3. Pak Direktur (Baik)
"Uwawww ...!"
Gumaman kekaguman keluar dari mulut gibahers ketika jam makan siang di kantin. Raesha dengan bangganya menunjukkan ID Card yang baru didapatinya pagi tadi, menandakan bahwa ia sudah resmi menjadi pegawai Jumpfield.
"Yakin, nih? Bukannya apa―mendengar ceritamu saja, aku tidak kuat," ucap Ava sembari menatap Raesha mencemooh. Sebenarnya, ia sedikit iri dengan posisi teman barunya itu, tetapi ia tak akan mengakuinya secara terang-terangan. Gengsi!
Siapa yang tidak mau menjadi sekretaris direktur tampan macam Anugrah? Lupakan sikap menyeramkannya. Setidaknya, hanya sehari saja demi menatap wajah berseni itu lama-lama. Bahkan tak hanya Ava saja yang berpikiran seperti itu, tetapi Nimas juga. Dia karyawan yang sudah lumayan lama bekerja di sini. Setiap kali pak direktur lewat, rasa-rasanya Nimas ingin menggaruk hidung indah pak direktur dengan gemas.
"Yakin, lah ... gajinya besar. Toh, lama kelamaan, aku pasti terbiasa dengan sikap anehnya." Raesha memotong baksonya menjadi beberapa bagian, lalu mengernyit kala melirik Nimas yang tersenyum idiot. Raesha mengabaikannya. "Mencari kerja itu susah," tambahnya. Entah sudah keberapa kali ia mengatakan kalimat tersebut.
Tiga hari masa percobaan sudah Raesha lalui dengan kesabaran. Dia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia pasti bisa menghadapi sikap Anugrah yang anehnya sudah di luar batas. Semua peraturan aneh sudah Raesha hafal di luar kepala, tetapi entahlah untuk hari selanjutnya, mungkin saja Anugrah bisa menambahkannya sewaktu-waktu. Untuk para penggemar pak direktur yang dikhawatirkannya, setidaknya untuk saat ini mereka tak menunjukkan kebencian terhadapnya. Namun, jika mereka mulai manampakkan diri, teman-teman Raesha sudah siap menjadi pelindungnya, bahkan Elvan sudah mulai mencari kubu. Saat ini, Raesha santai-santai saja walau pikiran awas.
"Ngomong-ngomong, muka kamu kenapa?"
Raesha mengerjap, dan langsung menelan kunyahan baksonya sebelum mengalihkan perhatiannya pada Ava. Apa yang salah dengan wajahnya? Raesha baik-baik saja, kok.
Mendapati Raesha yang kebingungan, Ava melanjutkan, "Foto ID Card-mu."
Raesha meringis. Kenapa Ava malah memperhatikan hal semacam itu?
"Jangan bahas, deh."
Dia benar-benar tak mau menceritakan kejadian kemarin saat pengambilan gambar pada mereka. Selain malu, dia juga malas untuk menceritakannya. Terlalu panjang, dan membuat kekesalan yang dialaminya kemarin bisa saja kembali menghampirinya saat ini.
*****
"Senyuman kamu terlalu lebar. Ulangi! Pak, hapus foto yang tadi," kata Anugrah saat pengambilan gambar untuk sekretaris barunya. Sang fotografer menurut saja, walau hasilnya sudah sangat bagus. Tak ada yang salah dengan senyum gadis di depan sana, tetapi ada yang salah dengan pria di sampingnya.
Saat pengambilan gambar pun harus diawasi? Kenapa? Dan kenapa tak memakai foto di CV-nya? Raesha masih menyimpannya, kok, di ponselnya―ah, ya ... peraturan. Raesha lupa bahwa foto yang menghiasi kartu identitasnya harus foto baru yang diambil dengan fotografer perusahaan. Namun, kenapa Anugrah harus ikut mengawasi?!
Cekrek!
"Kemeja kamu kusut di bagian lengan. Tutupi dengan jas!"
Cekrek!
"Tidak, tidak. Saya rasa, tidak cocok kalau pakai jas. Lepas!"
Cekrek!
"Sebelah mata kamu sipit. Kalau mau sipit, dua-duanya saja. Ulang!"
Cekrek!
"Kamu mau ke toilet? Ulang!"
Cekrek!
"Ulang!"
Berkali-kali―ambil-hapus, ambil-hapus. Tak hanya Raesha yang kesal, tetapi pak fotografer juga. Raesha berpikir, makan apa ibunya Anugrah saat mengandungnya? Raesha turut berduka saat masa penyambutan Anugrah ke dunia. Ibu dan ayahnya mungkin bangga, tetapi tidak dengan pengasuh Anugrah. Kesal minta ampun!
Dan ... entah pengambilan gambar yang ke-berapa kalinya, akhirnya Raesha dan fotografer bisa bernapas lega. Walau dengan hasil yang membuat Raesha ingin menimpuk wajah pak bosnya dengan lampu, dia bersyukur bisa mengistirahatkan pipinya yang terasa sakit akibat terus tersenyum.
*****
Tidak! Mereka tak boleh tahu kejadian kemarin!
***
"Pertemuan dengan tuan Rendra Rahardian dipercepat menjadi pukul tujuh malam di Black Diamond." Raesha menyampaikan pesan dari G Shar Company kepada Anugrah yang sedang duduk santai di sofa empuk pada ruangannya.
Gayanya santai, khas atasan, tidak peduli apakah gadis di depannya ini butuh duduk juga. Gayanya benar-benar membuat Raesha berkeinginan untuk menukarkan jiwanya dengan pria itu. Raesha juga ingin merasakan menjadi bos.
Mengangguk, Anugrah kembali meminum kopinya. Sebagai sekretaris yang baik dan bayang-bayang uang gaji di dalam kepalanya, Raesha masih berdiri, menunggu perintah selanjutnya dari Anugrah.
Makan siang sudah lewat satu jam yang lalu, tetapi Anugrah baru menghabiskan makanannya sepuluh menit lalu. Menyuruh Raesha lagi untuk memesankan ayam geprek dengan berbagai macam syarat aneh, juga menyuruh sekretarisnya untuk menemaninya sampai makanan habis alih-alih melakukan pekerjaan lain. Raesha tetap bersikap profesional karena ia sudah resmi menjadi sekretaris direktur utama.
"Kenapa kamu di situ?" Anugrah mengangkat wajahnya dari gelas berisi kopi hitamnya, menatap Raesha yang berusaha tersenyum.
"Maaf, Pak. Kalau tidak ada lagi yang dibutuhkan, saya permisi dulu," ucap Raesha sopan.
Kakinya siap berbalik sebelum suara Anugrah menginterupsinya. "Duduk di sini." Karena mendapati Raesha masih terdiam, Anugrah mengulanginya, "Duduk di sini!"
Itu merupakan keinginan Raesha tiga puluh menit yang lalu, tetapi kenapa Anugrah baru menawarkannya sekarang?!
Daripada mendengar kemarahan Anugrah, Raesha segera menjalankan kakinya ke arah sofa, dan mendudukkan diri di atasnya. Empuk. Sekali duduk, tubuhnya melompat dengan perasaan gembira. Dia norak.
"Kenapa di situ?"
Apa yang salah? Raesha sudah duduk sesuai perintah. Dan sekarang apa lagi? Namun, Raesha tetap tenang. Dia berdiri, dan meminta maaf kepada Anugrah.
Sesaat ia mengira kalau Anugrah akan menyuruhnya duduk di lantai, tetapi dia dibuat tergeragap ketika tangan pria itu mengetuk tempat di samping kanannya. "Maksud saya di sini―saya ingin berbicara. Kalau kamu duduk di situ, terlalu jauh."
Karena tidak mau mendengar kemarahan pak bos, Raesha menurut. Mendudukkan diri di samping Anugrah dengan takut-takut. Padahal, kan, mereka bisa berbicara dengan jarak yang agak jauh, toh telinganya tidak budek. Hanya saja, sekarang pikiran Raesha sudah ke mana-mana.
Kesampingkan hal itu, atau pak bos akan kembali memarahinya.
Setelah menyesap kopinya agak lama sampai membuat Raesha menunggu sembari menggerutu, pria itu meletakkan gelas di atas meja, lalu melirik singkat pada Raesha.
Diteguknya ludah dengan susah payah, Raesha mengalihkan perhatiannya ke arah lain ketika Anugrah melepaskan dasi dan dua kancing kemeja teratasnya. Akan ada apa ini?! Jangan salahkan otak Raesha yang melayang ke mana-mana, salahkan saja si Anu! Ini benar-benar tidak baik untuk jantungnya. Seharusnya Anugrah tahu itu!
"Raesha Adinda!"
Kepala Raesha langsung menoleh dan mendapati Anugrah yang tengah menatapnya datar. "I-iya, Pak?" Guguplah ia saat tahu bahwa jarak mereka begitu dekat dari sebelumnya sampai-sampai Raesha bisa mencium sampo mahal pria itu.
Terdiam. Anugrah tak menjawab, tetapi masih menatapnya.
"P-Pak ... ada yang bisa saya bantu?" tanya Raesha gugup. Sungguh, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Jika Anugrah berbuat sesuatu yang tidak pantas padanya, kuku panjangnya siap melayang pada wajah di hadapannya.
Alih-alih, Anugrah justru berbalik memunggunginya dan berkata, "Garuk punggung saya."
Rasa-rasanya Raesha ingin mengeluarkan tantrum dan mencakar kulit mulus pak bosnya! Menggaruk punggung juga termasuk tugas sekretaris? Yang benar saja?!
Namun, apa boleh buat, Raesha tetap menurut; menggaruk punggung Anugrah dengan wajah masam. Lupakan tentang bentuk badan dan tekstur kulit si Anu, Raesha telah dibuat kesal atas perintah aneh dari mulut pria itu.
"Agak ke bawah sedikit." Raesha menggeser tangannya agak ke bawah, sembari menahan hasrat untuk menancapkan kukunya di sana. "Ya, di situ. Terus .... Lebih keras ...."
Raesha bahkan paling malas jika disuruh menggaruk punggung ayahnya. Dengan upah buah apel sekilo kalau Raesha mau menggaruk tak hanya punggung, tetapi juga kepala, Raesha tak menyukai walau ia tetap melakukannya. Justru sekarang malah disuruh menggaruk punggung pak direktur.
"Kanan." Raesha menggeser posisi garukannya. "Itu kiri. Saya bilang, kanan." Ubah lagi. Itulah kenapa Raesha tak suka menjadi tukang garuk: cerewet.
***
Anugrah butuh teman untuk pertemuannya dengan pak Rendra, direktur G Shar Company. Setelah melakukan lembur, ia mengajak sekretarisnya untuk ikut, sekalian mentraktirnya makan malam sebagai upah menemaninya lembur.
Raesha mau-mau saja. Kapan lagi bisa makan di restoran mahal yang sekali makan bisa mengeluarkan uang satu juta lebih dengan menu yang enak? Raesha benar-benar menantikan hal itu. Gratis!
Jam tujuh kurang sembilan menit, mobil Anugrah sudah terparkir di area VIP. Restroran kelas atas ini tak pernah sepi pengunjung, bahkan selalu ramai di setiap malamnya. Raesha berpikir, apa bedanya makan di sini dengan makan di rumah orang tuanya di desa? Sama-sama enak dan bergizi. Tentu buatan ibunya lebih berkualitas sebab memakai bahan baru dipanen. Asal tahu saja, orang tua Raesha merupakan seorang petani.
Namun, untuk hari ini, Raesha ingin memanjakan lidahnya dengan makanan berseni.
Raesha berusaha bersikap biasa saja saat memasuki restoran yang membuat matanya tak bisa memandang lurus. Ia bertaruh, kursi di ruangan tersebut sama mahalnya dengan gelang emas ibunya! Namun, Raesha tak peduli. Dia tetap mengikuti langkah Anugrah dengan tenang, tak melirik orang-orang yang tengah makan dengan anggun, atau si pelayan yang wajahnya lumayan tampan.
Rupanya, tuan Rendra Rahardian sudah tiba lebih dulu. Pria paruh baya itu duduk sembari menyesap wine-nya dengan tangan mengapit sebuah rokok. Saat matanya melihat Anugrah, dia menghisap panjang rokok sebelum memadamkannya.
"Selamat malam, Anugrah Perdana ...."
Anugrah membalas jabatan tangannya. "Selamat malam."
"Dan ..." Mata hitam tuan Rendra melirik Raesha yang berdiri di belakang Anugrah.
Dengan gugup, Raesha membalas jabatan tangan tersebut. "Sekretaris Raesha."
"Ah ... Sekretaris baru?"
Anugrah mengangguk saja.
"Kuharap kau betah, ya. Silakan duduk." Suaranya terdengar biasa saja, tetapi entah kenapa di telinga Raesha lain terdengarnya. Jenis suara pria tua selain ayahnya memang berbeda. Untuk tuan Rendra, mirip seperti pemeran antagonis di drama televisi yang sering ibunya tonton.
Mereka duduk, dan memesan sebuah menu andalan restoran tersebut.
Belum lima menit, tetapi Raesha sudah mulai bosan. Pria tua di depannya berbicara dengan sangat menyebalkan. Berbasa-basi yang menurutnya seperti menyindir kehidupan Anugrah, tetapi pria yang disindir terlihat biasa saja dan menanggapinya dengan gumaman serta anggukan. Namun, Raesha tahu, Anugrah tengah menahan kekesalannya.
"Makanlah yang banyak. Kalian bisa memesan makanan kecil lainnya," kata tuan Rendra tersenyum sampai matanya menyipit.
"Bisa kita langsung mulai saja, Tuan Rendra?" keluh Anugrah. Dia sudah tak tahan jika berlama-lama bersama pria tua arogan di depannya.
Raesha melirik Anugrah tanpa menghentikan memotong dagingnya. Ia bahkan bisa melihat ketidaknyamanan bosnya yang kentara. Lihatlah mata hitam itu yang memicing tajam.
"Makanlah dulu, Nugrah. Dan lagi, tak usah formal begitu." Rendra memakan potongan dagingnya, dan matanya sesekali melirik ke arah Raesha.
Seketika itu Raesha sendiri sudah terserang epilepsi dadakan―dalam kepalanya.
"Saya tidak punya banyak waktu. Jika tidak ada yang perlu dibicarakan, kami permisi." Anugrah sudah menaruh alat makannya di atas meja, dan hendak berdiri, tetapi Rendra membuka mulutnya dengan cepat.
"Baiklah ... saya langsung mulai saja," desah Rendra seraya menghela napas. "Tentang kerjasama yang sempat kau tolak." Matanya kini serius menatap Anugrah.
Dan kini giliran Anugrah yang menghela napasnya. Dia sudah tahu dengan apa yang akan pria tua itu bicarakan. Haruskah Anugrah membentaknya?
"Akan sangat beruntung bagimu jika kau menerimanya." Anugrah mendengarkan Rendra sembari meminum wine-nya.
Sangat beruntung, merupakan kalimat bualan yang sering dijanjikan setiap orang yang memulai kerjasama dengannya. Anugrah sudah muak, terlebih lagi dengan G Shar. Tidak cukupkah ia menolak mentah-mentah utusan dari pria tua tersebut? Dan haruskah ia melakukannya lagi di depan pria ini?
Kerja sama untuk membuat sebuah yayasan, di mana hal tersebut merupakan niat baik. Namun, tidak jika dengan G Shar. Anugrah sudah tahu rahasia pria tua itu.
"Kau juga menyumbang untuk rakyat."
Cih!
"Kerjasama yang bisa membawa nama Jumpfield semakin melambung."
Nama Jumpfield bahkan sudah melambung tinggi.
Rendra mulai berbicara panjang lebar berniat melunakkan hati Anugrah, tetapi pria muda itu tiba-tiba berdiri dan berkata, "Terima kasih atas penjelasannya. Tapi, saya tetap dengan jawaban saya di awal. Terima kasih." Dia berjalan meninggalkan meja tersebut, bahkan ia lupa telah meninggalkan sekretarisnya yang kebingungan.
Tanpa terbengong lama-lama, Raesha berdiri dan pamit pada Rendra sebelum mengikuti langkah Anugrah yang lebar-lebar.
***
Di dalam mobil, Raesha menggerutu dalam hati. Harusnya ia memakan satu irisan daging langsung tanpa harus memotongnya kecil-kecil, dan sekarang dia menyesal. Hilang sudah makan menu mewahnya.
Dia ingin sekali menanyakan kenapa Anugrah menolak tawaran yang menurutnya menguntungkan, tetapi ia tak berani. Kalau ia melakukannya, ia bisa kena marah. Tahu sendiri sifat si Anu seperti apa.
Semakin bingung lagi, ketika mobil Anugrah memasuki area super market. Raesha bertanya-tanya dalam hati, mereka akan makan di sini, kah? Anugrah memang perhatian, tahu kalau ia masih lapar.
Alih-alih pergi ke tempat makan, Anugrah malah membawanya ke tempat bahan makanan sambil berkata, "Buatkan saya makanan!"
Dan ... di sinilah Raesha sekarang: apartemen Anugrah Putra Perdana.
Disuruh menggunakan apron bergaris, Raesha mulai membersihkan ikan sementara Anugrah memotong sayuran dengan patah-patah. Raesha hampir kelepasan tawanya ketika melihat posisi tangan Anugrah saat memegang pisau.
"Kalau mau ketawa, ketawa saja," ketus Anugrah, ketika melihat bahu Raesha bergetar.
Karena sudah ketahuan, Raesha berdeham. "Seperti ini." Dia menunjukkan tangannya yang memegang pisau kepada Anugrah.
Lucu sekali. Tetangganya di umur 5 tahun saja sudah bisa memegang pisau dengan benar. Rasa-rasanya Raesha sedang mengajari anak-anak memasak.
"Potongan wortelnya kurang tipis, Pak."
"Begini?"
"Itu terlalu tipis."
"Apa bedanya. Toh, nanti masuk mulut."
Raesha meringis mendengarnya. Memang semua makanan masuk ke mulut, tetapi akan berbeda rasanya jika penyajiannya salah. Wortel tersebut untuk sayur capcay. Jika potongannya tebal, rasanya menjadi tidak enak, dan butuh waktu lama untuk memasaknya. Namun, jika terlalu tipis, potongan wortel akan hancur saat dimasak. Raesha tahu itu dari ibunya.
"Tentu ada," jawab Raesha.
Anugrah menaikkan sebelah alisnya, menatap Raesha, kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Saya serahkan pada ahlinya." Dan melenggang pergi setelah mencuci tangan.
Ah ... dia merajuk atau apa? Raesha sudah cekikikan di tempat.
Beruntunglah sang ibu membekalinya cara memasak yang dapat membantunya hidup mandiri di kota, sehingga tak akan keki di depan bosnya. Malu kalau perempuan tidak bisa memasak. Mau taruh di mana mukanya?
Semua masakan yang ibunya ajarkan merupakan masakan yang tidak ribet dalam pembuatan maupun bahannya. Dan yang paling penting, tak membutuhkan waktu lama dalam memasaknya.
Selama hampir satu jam berkutat di dapur minimalis Anugrah, akhirnya capcay dan ikan bumbu balado sudah tersaji di atas meja. Satu lagi, nasi putihnya tak ketinggalan.
"Kamu pandai juga ternyata."
Pujian dari Anugrah membuat Raesha tersipu. Siapa tahu pujian itu bisa menjadi uang di suatu hari nanti. Dia menyiapkan sepiring nasi untuk Anugrah sebelum memberikannya.
Saat makanan masuk ke mulutnya, Anugrah mengangguk-anggukkan kepalanya seirama dengan detak jantung Raesha. Senyuman Raesha sudah selebar pisang, dan matanya tak bisa teralihkan dari Anugrah yang menyantap masakannya tanpa jeda. Dia sangat senang jika ada seseorang selain Elvan yang sangat menikmati masakannya.
"Besok dan seterusnya." Anugrah mengumpulkan nasi pada sendoknya. "kamu buatkan saya bekal. Terserah apa saja, asalkan kamu yang masak."
Seharusnya Anugrah bisa membaca situasi. Lihat, Raesha terdiam sembari meremas dada kirinya. Ini mungkin berlebihan, tetapi mendengar perkataan Anugrah, membuat Raesha berdebar. Anugrah suka masakannya, dan ingin dibuatkan setiap hari. Ibunya bisa tertawa di hadapan tetangganya jika mendengar hal tersebut!
"Kamu tidak mau?"
Raesha mengerjap. "Tidak―maksud saya―saya akan membuatkannya." Dan malah salah tingkah begini.
Kembali memakan makan malam mereka, bahkan Anugrah nambah sampai sayurnya habis tak tersisa. Tak ada pembicaraan setelah yang tadi. Inginnya Raesha menanyakan kejadian di Akira Back. Dia ingin tahu alasan Anugrah menolak penawaran dari Rendra Rahardian, tetapi rasanya sangat tidak sopan. Menjadi sekretaris Anugrah bukan berarti harus tahu masalah yang terjadi padanya. Raesha yakin, alasan Anugrah menolak penawaran tuan Rendra karena adanya masalah di antara mereka, secara pribadi, mungkin?
"Pak," panggil Raesha kepada Anugrah yang sedang duduk di atas sofa sembari memegang ponselnya. Pria itu mendongak, dan mendapati Raesha berdiri tak jauh darinya. Dia telah selesai membereskan bekas makan malam mereka, dan ini sudah agak larut. "saya pamit pulang."
Alih-alih menjawab, Anugrah berdiri dan meletakkan ponselnya di atas meja begitu saja, lalu kembali meraihnya sebelum dimasukkan ke saku celananya. "Ayo," katanya. Dasar Raesha yang memang otaknya berjalan lamban, hanya terdiam menatap punggung Anugrah. "saya antar."
Beruntungnya punya bos yang pengertian, Raesha tak perlu menunggu taksi di jalanan. Tanpa penunjuk jalan lagi, Anugrah sudah hapal betul di mana alamat indekos sekretarisnya berada. Walaupun tanpa adanya perbincangan selama perjalanan, Raesha dengan baik hati menyalakan lagu yang kebetulan merupakan lagu favorit Raesha, sehingga ia tak bosan dengan suasana dalam mobil.
Raesha akui, dia senang hari ini. Kalau dipikir-pikir, pak Anu ternyata tidak seburuk itu walau sikapnya tetap menyebalkan. Secuil dari hati Raesha bergetar kala melirik tangan pria itu di roda kemudi. Sudah lama sekali ia tidak melihat tangan kekar selain Elvan di benda bundar tersebut.
Terlalu asyik memikirkan fakta tersebut, ternyata tinggal satu belokan lagi indekos Raesha akan terlihat. Tahu akan hal iti, Raesha menyuruh Anugrah untuk menurunkannya di depan warung kopi saja, tetapi pria itu menolak, katanya, "Ini sudah larut. Tidak baik membiarkan seorang wanita berjalan sendirian di jam segini."
Ah ... lagi-lagi pria itu mengeluarkan kata-kata yang membuat hati Raesha goyah dan ingin tersenyum macam orang idiot.
Telah sampai. Mobil Anugrah berhenti di halaman indekos yang cukup untuk satu mobil.
"Terima kasih, Pak. Saya duluan. Selamat malam," ucap Raesha sebelum turun dari mobil Anugrah, menunduk hormat juga senyum sopan santunnya.
Namun, Raesha dibuat bingung saat Anugrah juga turun dari mobilnya. Jika pria itu ingin bertamu, dengan senang hati Raesha akan menolaknya.
"Bapak mau mampir?" tawarnya, basa-basi, juga memastikan kalau-kalau Anugrah sungguhan ingin mampir. Semoga saja tidak.
"Tidak," jawab Anugrah. "Kamu masuk saja."
Syukurlah .... Sekali lagi Raesha menunduk hormat dan tidak lupa ucapan terima kasihnya, berjalan menuju indekos kecilnya sesekali melirik ke belakang di mana Anugrah yang berdiri mengawasinya dengan tampang yang bisa membuat Nimas kejang-kejang di tempat.
Baru hendak melangkahkan kakinya di teras, Raesha berhenti dengan jantung yang berdegup dengan keras. Ada apa ini? Kenapa ada gumpalan di atas kursinya? Pikiran Raesha sudah ke mana-mana. Masih ada Anugrah di sana, segera Raesha menghampirinya dengan terburu-buru.
"Kenapa?" Anugrah heran ketika Raesha berlari ke arahnya dengan wajah pucat.
"Di sana." Raesha menunjuk objek yang membuat jantungnya terjun. "ada sesuatu."
Tanpa menunggu lama, Anugrah segera menghampiri sesuatu yang ditunjuk Raesha. Gumpalan di atas kursi panjang itu bergerak. Anugrah menelan ludah, sementara Raesha berdiri di belakangnya takut-takut.
Berdeham demi menghilangkan adrenalinnya, Anugrah berusaha bersikap tenang kendati susah. Lalu tangannya terulur secara perlahan ke arah objek di depannya. Perlahan .... Dengan perlahan .... Dia berusaha membuka celah pada sarung yang terbungkus.
Jika itu maling, Anugrah sudah siap dengan seni bela dirinya, sementara Raesha sudah memungut batu seukuran genggaman tangannya.
Sarung itu mulai terbuka .... Anugrah menyempatkan diri untuk meneguk ludah. Dan ...
"BANG RAE?!"[]
