BAB 7 - Lie
Rafka berbalik, meninggalkan pekarangan rumah Vanya lalu masuk kedalam mobil sport miliknya, pikirannya yang kacau di sebabkan oleh Vanya, ia langsung mengepal tangannya memukul jendela kaca mobilnya hingga retak tapi tidak hancur.
Dia tidak menyangka wanita baik berjiwa rohani seperti Vanya bisa rusak karena bersekolah di weslan. Siapa laki-laki itu? Apa mereka bertemu di acara pesta, atau dia sudah memaksa Vanya melakukan hubungan suami istri. Kebohongan apa pun Vanya tidak akan bisa menyangkal tentang apa yang sudah terjadi.
Baju yang dia kenakan sekarang berbeda dari pertama dia lihat, aroma parfum pria ditubuhnya sampai tercium kuat dari indranya. Siapa kira-kira pria itu? Pria itu pasti sangat kayanya, dan anehnya kenapa mobil pria itu tidak memiliki plat nomor mobil, dia ingin mencari tahu, tapi sulit untuk melacaknya.
Vanya keluar dari kamar mandi, ia baru selesai membersihkan tubuhnya karna hari sudah larut malam. Saat dia akan tidur, Tiba-tiba saja lampu di dalam kamar menyala.
"Vanya kau pulang baru pulang di waktu subuh. Padahal Sasa bilang kau akan tidur dirumahnya, tapi kenapa kau malah disini?"
Vanya tidak menyangka ibunya tidur dikamarnya. Vanya bingung mau buat alasan apa. "Bu... aku pulang, karna tidak nyaman tidur dirumah orang lain. Maksudku, rumah sendiri lebih nyaman dari pada rumah orang lain-kan Bu. Yah begitulah kira-kira," bohonnya, ia menunduk, dia bersalah. Ini baru pertama kalinya dia terpaksa membohongi ibunya.
Bayangkan dilarut malam ia menghabiskan waktu bersamanya dengan Vano, dan hanya duduk diam diatas pangkuan Vano hanya untuk mendengar curhatan tentang masa lalunya dulu.
Jujur sih Vanya sangat bosan mendengar Vano curhat, karna yang dibahas Vano selalu saja di putar-putar, dia ingin pergi, tapi dia merasa tidak enak hati padanya. Memang membuang waktu malamnya saja.
"Bu, aku sudah mengantuk maaf." Ia sengaja menghindarinya, ia takut ibunya bertanya panjang lebar lagi, dan membuatnya harus berbohong lagi.
*
*
*
Vano melangkah santai masuk kedalam rumahnya sambil bersiul, jemarinya telunjuknya terus saja memutar-mutar gantungan kunci mobilnya.
Prok... Prokk... Prok...
Suara tepuk tangan Revano, Dion dan Yustine terdengar diruang tamu. Brian berdiri menyambut kedatangan Vano. Vano sendiri melempar kunci mobilnya tepat di tangan Brian.
"Wow... Van, aku mau bilang apa lagi, kau sangat pintar berekting, kau hebat membuat cerita yang tidak masuk akal, padahal kau sendiri yang melukai dirimu seperti itu." Brian menunjuk perut Vano yang tertutup Baju kaos hitam lengan panjang.
Yustin tertawa. "Ini permainan gila, hanya seorang gadis biasa saja dia sampai sejauh ini merencanakan semuanya dari awalnya. Lihat! Kau tega melibatkan kami semua disini, kami digigit nyamuk ditempat persembunyian."
Dion mengangkat kakinya diatas meja. "Vano memang sudah gila, yang lucu lagi dia di katakan pada Vanya bahwa dia mencari teman hanya bermodal wajah tampan saja. Dia hanya anak culun yang terus di tindas oleh orang."
"Padahal Kenyataannya itu sangatlah jauh berbeda Dengan kata kata manisnya yang mengandung racun mematikan. Kau memang penjahat Vano, apa bagusnya gadis itu. Cantik juga tidak, kaya juga tidak, dia terlihat kampungan," ucap Revano menghina Vanya.
Brian menghela napas, ia menyalakan pematik api, lalu menyodorkan api yang menyala itu ke puntung rokok Vano yang sudah di berada di bibirnya.
"Bagaimana jika gadis malang itu mengatahui semua perbuatanmu ini padanya Van, kau menipunya, ia pasti akan menganggapmu bajingan klaster" Brian langsung melempar pematik api di atas meja.
Vano menyilangkan kakinya lalu menyesap kuat-kuat rokoknya lalu menghembuskannya di udara. "Ayolah, ini hanya permainan, aku tidaklah serius dengannya. Setidaknya setelah dia sukarela memberikan tubuhnya padaku. I will leave it and menganggapnya seperti gadis sampah murahan," ucapnya tidak berperasaan.
"Now problem, jika aku jadi kau, aku akan memperkosanya. Memperkosanya menutup mulutnya dengan uangku," saran jahat Dion.
Vano tersenyum selicik-liciknya.
"Kalian tidak tau siapa dia sebenarnya." Vano menghembuskan asap rokoknya lagi.
Revano bicara, "Aku kira dia dari keluarga baik-baik."
Vano melanjutkan bicaranya, "Bukankah sangat menyenangkan bermain-main dengan gadis yang sudah mempunyai tunangan sejak kecil. Ah tidak tunangan plus sahabat rupanya Hahaha..." Vano tersenyum lebar sampai mata tenggelam.
Brian menyipitkan matanya dia seperti mengatahui sesuatu. Ia menuang minuman botol mengandung alkohol di dalam gelasnya yang tinggi, lalu memberinya pada Vano. "Aku kira kau punya maksud lain lagi. Ini seperti kau menaruh dendam pada seseorang."
Vano menggesekkan giginya sampai ngilu. "Yah aku mamang marah, aku ingin melihatnya hancur sama seperti yang lainnya."
"Jujur aku semakin tidak paham dengan dirimu ini Vano. You crazy"
"Aku kira kau mencintainya Van, I guessed wrong. "
***
"Vanya buka pintunya! Ini aku Sasa." Gedor-gedor Sasa dipagi hari.
Vanya menatap jam dinding pukul 6 pagi. 'Ya ampun, ini hari libur dan masih pagi―buat apa Sasa ribut-ribut di rumahku?" gumam Vanya.
Vanya membuka pintu kamar, Sasa langsung saja mendorongnya untuk menjauh dari pintu, itu karna Sasa lansung menutup pintu kamar lalu menguncinya.
"Ada apa sasa, kau menggangguku di hari libur." Vanya menguap, masih ngantuk.
Sasa meremas bahu Vanya. "Vanya kau harus katakan, apa yang terjadi semalam?! Kau tau, aku sampai sekarang tidak bisa tidur karna memikirkanmu."
"Sasa aku baik-baik saja." Vanya berputar perlihatkan tubuhnya.
"Ia aku tau kau baik saja, Rafka sudah beritahukan. Hanya saja kenapa kau bisa bersama laki laki-lain di mobil."
"Jika kau sudah tau itu, kenapa kau masih bertanya lagi padaku?" ucapnya enteng.
Mata sasa berkaca-kaca. "Vanya apa kau semalam di perkosa? Maafkan aku Vanya! Ini semua salahku, andaikan saja aku tidak membawamu ikut bersamaku,."
Vanya terkejut bukan main, tubuhnya mematung, Sasa salah paham padanya. Vanya langsung saja menarik tangan Sasa untuk duduk di atas tempat tidurnya. "Sasa apa yang kau katakan barusan itu salah, aku tidak di perkosa," hardiknya.
"Apa kau di-culik?"
Vanya membuat tanda silang. "Tidak! Dengarkan aku, aku akan cerita padamu."
Sasa menghapus air matanya lalu mendengarkan Vanya serius bercerita, tapi Vanya tidak katakan itu adalah Pavlo.
"Siapa dia?" penasaran Sasa.
Vanya berjalan membuka jendelanya. Ia memikirkan kejadian semalam tentang Vano, ia juga merasakan hal yang sama dengan Sasa. Kenapa bisa Cctv tidak sama sekali menyorotinya, penjagaan di rumah Zura juga menghilang tiba-tiba saat Vanya menemukan Vano bersimbah darah. Memang ada yang aneh disini.
Sasa menyentuh bahu Vanya.
Vanya tersentak kaget, jantungnya berpacu kencang.
"Vanya jika kau tidak tau namanya, kau bisa beri tahukan, bagaimana ciri-ciri orang itu, aku sangat tau yang menghadiri acara itu bukanlah orang biasa yang datang. Aku yakin, aku dan Vano pasti mengenalinya."
Vanya meremas baju tidurnya. Dia sudah berjanji pada Vano untuk tidak mengatakannya. "Maaf Sasa, aku tidak bisa."
"Vanya..." Sasa melepas tangannya dari bahu Vanya, dia kira Vanya akan beritahukan padanya, ternyata dia menyembunyikannya.
Vanya keluar dari kamarnya, meninggalkan sasa yang mematung.
'Maafkan aku Rafka, aku sudah berusaha, namun Vanya sendiri tidak ingin beritahukan, dia merahasiakannya.' Sasa berbalik menatap keluar jendela rumah, ia kecewa pada Vanya.