Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

DOKUMEN MASA LALU

Lova menguap lebar dengan baju kemeja berwarna biru tua yang di masukkan asal ke dalam paduan celana putih yang sedikit longgar. Setelah sedikit bertengkar dengan Arnav yang mengantarnya pagi ini, Lova berjalan menuju gedung tempat dia bekerja.

Lova menyisir rambutnya dengan jari setelah sampai di pintu lift. Segera gadis itu masuk setelah lift kosong terbuka. Seseorang menahan pintu lift yang hampir tertutup.

“Morning, calon istri.”

Mata Lova melebar. Alder masuk ke dalam lift dengan kemeja slimfit berwarna biru tua yang lengannya di lipat hingga ke siku. Lova langsung mengambil jarak dan berdiri di sudut lift sempit itu.

“Kita beneran jodoh, deh.” Lova hanya melihat ke arah Alder yang tersenyum menatapnya. “Baju aja sampe samaan.”

Bola mata gadis itu berputar jengah. “Selamat pagi, pak Alder.” Lova menunduk sekilas dengan malas-malasan mengucapkan salam pagi hari.

Alder terkekeh. “Bukannya aku nyuruh buat manggil mas atau Alder aja?”

Dan Lova pura-pura tidak mendengar ucapan pria di sampingnya itu. Namun sebuah pergerakan Lova rasakan, membuat kepalanya menoleh otomatis.

Pria dengan wangi apel itu mendekatinya. Berdiri tepat di depan tubuh irit Lova.

Gadis dengan hidung setengah itu menahan napasnya saat merasakan tangan Alder mengusap kepalanya dan merapikan dengan lembut anak rambutnya.

Lova mendongak. Mencari mata pria yang sekarang bahkan tidak luput melihat wajahnya dengan senyuman.

“Aku selalu suka liat kamu berantakan kayak gini. Keliatan sexy.” Lova menyipitkan matanya. “Mengajar dan menjadi guru kayaknya emang gak cocok buat kamu. Terlalu rapi dan tertata.”

Dengusan keluar dari pernapasan Lova. Gadis itu sadar betul jika Alder sedang mengoloknya sekarang.

“Mending jauh-jauh deh dari gue. Sebelum gue beneran nendang itu titit lo dan di benci sama seluruh fans lo di gedung ini.” Lova berkata sebal.

Ting.

Kekehan Alder terdengar bertepatan dengan suara lift yang terbuka. Segera Lova beranjak dari tempatnya berdiri untuk menghindari Alder.

“Eh, Lova.” Tidak lagi dihiraukan suara Alder yang berkali-kali memanggil.

~.~.~.~

Lova menghempaskan tubuhnya di kursi. Menyandarkan kepalanya dengan mata tertutup.

“Gue gak mau negur lo. Muka begitu pasti lagi badmood.”

“Lo emang paling ngerti gue, Eve.”

“Pagi itu harusnya dateng kerja dengan senyuman dan wajah cerah. Bukan muka kusut sampe keriput gitu kayak nini-nini.”

“Oke, Evelyn. Lo gak negur gue sih, tapi lo nyeramahin.”

Evelyn hanya terkekeh melihat Lova yang mulai menghidupkan komputernya.

“Ketemu Alder lagi, Lov?”

Lova hanya mengangguk. Mengetahui jika Evelyn mengintip ke arahnya dari meja kerja mereka yang bersebelahan.

“Terima aja sih, Lov.”

Gadis bermata bulat itu melihat ke arah Evelyn dengan wajah dingin. “Mending gak usah ngomong sama gue deh, Eve.”

Evelyn menaikkan sudut bibir atasnya dengan wajah kesal. “Perawan tua mah mood nya kagak bisa di tolong.”

Lova hanya menghela napas dan kembali dengan komputernya. Menyelesaikan terjemahaan yang ditekati akan selesai akhir bulan ini. Demi bonus dua kali lipat yang dijanjikan Gustian.

“Tapi beneran lo gak suka sama si Alder, Lov? Bocah ganteng begitu.” Suara Evelyn kembali terdengar.

Lova meletakkan penanya ke atas meja dengan kuat. Menghasilkan suara yang membuat Evelyn terlonjak karena kaget.

“Lo suka sama si Alder? Ambil gih.”

“Idih, kagak. Gue cuma pecinta cowok ganteng, ya. Mengagumi ciptaan Tuhan itu gak ada salahnya, tauk.”

“Terus ngebet banget biar gue sama si Alder kenapa coba?”

Wajah Evelyn berubah menjadi malu-malu. Melirik ke arah sekat kaca di belakang Lova yang langsung mengerti dan ikut melihat. Jelas bahwa meja Rizal berada tepat di seberang belakang meja Lova.

“Lo suka sama Mas Rizal?” Lova berteriak lirih dengan mata melebar sempurna. Si perawan telat menikah yang sama dengan Lova itu mengangguk sambil tersenyum malu. “Sejak kapan?” Dengan wajah cerah Lova meraih lengan Evelyn.

“Sejak lama banget, Lov. Dari pertama kita masuk di kantor ini.”

“Kok baru sekarang sih ngomongnya ke gue?”

“Semua orang juga tahu kali, Lov, kalo si Rizal suka sama lo. Tapi dasarnya aja lo gak peka.”

Lova tersenyum tipis. “Lo takut di tolak Rizal?”

“Bukan gitu, Lov. Gue nyangkanya lo berdua udah jadian. Setelah gue denger cerita lo soal Alder, gue rasa lo lagi gak punya hubungan sama siapa-siapa. Makanya gue berani ngomong.”

Diraihnya tangan Evelyn dengan senyuman seorang sahabat.

“Eve. Gue gak punya perasaan apa-apa sama Rizal. Dan gue gak akan pernah nerima perasaan Rizal ke gue. Gue bakal dukung banget kalo lo sama Rizal bisa jadian.”

Wajah Evelyn terlihat semakin cerah. “Tapi gak mungkinkan gue ngomong suka duluan?”

“Apa salahnya? Emansipasi wanita, euy. Seengaknya mencoba, kan?”

“Kalo gue ditolak?”

“Coba lagi. Ditolak lagi, ya coba lagi. Nah kalo usaha yang ketiga ditolak juga, tinggalin! Lo cantik, masih ada Rizal-Rizal lain di luar sana.”

Evelyn tersenyum puas. “Gak rugi punya temen gak waras kayak lo, Lov.”

“Biarin gak waras, yang penting cantik.”

“Iya cantik banget. Tapi masih jadi perawan tua telat nikah.”

“Shit!”

~.~.~.~

Lova menguap lebar untuk kesekian kalinya hari ini.

Jam setengah sepuluh malam. Tapi Lova masih berkutat dengan komputer dan novel terjemahaannya. Selain demi bonus dua kali lipat akhir bulan ini, Lova juga masih malas untuk pulang karena Arnav akan menginap di rumah sakit.

Meskipun tidak pernah akur, tapi Lova tidak akan mengelak jika dia sangat menyayangi Arnav dalam situasi apa pun. Tanpa Arnav di kontrakkan pas-pasan mereka, pasti akan sangat sepi.

“Ngelembur lagi, mbak?”

Suara itu membuat Lova menoleh, lalu mengangguk dengan senyuman. Bagas sudah terlihat hendak pulang dengan ransel di punggungnya.

“Gue mau pulang, nih. Ikut gak?”

“Gak deh, Bag. Gue mau siapin se-chapter lagi ini kerjaan.”

“Terus pulangnya?”

“Bisa naik ojol.”

Bagas mengangguk mengerti. “Ya udah kalo gitu. Nih kopi sama mineral. Banyakin minum kalo ngeliat komputer terus.”

“Wooo.” Lova melihat ke arah Bagas dengan wajah lucu yang dibuat-buat. “Bagas udah gede.”

“Lo aja yang tua, mbak. Gue mah udah gede lama.” Bagas membalas dengan nada malas.

“Untung gue lagi good mood. Jadi gak bakal jambak lo karena udah bilang gue tua.” Lova tersenyum sambil membuka penutup botol kopi yang Bagas berikan.

Bagas menggeleng. “Gue pulang, ya.”

Lova hanya melambaikan tangannya dan kembali fokus dengan komputer setelah menghabiskan setengah isi dari botol kopi.

Ruangan menjadi sangat sunyi setelah Bagas menghilang di balik pintu. Lova menyalakan lagu acak yang ada di komputernya, sekedar penghilang penat karena tumpukkan dua bahasa yang berbeda di depannya saat ini.

“Ada yang ketinggalan, Bag?” Lova berteriak sesaat setelah mendengar suara pintu terbuka. Matanya tetap fokus pada komputer.

Belum ada jawaban, tapi Lova merasakan seseorang mendekatinya dan Lova masih sangat yakin bahwa orang itu adalah Bagas.

Tapi Lova terdiam kemudian, mencium bau apel yang menyeruak di penciuman saat seseorang menarik kursi dan duduk tepat di sampingnya. Gadis berusia 34 tahun itu tidak lagi meyakini bahwa orang itu adalah Bagas.

“Ngelembur terus, sayang?”

Benar saja. Suara yang sekarang terdengar berat itu menyapanya. Lova langsung menoleh dan mendapati senyuman hangat dari pria berbaju senada dengannya hari ini.

“Lo lagi! Ngapain sih?” Lova langsung membalas dengan sikap ketusnya. Bola mata Lova berputar malas saat mendengar kekehan dari pria itu.

“Aku bosnya, ya terserah dong.”

Salahkan Lova jika dia lupa bahwa pria tampan itu sudah menjadi bos di tempatnya bekerja sejak kemarin.

“Maaf ya, Bos. Saya lagi ngelembur dan ini udah malem. Lebih baik bos pulang dan bobok ganteng biar besok bisa dateng kerja dengan wajah fresh.”

“Perhatian banget.”

Lova mendengus. Sedang pria dengan rambut kecoklatan itu masih dengan setia tersenyum ke arahnya. Lova menarik tubuhnya setelah merasakan lengan kokoh itu terulur dan terparkir tepat di atas meja.

“Kamu tahu kalo ini udah malem, kenapa masih di sini?”

Kepala yang menampilkan wajah tampan itu bersandar sempurna di telapak tangan dengan siku di meja kerja Lova.

“Yang butuh waktu lebih buat istirahat itu harusnya kamu.”

Kenapa? Kenapa suara itu terdengar sangat maskulin di telinga Lova? Suara yang tiba-tiba saja membuat jantungnya berdetak tak karuan.

“Ini dua novel dapet bonus tambahan dua kali lipat kalo selesai akhir bulan ini loh, Bos.”

“Aku bisa kasih sepuluh kali lipat asal kamu pulang sekarang dan istirahat.” Alder meraih tangan Lova untuk menjauhkan dari atas keyboard.

Demi sate padang uda-uda di depan kantor, Lova merasakan hangat di sekujur tubuhnya saat ini.

“Dan panggil aku Alder. Sama seperti dulu kamu manggil nama aku.”

Lova menelan salivanya. Tangan Alder menggenggam lembut kedua tangan mungilnya.

Anjir. Kenapa gue diem aja digrepe-grepe sama nih bocah?

“Lova, kenapa?”

Wagelaseh ini suaranya kenapa jadi lembut banget kayak ulet sutra?

“Aku gak mau kamu sakit.”

“Al.”

“Iya?” Senyuman itu mampu membuat dada Lova sakit karena menahan debaran jantungnya yang hendak meloncat keluar.

“Kamu kenapa sih jadi kayak gini? Kamu sadar kan aku ini siapa?”

Alder mengangguk mantap. “Arlova Zemira. Si lagu cinta yang seminggu lalu nolak lamaran aku.”

Jawaban itu berhasil membuat Lova mendengus.

“Al, kamu itu cuma anak-anak yang belum ngerti seberapa besarnya tanggung jawab menjadi seorang suami. Dan pilihan kamu adalah perawan tua kayak aku. Kamu gak mungkin bisa nanggung semua omongan buruk dari orang-orang karena menikahi perempuan dua belas tahun lebih tua dari pada kamu. Dan siapa pun yang tahu soal tujuh tahun lalu, bakal ngira kalo aku ini pedofil yang iya-iya aja di nikahi sama pria muda kayak kamu.”

Alder diam. Membiarkan Lova larut dengan kekhawatiran yang selama ini di pikirkannya setelah lamaran tak terduga dari Alder.

“Demi tujuh tahun lalu. Aku mohon lupain semuanya.”

Alder menggeleng. Menolak mentah-mentah dengan apa yang Lova minta.

“Karena itu kamu harus coba. Mencoba memulai hubungan sama aku. Kita lihat, seberapa kuatnya perlindungan dari pria yang kamu sebut anak-anak ini.”

Lova menatap lekat ke manik Alder. Mencoba mencari kebohongan di sana. Dan Lova mendapatkan sebaliknya. Keseriusan tergambar jelas di bola mata itu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel