Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Eksentrik

Setelah memarkirkan motornya ke dalam indekos yang sempit, Raefal mendudukkan diri di atas sofa, mengabaikan Raesha yang mengomel karena lantainya jadi kotor. Raefal bercanda dengan apa yang ia lakukan siang tadi, ia hanya kesal karena Raesha menolak ajakan makan siangnya. Lagi pula, dia tak akan membiarkan sepupunya pulang sendirian di saat ia numpang tidur di indekos gadis itu. Dan apa yang ditemuinya kemudian? Bosnya Raesha telah menghinanya!

"Aku belum makan. Buatkan makanan," kata Raefal, saat Raesha mendudukkan diri di sampingnya. Ini baru pukul enam sore, tetapi perutnya sudah kelaparan, mungkin karena siang tadi hanya makan batagor.

Raesha menghela napas, semakin menenggelamkan punggungnya di sandaran sofa. Terserah dengan ocehan sepupunya, Raesha kelewat kesal dengan pria itu, terlebih lagi membuat telah membuatnya malu di depan bosnya. "Aku capek. Pesan saja." Lagi pula, dia sungguhan tak mau memasak karena lelah, dan berharap dapat makanan gratis alih-alih disuruh.

Kemudian Raesha melirik sepupunya yang tengah sibuk dengan ponsel, lalu bersorak dalam hati. Bukan media sosial, 'kan, yang pria itu buka?

"Pedas, tidak?" tanya Raefal tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Pedas." Raesha menjawab dengan segera. "Memangnya Abang pesan apa?"

"Martabak."

"Martabak telor?"

"Topping  keju."

Rasanya, Raesha ingin guling-guling sekarang juga! Untuk apa pria itu menanyakan pedas atau tidaknya? Memangnya martabak manis ada varian rasa baru, begitu?

Raefal berdiri. "Aku akan mandi." Dia berdiri, lalu berjalan meninggalkan Raesha yang masih kesal. "Kalau pesanannya datang, tolong beri uang, ya."

Bangs*t!

***

Yang datang martabak manis dengan topping keju dua kotak, dan mau tak mau Raesha harus membayarnya dengan tak rel. Setelah itu, dengan sekonyong-konyongnya Raefal merebut satu kotak dan menyuruh Raesha membuatkan kopi. Tentu Raesha tak menurutinya. Siapa dulu yang telah membuatnya kesal?

"Kalau bos kamu minta dibuatin kopi, kamu melakukannya," protes Raefal dan hampir melemparkan adik sepupunya dengan gelas yang berisi kopi buatannya sendiri.

Apa lagi ini? Sudah sangat jelas perbedaannya, bukan? Jika ia membuatkan sesuatu untuk bosnya, ia sudah pasti mendapatkan uang. Sementara Raefal ....?

"Dia itu sungguhan bos kamu?" Raefal bertanya sembari mendudukkan diri di samping Raesha yang masih berwajah muram, meluruskan kakinya di atas meja lalu menyesap kopinya dengan santai.

Raesha tak langsung menjawabnya, menelan kunyahan martabaknya, lalu menatap Raefal malas. "Menurut Abang?"

Mendengarnya, Raefal ingin sekali mencakar wajah Raesha. Diletakkannya gelas kopi itu, dan beralih pada martabak bagiannya. "Kalian tidak menjalin hubungan, 'kan?"

Seluruh bulu halus di tubuh Raesha berdiri bersamaan dengan insting di dalam kepalanya untuk berjengit. Pertanyaan macam apa itu?! Baru bekerja beberapa hari dan Raefal sudah memiliki perspektif yang aneh-aneh!

Lagi pula, Raesha tidak mau memiliki hubungan dengan bosnya yang galak itu. Kalaupun si Anu itu tampan, percuma jika sikapnya aneh. Raesha kembali bergidik.

Dahi Raefal mengerut melihat sepupunya yang sibuk dengan pemikirannya sendiri; bergidik, memejamkan mata, lalu meringis. Kemudian, sesuatu melintas ke dalam kepalanya. Dia menghadap sepenuhnya pada Raesha. "Dia tidak melakukan sesuatu yang aneh, 'kan?"

Kalau menggaruk punggung, dan mengambilkan pulpen atau segala macamnya, apakah itu termasuk aneh? Raesha hendak menjawab, tetapi Raefal menyelanya, "Gila! Kalau ayah dan ibu tahu, kau bisa mati! Bodoh! Kau―dasar, Raesha!"

Ada apa sebenarnya? Kenapa kakak sepupunya jadi heboh begini? Bahkan ia belum menjawab pertanyaan sebelumnya. "Kenapa?" Raesha bertanya untuk mendapat keterangan.

"Kamu sekretaris pria itu, 'kan?" Raesha mengangguk heran. "Kamu selalu meluangkan waktu untuk dia?"

Alis Raesha mengernyit. Meluangkan waktu? Tentu saja. Anugrah bahkan tak membiarkan ia duduk santai di dalam ruangannya. Jadi, Raesha mengangguk, dan hal tersebut mampu membuat Raefal melotot.

Pemikiran Raefal sudah lari ke mana-mana, kemudian tangannya langsung memegang bahu Raesha, menatap sepupunya serius, hingga hal tersebut telah membuat Raesha meneguk ludahnya. "Kalian ..."―kini, giliran Raefal yang meneguk ludahnya―"berciuman di saat jam kerja?"

Pukul tujuh malam, tetapi suasana sudah hening. Beberapa orang penghuni indekos di sekitar ini baru pulang tanpa jemputan atau kendaraan pribadi, dan langsung merebahkan diri setelahnya karena lelah. Namun, Raesha tak peduli akan hal itu, ia bahkan mengabaikan sepupunya yang terbaring di lantai sembari memegang hidungnya yang serasa patah. Erangannya bahkan tak membuat Raesha menoleh sedikit pun padanya.

"Aku hanya khawatir," ringis Raefal tanpa menahan erangan kesakitannya. Raesha telah memukulnya tepat di hidung, lalu menendang tulang keringnya. Siapa yang kejam di sini? Hidungnya bahkan sempat mengeluarkan darah. Sepupunya benar-benar tak tahu bahwa ia mengkhawatirkannya.

Lagi, Raesha mengabaikannya. Raefal bangkit dengan hati-hati menahan rasa sakit, lalu kembali duduk di atas sofa. "Banyak sekretaris yang bukan hanya bekerja sebagai sekretaris," lanjut Raefal, tanpa memikirkan akibat dari perkataannya.

Raesha meringis dalam hati. Anugrah menyuruhnya membuat bekal, mengambilkan sesuatu yang bisa si Anu ambil sendiri, bahkan menggaruk punggung. Apakah semua itu bisa dikatakan "bukan bagian pekerjaan  sekretaris"? Tentu saja! Namun, Raesha tak akan mengatakannya.

"Abang terlalu banyak membaca cerita aneh," tukas Raesha.

"Untuk itu, aku hanya memastikan."

"Aku tidak semurah itu, Bang!" sergah Raesha kesal. Dia bukan orang yang mau melayani seorang pria dengan tubuhnya. Dosanya sudah banyak, dia tak mau menambah dosa lagi. Terlebih dengan hal semerendahkan itu.

"Aku takut kau hamil di luar nikah."

Raesha berjengit mendengarnya, dan melotot sampai bola matanya akan keluar. "Aku nggak mau mati digantung sama ayah, Bang! Amit-amit! Aku ingin punya foto pre-wedding yang bagus!"

***

Bekal sudah ia masukkan ke dalam tas, lalu cokelat panas. Sama seperti kemarin: nasi goreng. Hanya saja, ia menambahkan omelet isi sayuran.

"Katanya kantin kantormu gratis. Tapi kenapa membawa bekal? Itu pemborosan, namanya." Raefal heran melihat kotak bekal panda itu masuk ke dalam tas Raesha. Ingin sekali ia menanyakan hal lain, tetapi kejadian semalam kembali terlintas di dalam kepalanya. Raefal bergidik sambil memegang hidungnya.

"Selera makanku banyak. Pak bos memberiku banyak kerjaan, hingga nafsu makanku bertambah," dustanya.

Raefal percaya-percaya saja. Memang kenyataan, kalau nafsu makan adik sepupunya banyak, bahkan semenjak kecil. Di umurnya yang baru tiga tahun saja sanggup menghabiskan nasi satu piring penuh, belum lagi lauk dan sayurnya. Raefal menyebutnya, Monster Kecil.

Uang Raesha aman kali ini. Katanya, Raefal membayar martabak semalam dengan tumpangan gratis. Raesha tak mempermasalahkannya, yang terpenting dia sampai kantor tepat waktu, atau Anugrah akan marah.

Namun, pria itu sudah datang lebih dulu. Rajin! Raesha melihatnya saat hendak duduk di kursinya. Anugrah keluar dari ruangannya, menghampiri sekretarisnya dengan tenang seperti biasa. Hanya saja, penampilan pria itu tak serapi biasanya: dasi hilang entah ke mana, dua kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka, tanpa jas, dan rambut ditata seadanya.

"Langsung ke ruangan saya." Hanya perintah singkat, Anugrah kembali berbalik masuk ke dalam ruangannya

Raesha bisa melihat bahwa pria itu ... kacau. Entah karena pekerjaan atau apa, yang pasti bosnya dalam keadaan tidak baik. Dalam keadaan seperti ini, Raesha harus lebih berhati-hati, intensitas kemarahan si Anu akan sering muncul dari biasanya. Bahkan bekal yang baru dikeluarkan dari dalam tas, langsung direbut oleh pria itu.

"Bapak baik-baik saja?" tanya Raesha, hanya ingin memastikan. Siapa tahu dengan kekhawatiran ini dapat membuatnya mendapat bonus berupa uang. Kendati dia tahu jawabannya, setidaknya hal tersebut bisa dijadikan basa-basi.

"Menurut kamu, bagaimana?" Anugrah meletakkan kotak bekal dan botol minum di atas meja kerjanya, lalu berbalik menghadap Raesha, menatap gadis itu dengan intens.

Mata Raesha berlari ke arah yang lain saat Anugrah menatapnya. Pagi-pagi begini, lebih baik lari mengelilingi taman kantor daripada olahraga jantung. "Bapak ... terlihat berantakan," jawabnya ragu-ragu, takut jika emosi berlebih Anugrah dikeluarkan.

Alih-alih marah, Anugrah menghela napasnya dan bergumam dengan lesu, "Begitu?"

Nadanya tak biasa, membuat Raesha sepenuhnya mendongak menatap Anugrah. Ia bisa melihat kantung mata pria itu dengan jelas. Ada apa? Lembur membuatnya seperti ayam belum mandi.

"Di mana dasi bapak?"

Anugrah bingung dengan sekretarisnya. Kenapa mencari dasinya alih-alih menyuapinya makan? Namun, Anugrah tetap menjawab, "Tertutupi jas."

Jasnya tersampir di kursi kerja pria itu, dan Raesha langsung mengambil dasi biru tua bergaris tersebut. Dia bahkan tak memikirkan sebelumnya, Raesha hanya ingin memperbaiki penampilan Anugrah saja.

Tangannya dengan telaten mengancingi kemeja Anugrah, lalu berjinjit ketika mengalungkan dasi, berlanjut dengan memasangnya dengan mudah. Sementara Raesha melakukan pekerjaannya, Anugrah hanya memperhatikan sekretarisnya dengan diam, matanya terus memaku pada wanita di depannya.

Sadar akan apa yang dilakukannya, Anugrah mengerjap saat Raesha tersenyum padanya. Ada yang aneh di sini. Untuk menutupi kegugupan yang tiba-tiba melandanya, dia segera berkata, "Suapi saya selagi menandatangani berkas." Membuat Raesha hampir menghela napas secara terang-terangan.

***

Sepupunya bilang, akan tinggal di indekos Raesha sampai pria itu mendapatkan tempat tinggal sementaranya, tetapi dengan syarat: Raefal harus meringankan dana sewa indekos dengan membayar setengahnya. Raefal sendiri membuat syarat untuk dipatuhi adik sepupunya: buatkan dia makanan. Raesha hanya menjawab, "Kalau aku tidak dalam keadaan malas."

Namun, nyatanya Raesha selalu malas, terkecuali untuk sarapan. Dia bahkan selalu memasukkan makanan ke dalam kotak bekal, penuh pula isinya. Heran. Raesha makan banyak, tetapi kenapa badannya tidak membengkak?

"Ampun, Bang! Jangan menggangguku!" teriak Raesha pada Raefal.

Dia sedang mengerjakan laporan yang diberikan Anugrah waktu itu. Tinggal beberapa lembar lagi kerjaan itu selesai, tetapi Raefal malah dangdutan. Volume suara musiknya kecil, tetapi suara nyanyian Raefal minta ditimpuk dengan panci.

"Ini bukan tempat karaoke, Bang. Cari tempat lain!" jeritnya. Kepalanya sudah pusing oleh pekerjaan, dan sekarang ditambah suara keras Raefal yang seperti lembu.

Musiknya mati, lalu Raefal membenarkan letak sarungnya. "Aku lapar, Sha!"

Rasa-rasanya, Raesha ingin menangis. Bukankah abangnya sudah memakan ketoprak beberapa menit lalu? Dan sekarang dia bilang lapar?

"Ketoprak tidak bisa membuat kenyang. Ketupatnya cuma sedikit. Buatkan nasi goreng, Sha."

Bibir Raesha berkedut. Ingin marah dan membalik meja, tetapi tidak bisa. "Buat sendiri!"

"Aku nggak bisa masak."

"Cuma bawang dan garam doang!" Raesha mulai kesal. Raefal memang tak bisa masak, tetapi nasi goreng adalah masakan termudah setelah mi instan. Kelewatan! Raesha bahkan pernah menemukan sepupunya memasak nasi goreng walau rasanya tak seenak buatannya.

"Tidak. Aku―"

Suara ketukan pintu menginterupsi perkataan Raefal, membuat mereka bertanya-tanya, siapa yang bertamu di jam sembilan malam. Elvan? Entahlah. Pria itu bahkan tak mampir lagi ke indekosnya setelah memberinya piza waktu itu.

Mengabaikan Raefal, kaki Raesha melangkah ke arah pintu depan. Jika benar Elvan, semoga saja pria itu membawa makanan, dan tak perlu membuat Raefal terus mengomel.

Pintunya terkunci, dia membukanya, dan matanya terbelalak kaget mendapati seorang pria yang masih dengan kemeja kerjanya, tetapi penampilannya kini berantakan. "Pak Bos, kenapa ke sini?"

Adakah pekerjaan untuknya? Namun, kenapa Anugrah datang ke indekosnya alih-alih menghubunginya lewat pesan atau e-mail?

"Boleh saya masuk?" tanya Anugrah setelah dirasa cukup memberikan waktu untuk Raesha menetralisir keterkejutan.

Raesha mengerjap dan tersenyum canggung. "A-ah ya .... Silakan, Pak." Dia mempersilakan bosnya masuk dan bersikap sesopan mungkin. Entah apa yang membuat Anugrah datang kemari, Raesha harus tetap bersikap profesional biarpun saat ini sedang tidak di kantor.

"Apaan ini?" Bentakan dari ruang tamu membuat Raesha berjengit di balik punggung Anugrah.

Raefal sudah melotot di depan sana, mengabaikan sarungnya yang melorot―siap marah.

"Bang!" Raesha memperingati, bahkan dia sudah memberi kode dengan kedipan mata, tetapi Raefal tetap mempertahankan posisi matanya.

Berdeham, Raesha berkata kepada Anugrah, "Silakan duduk, Pak. Saya akan membuatkan minuman."

"Saya ikut." Perkataan Anugrah berhasil membuat Raesha dan Raefal melotot, bahkan mata pria bertemperamen tinggi itu hampir copot.

Raesha bertanya-tanya, apakah Anugrah takut dengan Raefal mengingat sepupunya yang galak? Tersenyum canggung, Raesha menjawab, "Baiklah, Pak." Lebih baik dituruti, bukan, daripada meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang sama?

"Bang!" desis Raesha saat Raefal protes dan mengeluarkan kata-kata kasar. Sepupunya itu tidak punya sopan santun.

Di dapur, Raesha mempersilakan Anugrah duduk di kursi yang ada. Hanya sebuah kursi plastik di sudut ruangan. Tak baik membiarkan tamu berdiri lama, terlebih tamunya adalah Anugrah, si Tampan dari Jumpfield.

Dengan segera, Raesha membuatkan teh tawar. Tahu kalau Anugrah lebih menyukai rasa pahit pada teh, dan jamuan terbaik daripada air putih.

"Raesha," panggil Anugrah di sela keheningan.

Wanita itu menahan diri untuk tidak melirik Anugrah ketika pria itu menyebut nama depannya. Biasanya, si Anu akan memanggilnya dengan nama belakang, mendengarnya sekarang membuat Raesha tersenyum tanpa diperintah.

"Iya, Pak?"

Didengarnya helaan napas keluar dari mulut Anugrah. "Saya bukan bapak kamu, Raesha. Lagi pula, ini di luar jam kerja. Tidak usah formal."

Tehnya sudah selesai ia buat, segera Raesha menyuguhkannya pada Anugrah dan diterima dengan pria itu. Ini memang di luar jam kerja, tetapi kenapa Anugrah mendatanginya? Lagi pula, Raesha merasa enggan bersikap nonformal pada bosnya walaupun di luar jam kerja. Dia sudah terbiasa.

"Jadi, kenapa Bapak―eh, A-Anu―"

"Saya lapar."

Rahang Raesha sudah jatuh, dan kegugupannya sudah menguap. Anugrah sedang bercanda, bukan?―Tidak. Anugrah memang selalu bertingkah aneh. Jika ia lapar, kenapa datang ke indekosnya?! Dia bisa saja memesan makanan atau pergi ke tempat makan, dan bukannya malah ke sini!

"Kalau begitu, saya akan buatkan bapak―eh, Anda―eh, kamu makanan." Dan kegugupan kembali menghampirinya. Bingung harus memanggil bosnya dengan apa, dia bahkan malu sendiri setelah menyebut Anugrah dengan kata "kamu".

"Apa saja. Yang cepat jadi. Asal jangan mi instan," jawab Anugrah, mengabaikan Raesha yang salah tingkah akan ucapannya sendiri.

"Baiklah."

"Enak sekali, ya." Raefal muncul dari balik naungan bayang-bayang kulkas. Matanya menyorot tajam ke arah mereka berdua, sementara tangannya berkacak pinggang.

"Aku minta makanan, nggak dibuatkan. Giliran dia, kau melakukannya," protes Raefal, seraya menyampirkan sarungnya di bahu kiri. Dia kesal karena sepupunya tak mau diperintah olehnya, sementara tamu dadakan ini malah mendapat sesuatu yang diinginkannya. Sekarang, Raesha mulai pilih kasih!

Sementara itu, Raesha menghela napas lelah. Raefal pasti mengatakan hal yang tidak enak tentangnya di dalam hati. Bukannya Raesha pilih kasih, hanya saja pak bosnya sedang lapar sementara Raefal sudah mengisi perutnya dengan ketoprak, bahkan belum lama makanan itu singgah di perutnya.

"Oke! Akanku buat yang banyak," putusnya. Daripada berdebat panjang dengan Raefal, lebih baik dia membuatkan makanan yang banyak.

"Lha. Kenapa Abang ke sini?" Heran, kenapa Raefal malah berdiri di samping rak piring sembari mengamatinya. Konsentrasi Raesha buyar ketika memotong bawang jika ditatap seperti itu oleh abang sepupunya.

"Tidak baik membiarkan dua orang berbeda jenis dalam ruangan yang sama, terlebih lagi ini sudah malam." Raefal berkata dengan tenang.

"Bukankah yang ke-tiganya itu setan?"

Dan Raefal mengeluarkan antena dari kepalanya saat mendengar Anugrah berkata demikian.

***

Nasi goreng sederhana sudah tersaji untuk mereka berdua. Raesha duduk mengawasi mereka sambil meminum teh manisnya, takut kalau-kalau mereka bertengkar. Televisinya menyala, dan semua pasang mata mengarah ke layar tersebut tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.

Api dalam kepala Raefal perlahan mulai padam, dan Anugrah tetap tenang menyantap makanannya dengan lahap.

Tak ada yang berbicara selama mereka menghabiskan makanan. Namun, ketika makanan sudah habis dan piring sudah bersih, Anugrah berbicara, "Saya harus pulang."

"Wah!" Raefal menyela, dan hendak memukul bahu Anugrah sebelum Raesha memelototinya. "Kau ke sini hanya mau makan? Hebat sekali!" cibir Raefal.

Namun, Anugrah, ya Anugrah. Dia tak mempermasalahkan perkataan bernada jemawa yang keluar dari mulut Raefal. Lagi pula, tidak penting-penting amat meladeninya.

Kendati dirinya sedikit kesal dengan kedatangan bosnya yang mendadak dan perintah aneh, Raesha mengantar Anugrah sampai pintu depan dengan senyum formalitas. Raefal ikut di belakangnya, mengawasi.

"Selamat malam," ucap Raesha, tersenyum sopan ke arah Anugrah, membuat Raefal mendengkus keras di belakangnya.

"Selamat malam." Anugrah berbalik, tetapi baru beberapa langkah, dia kembali menghadap Raesha. "Jika laporannya terasa berat, kamu bisa menundanya. Selamat beristirahat." Diakhiri dengan senyuman yang membuat Raesha semaput dengan pipi merona. Tidak biasanya pak bos tersenyum seperti itu, manis pula. Jika Nimas melihatnya, wanita itu sudah semaput setelah kejang-kejang.

Sementara itu .... "Bangs*t, kau!" Raefal berhasil mengundang kemarahan tetangga indekos.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel