Bab 5 Bibit Rasa
Bab 5 Bibit Rasa
"Kamu tahu tidak, Pak Alan memuji kamu," ujar Sandra.
"Ngomong apa?" tanya Anindya.
"Kamu pintar, cekatan, dan dia juga bilang ternyata penampilan dan pemikiranmu seimbang."
"Seimbang?"
"Biasalah, dia terlalu banyak bertemu wanita cantik tetapi otaknya kosong," jelas Sandra.
Anindya tidak pernah memperhatikan Alan sama sekali, dari awal mereka bertemu pembicaraan hanya seputar pekerjaan. Ia juga berbicara apa adanya, dan saat mereka menawarkan produk baru, Anindya merasa ia banyak memberikan pertanyaan jebakan. Untungnya Alan sangat menguasai produk, sehingga bisa menjawab semua pertanyaan tersebut dengan meyakinkan.
Produk baru yang digunakan oleh perusahaan Anindya membuat ia harus belajar dari awal tentang penerapannya. Ia yang mudah paham dengan mudah menerapkan produk tersebut, bahkan atasannya, Daniel yang belajar dari Anindya. Bisa dibilang penerapan produk baru adalah awal-mula mereka sering bertemu.
*
"Aduh, Sya, kamu bisa tidak?" tanya Daniel pada Ratasya, stafnya.
"Kemarin diajarin Anindya seperti ini, Pak."
"Kamu kurang paham? Kok bisa sampai salah?"
"Saya paham, Pak. Maaf jika saya kurang teliti," jawab sedih Ratasya.
"Sudah, panggil saja Anindya," ujar Daniel kesal.
Ratasya pergi meninggalkan ruangan Daniel. Ia menunduk lemas karena laporannya yang salah. Dengan berkaca ia menghadap Anindya untuk menyampaikan pesan Daniel. Anindya melihat wajah Ratasya yang murung.
"Kamu gak pa-pa?" tanya Anindya.
"Tidak, sebaiknya kamu bergegas, nanti dia bisa marah lagi," ujar Ratasya.
Anindya yang panik karena situasi itu bergegas menbawa berkas, dan menemui Daniel. Ia sempat khawatir karena suasana hati Daniel yang kurang baik akan berdampak juga saat mereview klaporan miliknya. Namun, ia tetap tenang, dan yakin laporannya tidak ada yang salah kali ini.
Ia mengetok pintu, menarik nafas panjang, dan masuk. Ia meletakan laporan di atas meja Daniel. Wajah Daniel yang masam, dengan dahi yang mengkerut, membuat Anindya merasa tertekan. Ia berusaha tenang dengan mengepalkan kedua tangannya di depan.
Perlahan wajah Daniel berubah. Ia yang melihat laporan dengan detail satu per satu mulai terlihat senang. Kerutan di dahinya juga mulai menghilang. Terlihat ia ingin tersenyum namun tertahan oleh kewibawaan sebagai seorang atasan.
"Sudah oke," kamu bisa keluar.
"Terima kasih, Pak." Anindya keluar dari rungan, dengan menutup pintu perlahan.
Anindya menghembuskan nafas lega. Ia merasa heran, cepat juga suasana hati atasannya berubah. Apapun alasan suasanya hatinya berubah itu tidak masalah, yang penting Anindya selamat dari amukan sang atasan.
*
Bulan pertama perusahaan Anindya menggunakan produk baru dari Bank B berjalan cukup lancar. Pada bulan pertama ini Bank B melakukan kunjungan untuk melihat feedback dari penggunaan yang sudah berjalan. Kali ini Alan kembali bertemu dengan Daniel.
Alan membuat janji langsung dengan Daniel, dan janjian bertemu sebelum makan siang. Relasi mereka semakin baik, obrolan mereka pun merambat bukan hanya tentang pekerjaan saja. Kali ini entah dari mana datangnya, Alan mulai membahas Anindya.
"Bagaimana kinerja Anindya sebagai staf keuangan?" tanya Alan.
"Bagus, ia sangat teliti," jawab Daniel.
"Dia cepat belajar, juga cakap berbicara, wanita yang kompeten," ujar Alan.
"Ya, itu menang benar."
"Sepertinya dia lebih cocok di tempatkan pada bagian marketing. Kecakapannya akan membantu perusahaan," ujar Alan.
Dari perbincangan itu Daniel mulai berpikir, ia tidak bisa melepas Anindya begitu saja. Staf lainnya kurang bisa diandalkan, memubuat Daniel sulit melepaskan Anindya dari posisinya. Juga, banyak hal yang Anindya kuasai yang staf lain tidak kuasai.
*
Anindya mulai masuk ke ruangan Daniel. Kali ini Daniel tampak berpikir menatap ke arah kertas-kertas di atas meja. Perlahan ia melihat Anindya.
"Kamu sudah di sini?" ujar Daniel.
"I ... iya, Pak. Ada apa ya, Pak, memanggil saya?" tanya Anindya.
"Laporan sudah disiapkan?"
"Bukankah sudah saya kasih tiga hari yang lalu, Pak?" jawab Anindya.
Daniel menghela nafas panjang. "Jangan takut, duduk, duduk. Bukan itu kok maksud saya memanggil kamu."
Anindya merasa lega. Jantungnya yang hampir jatuh kembali lagi ke posisi semula. Ia memberikan senyuman kepada Daniel.
"Kamu berminat menjadi marketing?" tanya Daniel.
"Saya sudah nyaman di posisi ini, Pak, dan sesuai dengan latar belakang saya," jawab Anindya.
Daniel hanya berbasa-basi menanyakan hal ini. Ia lega Anindya tidak menerima tawarannya itu. Entah memang karena Anindya tidak mau, atau ia segan kepada Daniel.
*
Hujan cukup deras, sangat kebetulan dengan kondisi Anindya yang tidak membawa kendaraan. Ia harus menunggu hujan sedikit reda. Ia bisa saja memanggil taxi, namun di cuaca seperti ini tidak baik berkendara. Hujannya cukup mengerikan, bahaya jika dipaksa pulang.
Anindya duduk di loby kantor, sembari memainkan Hp-nya. Kebetulan Daniel baru saja turun dari lantai kantornya. Ia melihat Anindya duduk di sofa lobby, dengan basa-basi ia mengajak Anindya berbicara.
"Gak pulang?" tanya Daniel.
"Hujan cukup deras, bahaya jika berkendara. Juga, saya tidak membawa kendaraan, Pak," jawab Anindya.
"Saya antar saja, bagaimana?" ujar Daniel.
"Tidak usah, Pak, saya naik taxi saja." Anindya merasa tidak enak dengan tawaran Daniel. Bukan hanya karena masih dalam kantor, namun juga karena Daniel adalah atasannya.
Hujan sudah mulai reda ia mencoba mencari taxi di sekitar kantor. Anindya pun berpamitan dengan Daniel. Menghindar adalah hal yang paling baik bagi Anindya.
Sikap Anindya membuat Daniel penasaran. Dia beda dengan staf lainnya, atau bahkan wanita lainnya. Rasa penasaran Daniel membuatnya ingin mengetahui banyak tentang Anindya, dan latar belakangnya lebih jauh.
*
Keesokan harinya, Daniel kembali dihadapkan dengan situasi yang membuatnya tidak enak hati. Laporan yang tidak teliti membuatnya harus bekerja lembur mencari perhitungan yang kurang. Satu divisi terkena imbasnya, termasuk dengan Anindya.
"Vi, aku minta maaf kita harus batal pergi malam ini," ujar Anindya pada Vivi yang sudah janjian akan menonton bersama. Ia berbicara dengan sangat pelan agar tidak terdengar oleh atasannya yang sedang tidak enak hati.
"Ya sudah, mau bagaimana lagi. Bosmu sensitif sekali," ujar Vivi.
Anindya memejamkan matanya, ia berusaha tenang, dan berdoa pada Tuhan. Ia kembali mengerjakan laporan yang telah ditujukan kepadanya. Si pembuat masalah hanya bisa menangis, dan bercerita kepada Anindya.
Satu per satu data Anindya perhatikan, ia mencoba yang terbaik yang bisa ia lakukan. Semua harus selesai maka ia akan cepat pulang. Anindya tidak memikirkan orang lain lagi.
"Aku sudah muak!" gumam Anindya sambari membanting kertas-kertas yang ada di hadapannya. Semua mata tertuju pada Anindya yang tampak kesal. Tersadar dengan tingkahnya, ia beri senyuman kepada seluruh orang yang satu ruangan dengannya.
"Selesai!" teriak Ratasya.
"Teliti dulu, kami tidak pulang karena kamu," ujar Anindya.
Semangat Ratasya dipatahkan oleh Anindya yang sudah cukup kesal. Anindya pun selesai memeriksa laporan yang ditujukan kepadanya. Dengan perasaan kesal ia mengambil laporan milik Ratasya dan memeriksanya. Ternyata laporan itu sudah benar, dan akhirnya mereka semua dibolehkan pulang.
Anindya yang paling terakhir pulang karena membereskan semua barang yang ada di mejanya. Daniel memperhatikan dari dalam ruangannya. Wajah cemberut Anindya membuatnya ingin mendekati gadis cantik itu. Daniel mencoba menegur, dan menawarkan tumpangan.
"Sudah malam, aku antar pulang saja," ujar Daniel.
"Apakah ini bentuk dari permintaan maaf?" ujar Anindya.
"Anggap saja seperti itu."
"Tidak usah, saya bawa mobil," ujar Anindya dan berlalu meninggalkan atasannya yang saat itu menurutnya menyebalkan.
Daniel tertawa dan berbalik melihat Anindya yang berlalu dengan wajah cemberutnya. Sudah lama ia tidak melihat gadis cantik yang kesal. Baru kali ini pula ia ditolak oleh wanita, dan itu membuatnya semakin penasaran dengan Anindya yang cerdas dan unik.
Reaksi Anindya kali ini membuat Daniel cukup terkejut. Sebelumnya, Daniel memberikan banyak laporan hingga Anindya lembur, namun tak pernah melihat ungkapan perasaannya seperti ini. Sekarang, Anindya meluapkannya karena hanya mereka berdua di ruangan tersebut.
Tak sadar Daniel terus memikirkan Anindya yang menolaknya. Pembawaan gadis itu menimbulkan perasaan yang berbeda. Daniel menyadari ia bukan hanya tertarik pada Anindya, tapi juga mulai menaruh hati padanya.