan mendapati seseorang yang tengah duduk di depan meja, sibuk dengan dokumen yang tengah dibacanya mengabaikan laptop yang menyala. Pria itu mendongak membuat Raesha terkesiap saat ditatap dari ujung rambut hingga kaki, dan mau tak mau hal tersebut membuat Raesha terus berdoa.
"Aku sudah rapi. Pak bos tidak mungkin mengusirku," batinnya.
Cukup lama mata hitam itu mengamatinya sampai-sampai Raesha berpikir untuk pingsan saja. Mata itu benar-benar membuat dirinya hampir semaput; tajam dan ... memesona.
Raesha belum pernah melihat rupa sahabat Elvan. Yang ia tahu hanyalah namanya. Kata Elvan, pria itu pendiam dan arogan. Yang ada di bayangan Raesha saat mendengarnya ialah pria tampan yang maskulin.
Jadi, apa yang ia lihat sekarang? Seperti apa yang ada pada ekspektasinya. Ini malah lebih dari ekspektasi. Rambut hitamnya sedikit panjang hampir menutupi matanya yang hitam berkilat, hidungnya merupakan pahatan sempurna dari Tuhan, rahang tegasnya menandakan bahwa suara pria itu dapat menggetarkan hati para wanita, dan punggung lebarnya .... Duh, Raesha hampir mimisan. Kesampingkan hal itu! Ada hal lain yang jauh lebih penting dari mengagui makhluk Tuhan yang sempurna tersebut!
Tangan pak bos menengadah, membuat alis Raesha menekuk bingung. Pak bos meminta uang atau apa? Atau meminta hatinya?
"CV kamu."
Segera saja Raesha memberikannya dengan tergesa-gesa hingga hampir tersandung.
***
Harusnya pak bos menyuruhnya duduk terlebih dahulu, tetapi apalah daya, Raesha hanya orang asing yang butuh pekerjaan. Yang harus dilakukannya ialah berusaha untuk tidak gemetaran.
Cukup lama pak bos mengamati Curriculum vitae-nya, dan Raesha tersenyum puas. Tak sabar menunggu reaksi pak bos saat membaca bagian prestasi.
"Wah ... hebat sekali. Kamu berprestasi, ya. Baiklah ... kamu saya terima. Kerja mulai hari ini. Aku akan memberimu bonus hari ini." Bayangan yang indah ....
Namun, sekarang bayangan tersebut hilang saat melihat raut bingung pak bos. Raesha kembali merapalkan doa.
Demi dokumen yang menumpuk rapi itu, Raesha ingin bekerja di sini. Hanya di sini harapannya. Dia sudah pernah mengajukan surat lamaran di mana-mana, dari pelayan kafe sampai resepsionis perusahaan. Dan sampai sekarang, semua pekerjaan itu belum pernah ia coba.
Sekretaris merupakan hal yang mustahil untuk didapatkan. Kendati demikian, semoga saja ia beruntung. Elvan sudah meyakinkannya bahwa ia pasti diterima dan langsung bekerja.
Namun, melihat ekspresi pak bos yang seperti itu, membuat Raesha berpasrah. Sekertaris memang mustahil untuk ia dapatkan.
"Sarjana Kedokteran." Pak bos membaca. Lalu mendongak menatap Raesha yang masih berdiri tegang. "Juara 1 lomba makan bakso?"
Raesha mengerjap. Ada yang salah, kah?
"Ya, itu sekitar setahun yang lalu. Setingkat kecamatan, Pak." Raesha berusaha menjelaskan. Melihat pak bos masih menatapnya, ia melanjutkan, "Kalau Bapak tidak percaya, saya bisa menunjukkan sertifikat sama pialanya, Pak."
Juara makan bakso termasuk prestasi, bukan? Ada banyak peserta saat itu, dan Raesha beruntung dapat menghabiskan delapan mangkuk bakso dan mengalahkan puluhan peserta lainnya. Menurutnya, itu sama saja dengan memecahkan rekor.
Pak bos kembali membaca kertas di tangannya, masih dengan raut datar. "Prestasimu banyak," ucapnya, tanpa mengalihkan pandangan dari CV milik Raesha.
Mendengarnya, Raesha sudah tersenyum dan bersorak dalam hati. Ternyata, dipuji oleh orang tampan rasanya berbeda―semenyenangkan ini.
"Tapi ..." Pak bos kembali mendongak, membuat senyum Raesha luntur. "Sarjana Kedokteran?"
Raesha menunduk dan meringis dalam hati.
"Kenapa tidak cari kerja yang lain saja?"
Mendongaklah kepalanya menatap pak bos yang juga tengah menatapnya datar. Raesha meremas tangannya yang tiba-tiba dingin. Sudah tahu apa yang akan terjadi.
"Saya sudah cari ke mana-mana, Pak."
"Bahkan pegawai apotek?"
Raesha mengangguk. "Semuanya. Bahkan mencoba untuk menjadi perawat di puskesmas. Tapi mereka bilang, lulusan kedokteran tidaklah cukup." Dia kembali menunduk dengan harap-harap cemas.
Terdengar suara hempasan kertas. Raesha tidak bisa berharap lagi, ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Curhatan tadi tidak akan membantunya mendapatkan pekerjaan.
"Baiklah .... Kamu bisa kembali ke kursi kerjamu."
Raesha langsung mendongak. Apa? Mungkin sesuatu menghalangi pendengarannya.
Pak bos menopang dagu dengan kedua tangannya, menatap Raesha dengan wajah datar. "Tempat kerjamu ada di dekat pintu masuk—yang berdinding kaca, kalau kamu tidak tahu. Kamu bisa mulai kerja hari ini juga."
Rasa-rasanya Raesha ingin berteriak dan loncat-loncat, tetapi ia ganti dengan senyuman, lalu menganguk sopan pada pak bos.
"Terima kasih, Pak."
Terpujilah motor mogok ayahnya! Dia akan menggantinya dengan yang baru.
"Tapi ..." Suara pak bos mengalihkan atensinya dari motor baru sang ayah. "kalau kamu tidak bisa bekerja dengan benar. Saya tidak akan segan-segan untuk memecat kamu. Waktu kamu hanya tiga hari guna menunjukkan kinerja. Kalau bagus, kamu resmi menjadi sekertaris saya. Tapi kalau tidak, saya akan membayarmu dari yang sudah kamu kerjakan."
Raesha mengangguk mengerti. Dan ia menyemangati dirinya sendiri bahwa ia bisa melakukannya. Jadi sekertaris memang tidaklah mudah, tetapi ia harus mencobanya, dan harap-harap dia bisa diterima di perusahaan ini.
"Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik," ucap Raesha sopan, menahan kegembiraannya yang meledak-ledak. Sudah berapa kali ia bersikap sopan? Kalau Elvan tahu, dia pasti ditertawakan.
Ini demi masa depan!
Pak bos mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya pada ponsel.
Karena pak bos sudah tidak lagi mengatakan sesuatu, Raesha segera pamit. Kakinya sudah pegal karena berdiri dengan gemetaran. Tak sabar ingin melihat ruangannya, yang pasti sangat nyaman dari ruang santai di indekos.
"Saya permisi."
Baru saja ia hendak berbalik, pak bos sudah menginterupsi, "Mau ke mana kamu?"
Badannya berbalik lagi, pak bos tengah menatapnya bingung.
"Eh―kembali ke ruangan saya, Pak."
"Memangnya kamu tahu apa tugasnya?"
Dia terlalu bersemangat sampai-sampai tidak menunggu titah yang jelas dari atasannya.
Tangan pak bos terulur memberikannya map berwarna merah. Raesha menerimanya, dan menunggu kata selanjutnya dari pak bos.
"Itu jadwalku hari ini, kamu bisa menambahkannya pada file yang sudah tersedia, lalu di-print-out. Di situ juga ada peraturan yang harus kamu patuhi. Untuk yang lainnya, sudah ada di ruangan kamu," beritahu pak bos. Raesha mengangguk dan mengamati map di tangannya.
"Kamu bisa kembali ke ruanganmu."
"Baiklah, saya per―"
"Tunggu!"
Apa lagi ini?
"Namamu siapa?"
Lha? Bukankah pak bos sudah membaca CV-nya. Raesha jadi meragukan kecerdasan pak bos yang pernah Elvan ceritakan. Baru beberapa menit baca, sudah lupa. Mungkin otaknya terkontaminasi zat yang Raesha bawa dengan tidak sengaja.
"Ra―"
"Raesha Adinda," eja pak bos pada kertas di tangannya. Lalu mata hitamnya mengamati Raesha cukup lama, membuat gadis itu risih ditatap dengan mata hitam memesona tersebut.
"Umur kamu masih muda," katanya.
Aduh ... jantung Raesha sudah berdebar. Ada apa ini?
"Kamu sudah menikah?"
Apa?! Harap-harap keterkejutannya tidak kentara. Raesha menahan diri untuk tidak pingsan.
Aduh ... sekarang bukan saatnya olahraga, Pak. Jantung saya butuh istirahat setelah kejadian yang tadi, batin Raesha.
Pikiran Raesha sudah ke mana-mana. Salahkan drama dan novel yang sering dibukanya. Menggeleng, ia menjawab, "Be-belum, Pak." Kenapa tiba-tiba ia jadi gugup?
Pak bos masih mengamatinya. Rasa-rasanya Raesha ingin kabur saja atau pura-pura pingsan.
"Kenapa kamu dijuluki Perawan Tua?"
Ha?
Raesha mengerjap. Apa tadi? Perawan tua?
Dia tak perlu menyelidiki asal julukan itu dari mana. Dia sudah tahu.
Elvan sial*n![]
