2. Hanya Bawahan
Raesha menatap pias pada kertas juga tablet di tangannya dan terus membatin. Jika semua peraturan dan jadwal pak bos sudah ada di dalam tablet, kenapa ia harus mengetik ulang dan print-out? Itu merupakan salah satu masalah di antara masalah lainnya yang membuatnya seperti itu.
Namun, mau bagaimana lagi? Ini merupakan hari pertamanya bekerja. Kalau dia tidak mematuhinya, bisa langsung diusir oleh pak bos. Gagal ia untuk membeli motor baru ayahnya.
Seperti satu hal yang harus ia lakukan saat ini sebelum pak bos mengetahuinya. Tertulis dalam peraturan. Raesha meraih pengharum ruangan di atas meja kerjanya yang memang sudah ada sebelumnya, lalu menyemprotnya ke segala arah. Pastikan ruanganmu bau apel setiap harinya. Memangnya tidak boleh jika ia menggantinya dengan wangi melati?
"Ke ruangan saya." Suara dari interkom menginterupsi Raesha dari kegiatan membaca jadwal pak bos yang padat selama tiga hari ke depan. Super sibuk. Mungkin karena hal itu sifat bos selalu kasar.
Tak mau membuatnya dicap buruk oleh atasannya, Raesha segera beranjak dari kursi menuju ruangan pak bos.
Merapikan penampilan, lalu tangannya mengetuk pintu. Saat mendengar sahutan dari dalam, dia membukanya dan berjalan masuk.
Raesha tersenyum. "Ada apa, Pak?" tanyanya sesopan mungkin, bahkan senyum manis ia keluarkan.
Namun, Anugrah justru membuatnya kepingin lari dari ruangan ini saat mata hitam tajam itu terus menatapnya tanpa berkedip. Seberusaha mungkin, Raesha bersikap profesional dengan berdiri di tempat seharusnya tanpa menghilangkan senyum.
"Sepertinya saya harus menambah peraturan baru."
Apa katanya? Menambah? Seketika itu senyum manisnya luntur terbawa arus kecil bernama ... ka-i-dah.
Raesha terus berdoa dalam hati dengan nada lirih, harap-harap Tuhan mau mengabulkannya secepat yang ia harapkan. Seharusnya ia tidak bersikap begitu, tetapi apa yang telah dibacanya dalam daftar peraturan, telah membuatnya hampir semaput. Namun, jika penambahan peraturan ini menjadi penyempurna di antara daftar itu, Raesha berusaha agar tidak benar-benar semaput.
Selagi memikirkan itu semua, mata hitam Anugrah kembali menatap Raesha, sementara kedua tangannya menopang dagu dan mempertontonkan wajah tanpa celahnya.
"Kamu memang belum resmi bekerja di sini. Tapi ini demi kebaikanmu, jika kamu sudah benar-benar resmi menjadi sekretaris saya."
Raesha menunggu dengan antisipasi. Matanya mencari-cari objek pandang selain mata pak bos, dan lebih memilih pada laptop di atas meja.
"Saya yang sedang berbicara sama kamu, bukannya laptop ini." Anugrah melipat laptopnya, sebelum kembali memandang pada Raesha yang gugup.
Ini demi kesehatan saya, Pak, batinnya. Ingin sekali Raesha mengatakannya secara terang-terangan, tetapi apalah daya, dia hanya bawahan. Dia tidak mau uang jatahnya melayang-layang di angkasa.
"Saya berbicara apa tadi?"
Raesha berharap ekspresi wajahnya tidak terlihat konyol. Jika saja yang mengatakan kalimat barusan adalah Elvan, Raesha tidak akan segan-segan untuk menyemburnya dengan segala umpatan.
"Peraturan baru, Pak," jawab Raesha, kesopanannya masih bertahan.
Anugrah mengangguk pelan hingga menggoyangkan rambut yang menutupi dahinya. "Ah, ya ..." Pria itu mengenyakkan punggungnya ke kursi, tangannya melipat di depan dada dan entah bagaimana cahaya dari jendela menyorot tepat di tempatnya duduk. Karismanya luar biasa!
Jari telunjuk Anugrah teracung. "Kalau kamu masuk, ketuk pintu sebanyak lima kali. Tak ada bantahan." Bibir Raesha mengatup rapat, tak jadi mengeluarkan pendapatnya.
Saya hanya bawahan.
Ditambah jari tengahnya yang mengacung, Anugrah melanjutkan, "Sebagai karyawan yang baik dan sopan, saat masuk dan ke ruangan saya, harus didahului dengan kaki kanan. Kalau melanggar, kamu harus mengulanginya sampai benar."
Sesaat Raesha hendak membuka mulutnya untuk bertanya tentang doa apa yang harus ia lafalkan sebelum masuk, tetapi ia urungkan karena jika terjawab, dirinyalah yang akan repot.
Saya hanya bawahan.
Anugrah duduk tegak, mengamati Raesha dari ujung rambut hingga kaki, membuat gadis itu risih dan hampir lari keluar ruangan.
"Hak sepatumu berapa senti?"
"Li-lima."
"Hanya sampai itu. Tidak boleh lebih."
Raesha mengangguk. Masih bisa diterima. Toh, sepatu yang ia punya, haknya hanya mencapai lima senti, tidak ada yang lebih.
"Dilarang memakai rok, dan riasan yang membuat mata saya katarak."
Katarak katanya? Lalu riasan resepsionis di depan sana tidak membuatnya katarak? Kenapa pula dia tak diperbolehkan memakai rok? Celana bahannya hanya punya empat, dan dia diharuskan terus memakainya? Huh ... dia juga ingin tampil feminin.
Saya hanya bawahan.
Lagi-lagi dia melafalkan kalimat tersebut dalam hatinya.
"Jangan panggil saya Anu."
Raesha terdiam, mencerna peraturan tersebut selama beberapa detik, sampai akhirnya ia paham dan hampir membuat wajah lucu. Itu adalah peraturan penting yang harus selalu diingatnya!
"Sudah mengerti?"
Raesha mengangguk cepat dan menjawab, "Sudah, Pak."
"Syukurlah."
Syukurlah Raesha tidak semaput karena lima peraturan baru itu. Walau timbul keinginan pribadi dalam benaknya untuk protes, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah bawahan. Pak bos dengan kuasanya, dan ... Raesha dengan bayang-bayang motor baru untuk ayahnya.
"Kenapa tidak ditulis?" sergah Anugrah, berhasil membuat Raesha tersentak, hingga meletuslah bayang-bayang masa depannya.
"Ditulis?" Raesha seperti orang bodoh yang tak tahu apa itu ditulis.
Terkutuklah jam dinding di pojok sana! Raesha benar-benar tak tahu apa maksudnya. Otaknya bekerja lambat untuk saat ini.
Anugrah berdecak. "Peraturannya. Sebagai sekretaris, kamu harus tahu itu. Multitasking. Sekretaris harus punya hal tersebut."
"Saya sudah ingat, kok, Pak." Harusnya Raesha tidak membantah. Lihat apa yang terjadi sekarang? Mata hitam itu menatapnya tajam.
Dia memang punya skill menulis cepat. Hanya saja, saat ini dia tidak membawa alat untuk menulis. Salah satu kebodohannya di hari pertama. Fasilitas perusahaan seharusnya digunakan sebaik mungkin.
"Untuk hari ini kamu ingat. Bagaimana di hari-hari berikutnya? Siapa tahu setelah kamu keluar dari ruangan saya, semua peraturan itu hilang dari otak kamu." Tidak ada yang bisa Raesha lakukan selain diam mendengarkan, walau timbul keinginan pribadi untuk membalik meja, tetapi ia sadar bahwa: hal tersebut bisa dikatakan anarkis, dia bisa dicap gila, kesempatannya untuk bekerja di sini hilang.
"Sekarang, kamu boleh pergi."
Harusnya, dia cepat-cepat pergi sebelum disembur oleh pak bosnya. Namun, Raesha menceburkan dirinya dalam kubangan lumpur saat bertanya, "Bapak yakin tidak ada lagi yang harus disampaikan?"
Alis Anugrah mengernyit, lalu kembali normal. "Kamu benar. Saya lupa. Beruntung kamu mengingatkan."
Si genius ternyata bisa lupa, dan kalimat barusan merupakan ibunya dari kalimat yang dapat membuat Raesha menggumamkan, "Saya hanya bawahan."
"Saya sedang sibuk di sini. Bisa kamu ambilkan pulpen di sana? Pulpen yang ini habis." Anugrah menunjukkan pulpen berwarna hitam itu pada Raesha, lalu melemparkannya ke tempat sampah di samping meja.
Raesha sudah menganga saat mendengarnya. Selain pikun, pak bos juga malas. Jarak dirinya dengan pulpen di meja sebelahnya hanya terpaut setengah meter. Kenapa pula harus memerintahkan seseorang jika ia bisa melakukannya sendiri?! Tinggal berdiri atau mengulurkan tangan, pulpen yang dituju akan segera pindah ke genggamannya.
Saya hanya bawahan.
Raesha menurut, mengambilkan pulpen tersebut lalu memberikannya pada pak bos dengan hati dongkol.
***
Istirahat makan siang, Raesha turun mengantongi uang 35.000. Miris sekali. Ongkos naik bus lima ribu, dihitung untuk tiga hari ke depan. Sisa sepuluh ribu. Beruntungnya kantin ini menggratiskan makanan untuk karyawannya. Demi menghemat, ia akan sarapan di sini. Untuk makan malam, dia bisa membawa roti ke indekosnya. Lumayan, gratis.
Saat ini kantin tak terlalu ramai, mungkin ada yang masih sibuk bekerja atau yang makan di luar kantor. Raesha sangat menyayangi hal tersebut. Fasilitas kantor tersedia secara cuma-cuma, kenapa harus menghabiskan uang jika ada yang gratis?
"Mbak yang melamar pekerjaan itu, ya?" Seseorang membuat Raesha terkejut hingga hampir kelepasan umpatan. Beruntung ia belum memakan baksonya.
Seorang wanita yang ia temui di lift saat itu, mendudukkan dirinya di hadapan Raesha. Alih-alih dempul di wajahnya menghilang, tetapi justru malah bertambah.
"Bagaimana? Diterima?" Si mbak rupanya orang yang kepo. Dan Raesha tak salah lagi mengartikan seseorang dari wajahnya.
"Belum tentu, Mbak."
"Loh. Belum tentu gimana?" Si mbak benar-benar kepo. Haruskah Raesha menyumpal mulut bergincu itu dengan bakso? Raesha hanya ingin makan dengan tenang, selagi baksonya masih hangat.
Berusaha bersikap sopan, Raesha tersenyum. "Saya masih dalam masa percobaan."
"Memangnya sebagai apa, Mbak?"
"Sekretaris." Raesha mengusahakan agar suaranya terdengar normal, di antara hatinya yang terus membatin.
Si mbak di depannya terlihat terkejut sampai membuat deritan kecil di kursinya. "Sekretaris siapa?" tanyanya dengan rasa penasaran yang tinggi. Sekretaris merupakan pekerjaan yang diincarnya sejak dulu. Terlebih lagi jika menjadi sekretaris pak bos yang tampan. Semua karyawan wanita di Jumpfield menginginkan posisi tersebut.
"Direktur utama," jawab Raesha. Tak terlalu terkejut mendapati raut mbak di depannya yang syok―kaca mata wanita itu melorot sampai ujung hidung, mata merahnya mengedip-kedip dengan aneh.
"Apa?! Bagaimana bisa?"
Ya ... bisa dong, Mbak. Raesha, kan, dapat bantuan dari sahabatnya.
"Tidak mungkin .... Tidak ...," gumam wanita itu dengan dramatis. Mengangkut menu makan siang pada nampan, lalu mengangkatnya menjauhi meja Raesha sambil terus menggumamkan kalimat tersebut.
Raesha menatap kepergiannya dengan aneh. Ia tahu si mbak menginginkan pekerjaannya. Dan harap-harap saat ia resmi menjadi sekretaris pak bos, si mbak yang tadi tidak berbuat yang aneh-aneh hingga membentuk kubu yang bernama KEADILAN UNTUK WANITA. Berlebihan sekali, tetapi hal itu mungkin saja terjadi, bukan?―mengingat wajah pak bos yang sudah pasti memiliki banyak penggemar. Seketika Raesha merinding.
"Aku dengar."
Kali ini apa lagi? Sekarang baksonya tidak jadi masuk ke mulut saat seseorang duduk di hadapannya tanpa permisi. Haruskah Raesha melabeli mejanya dengan tulisan 'Jangan diganggu. Bakso bisa membuat seseorang tersedak'.
"Namaku Ava."
Nah loh, nah loh. Raesha tidak bertanya, dan tanpa tedeng aling-aling wanita itu memperkenalkan diri serta mengulurkan tangannya.
"Kamu siapa?"
Oke. Lumayan mendapat teman di hari pertama. Tidak ada ruginya, justru malah hal itu membuatnya senang.
"Raesha," jawabnya, sembari membalas jabatan tangan wanita cantik itu. Cat kukunya berkilau senada dengan warna gelangnya―hijau pirus―rambut pirang panjang terikat tinggi, dan lipstiknya mampu membuat mata pak bos katarak.
Wajah Ava mendekat ke arah Raesha, membuat ia waspada dan hampir menamparnya dengan sendok. "Hati-hati, ya. Kamu bisa punya musuh di sini."
Sudah tak diragukan lagi. Apa salahnya jika ia menjadi sekretaris direktur utama? Dia hanya orang yang butuh pekerjaan, bukannya musuh. Berada di dekat orang tampan memang banyak risikonya. Semoga saja Raesha kuat. Ingat, cari kerja itu susah.
"Tapi tenang, aku bisa jadi temen kamu."
Raesha terharu mendengarnya. Namanya Ava, wanita berambut pirang yang kecantikannya membuat Raesha iri, telah menjadi temannya di hari pertama ia bekerja. Kebaikannya benar-benar seperti bulu angsa yang halus. Haruskah Raesha menelepon ibunya untuk diberitahu?
"Bagaimana pak bos? Kau lihat sisi lain darinya selain kalem?"
Namun ... Ada udang di balik batu.
***
Hidup itu harus dinikmati, bukannya disesali. Namun, Raesha terkadang menyesalinya. Berbagai macam cobaan yang terus ia hadapi hampir di setiap harinya, terutama saat-saat uangnya habis hanya untuk membuat surat lamaran. Banyak yang ia kirim, tetapi tak ada satu pun yang menghubunginya bahwa ia diterima kerja.
Untuk saat ini, dia harus mensyukurinya. Apapun tantangannya, harus ia lewati. Terlebih lagi setelah ia mendengar hal yang tak mengenakkan dari Ava barusan. Selain sikap pak bos, hanya membayangkan menghadapi musuhnya saja sudah membuatnya merinding.
Tenang ... dia pasti bisa bekerja dengan baik.
"Rapat dengan Raldo Group diundur hari Kamis pukul satu siang." Raesha membaca pesan yang diterimanya beberapa menit lalu di hadapan Anugrah. Sikapnya sudah terlihat mendekati sempurna walau kegugupan akan tatapan Anugrah mengganggunya.
"Baik. Ada lagi?" tanya Anugrah tanpa mengalihkan pandangan dari sekretarisnya.
"Bo-boleh saya tanya sesuatu, Pak?" Raesha ragu-ragu untuk menanyakannya. Rasanya tidak sopan menanyakan langsung pada pak bos.
Namun, di luar dugaan, Anugrah mengangguk. "Silakan."
"Anu ... begini .... Sekretaris Bapak yang dulu ke mana?"
Seharusnya, Raesha tidak menanyakannya. Lihat, pak bos kini menatapnya datar―benar-benar datar.
"Kamu yakin ingin tahu?"
Raesha mengangguk kaku.
Terdengar helaan napas dari mulut Anugrah. Menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu menjawab, "Saya pecat." Kalimat tersebut membuat Raesha tertegun. "Mereka benar-benar tidak becus. Tak ada sopan santun sama sekali. Hampir semua peraturan mereka langgar―capek, saya. Mereka niat kerja atau merayu saya?"
Tidak heran akan hal itu. Raesha sudah bisa menduganya. Lihat saja ketampanan Anugrah yang mampu membuat hati tidak berhenti berlari. Beruntungnya Raesha bisa mengendalikannya sehingga ia tidak bersikap aneh sampai harus dipecat.
"Tapi ... jika kamu sama seperti mereka, saya akan langsung memecat kamu tanpa ada bayaran."
Raesha menganga, tertegun. "Ja-jadi, mereka tidak dibayar?"
Anugrah menggeleng sembari menyusun kertas-kertas. "Tidak. Baru dua hari. Yang terlama empat hari."
Pak bos memang kejam. Lagi pula, Raesha tidak ada niatan untuk merayunya. Dia perempuan baik-baik, ibunya sudah memberikan asi dan pendidikan yang cukup.
Kali ini, Raesha mendukung pak bos!
"Saya tidak bisa mencari sekretaris laki-laki. Mereka tidak akan bertahan selama seminggu. Baru beberapa hari bekerja, mereka sudah mengajukan surat pengunduran diri―tunggu, kenapa saya curhat ke kamu? Kalau tidak ada lagi, kamu boleh pergi."
Raesha tahu apa sebab mereka mengundurkan diri.
Tanpa menunggu perintah selanjutnya, Raesha segera berbalik dan keluar. Namun, baru saja ia melangkah keluar, Anugrah menginterupsinya.
"Saya tambahkan peraturan lagi."
Apa lagi ini?
"Saat keluar dari ruangan saya, diharuskan kaki kanan terlebih dahulu."
Raesha langsung mengganti posisi kakinya sebelum dihitung sebagai pelanggaran. Peraturan aneh lagi yang harus ia tulis permanen di otaknya.
Saya hanya bawahan.[]
