SEBUAH LAGU CINTA
Arnav menjatuhkan bokongnya di sofa panjang satu-satunya yang ada di kontrakkan mereka. Lova yang lebih dulu duduk di sana merasa terganggu dan mendelik.
“Mata bisa gak sih biasa aja ngeliatnya? Kalo bukan kakak, udah gue colok lama kali tuh mata.”
Teriakan kesakitan dari Arnav menjadi akhir protesannya. Kakaknya yang masih cantik di usia hampir 35 tahun itu dengan senang hati memukul kepalanya sebagai hadiah.
Lova kembali melihat televisi yang menampilkan acara yang di pandu oleh komedian Vincent dan Desta. Acara yang, bagi Lova, paling normal untuk di tonton. Arnav mencomot camilan yang ada di pangkuan Lova.
“Bik.” Arnav memanggil Lova yang hanya berdehem sebagai balasan. “Lo masih inget sama si Alder gak?”
Lova menutup mata sambil menggigit bibir bawahnya. “Ya Allah, harus berapa kali sih gue denger nama itu anak seharian ini?” keluh Lova meletakkan kepalanya di sandaran sofa.
“Masih inget, kan? Itu yang dulu sering dateng ke kosan lama kita.” Arnav memperjelas gambarannya tentang sosok Alder.
Lova menghela napas berat. Lalu melihat adiknya dengan tatapan sedih. “Iya, dia kenapa?”
“Tadi dia dateng ke rumah sakit tempat gue magang dong. Keknya tuh rumah sakit punya keluarganya dia deh.”
Lova memijit pelipisnya. Entah kenapa Alder selalu berhasil membuat kepalanya pening.
“Gue gak nyangka kalo dia kaya. Mungkin karena dulu dia masih bocah kali, ya? Ke kosan kita juga cuma pake sepeda. Gak nyangkanya lagi, dia masih inget sama gue loh, Bik. Gila gak sih? Gue aja udah lupa sama dia, beda banget tu bocah sama dulu. Lo tahu gak? Dia ganteng banget sekarang.”
Lova tak bisa menyalahkan Arnav yang begitu banyak bicara. Orang-orang pasti percaya bahwa mereka adalah kakak beradik.
“Terus kenapa, Arnav? Untungnya lo ceritain dia ke gue itu apa?”
“Yakali aja lo kepo.” Arnav kembali dengan camilannya.
Lova menghela napas berat. “Dia jadi bos gue sekarang.”
“What? Keren dong punya bos ganteng. Pepetin terus, Bik. Sapa tahu jadi jodoh lo.”
“Dia ngelamar gue seminggu yang lalu.”
Lova memang tidak menceritakan kejadian itu pada Arnav. Karena apa? Karena respons Arnav sekarang sudah bisa Lova bayangkan.
Adiknya itu terbahak sambil memegangi perut dan terbaring di lantai. Lova hanya mendengus.
“Itu namanya lo ngimpi.” Tawa Arnav kembali meledak.
“Serah deh kalo gak percaya.” Lova menendang pelan adiknya yang masih berguling-guling ria di lantai.
“Terus kenapa gak lo terima?” Arnav sudah kembali dengan kesadarannya dari tawa yang sempat membawanya ke dunia lain.
“Lo pikir aja deh. Dia bahkan lebih muda dari lo.”
“Baperan amat sih, udah tua juga. Sekarang mah gak masalah kalo punya suami lebih muda, Bik. Malahan lagi trend.”
“Ya tapi gue bukan artis yang nyari sensasi dengan nikah sama cowok lebih muda.”
Arnav kembali duduk di samping kakaknya. “Jauh jodoh lo entar kalo nolak lamaran begitu.”
“Lo sebenernya sayang gak sih sama gue, Nav?”
“Sayang. Banget malah. Makanya gue ngomong begini, kan? Dia ngelamar lo, Bik. Terus kebetulan banget dia jadi bos lo sekarang.”
“Kebetulan yang di sengaja. Dia tahu gue kerja di penerbitan itu, dan sengaja ngebeli perusahaan biar bisa ketemu gue.”
“Tuh, kan. Berarti dia gak main-main dong. Gue rela deh punya abang ipar lebih muda dari gue asal kaya. Bisa langsung jadi dokter tetap setelah koas tanpa surat lamaran deh gue entar.”
Arnav tersenyum dengan menaik turunkan kedua alisnya yang membuat Lova semakin sebal. Lova kembali memukul kepala adiknya yang hanya tertawa.
“Tapi kesian bang Rizal deh kalo lo beneran jadi sama si Alder. Dia keliatan banget kalo suka sama lo.”
Lova diam. Membenarkan ucapan Arnav di dalam hati.
Ah benar. Soal Rizal. Percakapannya dan Rizal tadi sore pasti akan membuat pertemuan mereka menjadi lebih canggung nantinya.
~.~.~.~
“Itu kamu, kan?” Lova melirik Rizal sekilas. Panggilan kamu dari Rizal membuat perasaan Lova menjadi tidak enak.
“Mak-maksud mas apa, ya?” Lova tergagap dan itu salahnya. Berlagak tidak tahu adalah paling aman untuk dijadikan senjata saat ini.
Sore itu, Lova bermaksud untuk pulang bersama supir taxi karena Arnav tidak bisa menjemputnya. Tapi Rizal datang dengan mobilnya dan berbaik hati memberikan Lova tumpangan.
Rizal tersenyum samar. “Sebuah lagu cinta. Arlova Zemira. Itu pasti kamu. Perempuan yang bos baru itu maksud.”
“Gak mungkinlah, mas.” Lova terkekeh canggung. “Pasti ada Arlova-Arlova yang lain di gedung kita itu. Kita aja yang gak tahu.”
“Tapi cuma ada satu Zemira di gedung kita.” Rizal telak membuat Lova terdiam. Pria hitam manis itu melihat Lova sekilas. “Kamu kenal sama bos itu?”
Lova tidak harus segugup ini hanya untuk membicarakan Alder pada Rizal, bukan? Jika Alder dengan terbukanya mengatakan tentang siapa perempuan yang dia sukai, setidaknya Lova juga bisa menceritakan siapa Alder. Toh, Alder masih menjadi seorang bocah laki-laki di mata Lova.
Juga Rizal tidak akan menceritakan pada orang lain tentangnya dan Alder, kan?
“Kenal,” jawab Lova akhirnya.
“Gimana bisa?”
Lova tahu bahwa sebenarnya Rizal menyimpan banyak pertanyaan untuknya tentang bagaimana dia mengenali Alder. Gadis itu tersenyum melihat ke arah Rizal yang beberapa kali menoleh ke arahnya dan jalanan bergantian.
“Karena sesuatu yang bakal sulit lo mengerti, Mas. Gue kenal sama Alder, dan cukup sampe di situ gue bisa cerita soal dia. Lo bakal mikir gue ini gila kalo lo tahu tentang Alder di hidup gue. Jadi lo cukup tahu, kalo Alder sama gue emang saling kenal.”
Lova sengaja tetap memakai sebutan lo-gue pada Rizal. Lova tidak ingin terkesan memberikan harapan pada teman satu devisinya itu.
Rizal terdiam sejenak. “Umur Alder 22 tahun, Lov.”
“Gue tahu,” sambar Lova cepat. “Dan gue sadar diri kalo gue cuma perempuan yang telat menikah.”
“Dia beneran ngelamar kamu?”
“Seperti yang lo denger langsung dari dia, Mas.”
“Dan kamu tolak?” Lova hanya mengangguk. “Kenapa?”
“Karena dia Alder.” Lova kembali tersenyum menatap Rizal yang tampak penasaran dengan apa yang terjadi padanya dan Alder. “Gak semudah itu nerima laki-laki dengan perbedaan umur 12 tahun lebih muda. Gue tahu, lo pasti ngerti maksud gue, Mas.”
Rizal kembali diam. Memberhentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah kontrakkan Lova dan Arnav selama lima tahun ini.
“Lo suka sama gue, Mas?”
Lova tak ingin berbasa-basi. Dan pertanyaan itu langsung membuat wajah Rizal kaku. Lova tersenyum karena tidak ada jawaban dari Rizal yang sepertinya terkejut.
“Tapi maaf, Mas. Gue lagi gak berminat buat ngejalin hubungan sama siapa pun saat ini.”
Lova sangat sadar dengan ucapannya. Lova hanya tidak ingin Rizal terus merasakan ada harapan yang Lova berikan saat mereka saling memperhatikan satu sama lain sebagai teman satu devisi.
Terdengar kekehan dari Rizal. “Jadi aku ditolak sebelum menyatakan suka?” Lova hanya diam dengan senyum tipisnya. “Ini kenapa aku gak pernah mau ngungkapin perasaan ke kamu. Karena sangat yakin kalo kamu menolak.”
“Udah terlalu menyenangkan jadiin lo sebagai rekan kerja, Mas. Gue rasa hubungan kayak gitu jauh lebih baik dari pada harus pacaran yang akhirnya bisa aja putus. Lagian, kita udah gak semuda itu buat hubungan yang masih berpotensi buat putus nyambung.”
Lova merasakan tepukan pelan di bahunya. Senyuman Rizal memenuhi penglihatannya saat ini.
“Aku ngerti kok. Lagian aku gak mau kehilangan kamu sebagai teman.”
Mereka berbagi tatap dan terkekeh bersama. Lova yakin, Rizal adalah laki-laki dewasa yang bisa menata hatinya sendiri untuk bersikap seperti biasa setelah kejadian ini.
~.~.~.~
Helaan terdengar dari pria yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur besar itu.
Mata pria dengan rambut yang sedikit basah itu memejam. Meski sedikit lelah karena harus berkeliling gedung perusahaan penerbitan yang baru saja dipimpinnya, Alder merasa sangat puas karena sudah menemukan gadis yang dicarinya selama ini.
Kedua sudut bibir Alder terangkat. Langit-langit kamar berwarna coklat tua itu memenuhi penglihatannya setelah membuka mata.
Bayangan sosok wajah mungil yang tadi pagi ditemuinya kembali berkelebat. Lalu kejadian lamaran yang dia lakukan di pasar seolah tereka ulang di depannya.
Alder tidak menyesal kembali bertemu dengan gadis itu meski lamarannya tidak diterima. Seperti itulah yang seharusnya laki-laki hadapi. Tak ada yang mudah jika menyangkut kehidupan. Tapi sebagai manusia, terkhusus laki-laki, kesulitan akan membuatnya menjadi lebih kuat.
Juga, bagaimana mungkin Alder menyesal jika kembali bertemu dengan perempuan yang memang selama ini dia cari?
Tak ada yang kebetulan. Alder sangat percaya bagaimana takdir turut campur dipertemuannya dan Lova. Mengingat banyaknya usaha yang dia lakukan untuk menemukan gadis itu, rasanya kata kebetulan terdengar terlalu sepele.
Sebab usaha tak akan mengkhianati hasil. Wajah perempuan itu kembali bisa dilihatnya dengan nyata. Lova menyambutnya dengan ekspresi kesal, memberengut, juga terkejut. Alder sangat menyukai sambutan itu.
Memang terlihat sedikit memaksa karena tanpa berpikir Alder langsung membeli hampir seluruh saham di perusahaan penerbitan itu saat mengetahui Lova bekerja di sana. Tak ada tujuan lain selain untuk bertemu setiap hari dengan gadis itu. Memperbanyak kesempatan untuk melamar Lova, lagi dan lagi.
Tak akan mudah, dan Alder tahu benar akan seperti itu.
Ah benar! Sebelum pergi ke gedung penerbitan, Alder sempat mampir ke rumah sakit milik sang ayah untuk mengantar beberapa berkas yang ayahnya titipkan. Kabar baik lainnya, Alder bertemu dengan Arnav, adik Lova yang ternyata sedang melaksanakan proses koas di rumah sakit milik keluarganya itu.
“Bang Arnav?”
Wajah pria di depannya itu berkerut, tanda dia tak lagi mengenali Alder yang menyapa. Alder tersenyum dan mengulurkan tangannya.
“Apa kabar, Bang?” tanya Alder setelah Arnav membalas jabatannya.
“Ba..ik,” jawab Arnav terdengar ragu.
“Gue Alder, Bang.” Alis Arnav mengernyit, masih mencoba mengingat. “Anak SMP yang dulu sering main ke kosan lo naik sepeda,” sambung Alder masih dengan senyuman.
Mata Arnav bergerak ke atas sesaat sebelum wajahnya berubah menjadi cerah. “Astaga ini beneran elo, Al?” tanya Arnav tak percaya.
Alder terkekeh. “Iya, ini gue, bang.”
“Udah gede lo sekarang, ganteng lagi. Ngapain ke sini? Ada yang sakit?” tanya Arnav menjadi terdengar akrab.
“Enggak, Bang. Cuma mau nganter berkas aja ke atas.” Alder menunjuk gedung paling atas di rumah sakit. Arnav hanya mengangguk, menyadari jika yang ditunjuk Alder adalah lantai tempat direktur utama berada. “Kerja di sini, Bang?”
“Oh, enggak. Maksudnya belum.” Arnav terkekeh karena kepercayaan dirinya. “Baru koas.”
Alder mengangguk. “Good luck ya, Bang. Gue ke atas dulu. Habis ini masih ada kerjaan lain soalnya.”
“Oh iya, iya. See you, Al.” Alder hanya tersenyum lebar sambil berlalu meninggalkan Arnav.
Satu hal yang membuatnya bahagia saat bertemu dengan Arnav di rumah sakit, suatu saat dia tidak perlu mengandalkan orang lain untuk mengelola rumah sakit milik keluarganya kepada orang lain seperti yang ayahnya lakukan saat ini.
Sebab jika Alder menikah dengan Lova nantinya, Arnav sudah sangat tepat untuk menjadi direktur dan dipercaya memimpin rumah sakit keluarganya.
Alder tertawa kecil, menyadari jika pikirannya sudah terpenuhi dengan bayangan hidup bersama sosok cantik bernama Arlova Zemira.
***