BAB 8 - Your Cruelty
Rafka yang berada di ruang kerjanya menuliskan puisi dibuku diarynya, tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka tanpa ketukan permisi. Rafka terkejut buru-buru menutup buku diary. Dia tidak ingin seseorang melihat buku diary puisinya.
Sasa langsung saja duduk berhadapan di meja pembatas dengan Rafka dengan wajahnya yang terlihat lesu. Menatap Rafka.
"Ada apa, kau membuatku kaget?"
Rafka membenarkan cara duduknya, kedua telapak tangannya saling menyatu tepat berada di atas meja. Sasa menceritakan apa yang di katakan Vanya, tidak kurang dan tidak lebih. Rafka yang mendengarnya hanya bisa menyimpulkannya.
~~~
Hari minggu seperti biasanya mayoritas inggris akan memilih beribadah pada Tuhannya, gereja kini dipenuhi oleh orang-orang yang berhati rohani, temasuk Vanya dan keluarganya. Vanya yang berdiri mengikuti instruksi pendeta untuk menyanyi, dia merasa ada seseorang yang menempati kursi panjangnya di sebelahnya.
Vanya melirik kesamping. "Rafka..." bisik Vanya padanya.
"Beribadah itu wajib," jelasnya berbisik balik.
Vanya mengacungnya jempolnya.
Rafka berbisik kembali, "Apakah kau menyukaiku?"
"Yah aku suka, Rafka yang taat beribadah dan berhati mulia." Vanya melanjutkan nyanyiannya.
Rafka sendiri diam-diam melirik Vanya. 'Aku berharap kau mencintaiku Vanya, apa pun yang terjadi aku tetap akan menikahi mu suatu saat nanti,' doa Rafka memejamkan matanya.
Sepulang dari ibadah. Rafka, Sasa dan Vanya mampir kesebuah toko buku. Mereka ingin membeli beberapa buku.
Vanya melihat buku bersampul hitam, dan itu membuatnya tertarik untuk membacanya. "Ini seumur hidup ku, ingin membaca novel karya Catherine Cung. Selama ini keluargaku melarangku membaca buku yang ada kaitannya tentang criminal, kekerasan, dan juga pembunuhan. Tapi setidaknya sekali-kalilah aku membacanya, paling aku baca ini di sekolah," katanya pada Sasa.
Sasa mendekat rapat padanya. "Emang judulnya apa?" Sasa mengambil novel itu ditangan Vanya untuk membuang rasa penasarannya. "YOU DEATH OF ME. Judulnya terdengar mengerikan, sampulnya juga sangat mengerikan, apa lagi dengan ceritanya, pastinya mengerikan." Bergidik ngeri Sasa.
Vanya merebut bukunya kembali. "Aku hanya fokus pada cerita percintaannya saja. Bukan adegan seramnya," omelnya.
Rafka muncul pada mereka yang tengah bicara. "Hai... apa kalian sudah cari buku yang kalian suka? Jika sudah, ayo kita kita bayar," ajaknya. Rafka tiba-tiba menarik tangan Vanya, namun Vanya sendiri menganggap itu hal biasa.
Sasa hanya tersenyum melihat adegan romantis di hadapannya, Sasa jadi merasa iri melihat mereka.
*
*
*
Bug! Bug! Bug!
Suara pukulan dan juga tendangan terdengar keras dalam ruang gelap.
"Ampun Tuan muda! Saya akan bertanggung jawab semuanya. Tolong jangan bunuh saya! Saya masih memiliki anak kecil kecil di rumah. Mereka masih butuh saya," melas Pria paru baya.
Vano meludahi wajah Pria itu yang berlutut pasrah dipenuhi luka lebam disekujur tubuhnya. "Saya tidak perduli. Bila perlu anak dan istrimu itu harus ikut mati bersama mu," ucapnya kejam.
"Hai, kalian, cepat bawa istri, dan anak penghianat ini," perintah Brian pada anak buahnya.
Pria setengah baya itu menangis meminta pengampunan, namun Vano lagi-lagi menendang hidungnya sampai keluar darah.
Vano menghempaskan bokongnya dikursi besarnya.
Pria yang sudah luka-luka itu berusaha menggapai sepatu Brian yang tengah berdiri di sampingnya. "Tuan, tolong selamatkan istri dan anak saya, ini hanya permohonan kecil sebelum saya mati." Pria itu terbatuk menahan sakit.
Brian menarik kakinya, ia berjongkok di hadapan pria itu yang tengah merangkak tidak bertenaga di hadapannya. "Sejak awal aku memang memberimu pekerjaan sebagai orang kepercayaanku, namun aku tidak menduga kau begitu berani menghianati Vano! Menggagalkan barang itu, melaporkan barang haram itu pada polisi BNN indonesia." Revano mengangkat dagu pria itu, untuk melihat matanya. "Kau hebat, sudah membuat kami rugi besar, ini bukan hanya masalah uang saja. Tapi anak buah kami yang mejalankan misinya di Negara Asing, harus tertangkap di Pelabuhan Tanjung Priuk." Brian menepuk-nepuk pipi pria itu sebelum melanjutkan bicaranya, "Akhirnya, 30 bawahanku harus di Eksekusi Mati Di Nusa Kambangan Indonesia, apa kau puas..." Brian berdiri dari Pria yang sudah membuat kesalahan besar.
Di waktu bersamaan istri pria setengah baya itu di seret bersama ke 2 putranya yang masih kecil.
"Ayah..." pekik 2 anak kecil menangis memeluk Ayahnya.
Istri pria itu beranikan diri menghadap Vano. Tubuhnya bergetar melihat wajah Vano yang sangar menatapnya tajam, seakan-akan melihat tatapannya saja dia pasti akan mati tanpa alat bantu.
"Perkosa dia!" perintah Vano pada Dion dan juga yustin.
Wanita itu terkejut setengah mati, dia menjerit untuk melepaskan diri dari cengkraman anak buah Vano. Bagaimana bisa Vano sekejam itu pada wanita, sungguh ia tidak terima bila dia di perkosa di hadapan suami dan anak-anaknya yang masih berumur 7 tahun.
"TUAN, LEBIH BAIK SAYA MATI SAJA!" Tangisan wanita itu pecah memberontak saat bajunya terus ditarik-tarik.
Saat wanita itu akan memohon belas kasian, dia malah di terkam oleh Dion dan Yustine, mereka memperkosanya rame-rame tepat di hadapan suami dan anaknya. Suaminya yang membuat kesalah, hanya bisa menutup mata bersama Anaknya. Andaikan saja dia tidak berhianat mungkin keluarganya akan baik-baik saja saat ini.
Suara desahan mereka terus terdengar erotis dan nikmat di seluruh penjuru mansion itu. Penjaga cabul di setiap sudut rumah juga tidak bisa menahan hasratnya dan ingin ikut serta menikmati wanita tersebut, wanita-wanita pelayan yang bekerja di rumah Vano bukannya kasian, dia malah ikut merekam aksi gila mereka.
Vano yang berjiwa iblis tanpa hati nurani sangat menikmati teriakan desahan persetubuhan mereka tepat dihadapannya. Vano mengeluarkan batang kerasnya dan mengocoknya sendiri, ia tidak mau ikut serta melakukan hubungan sex, karena wanita itu bukanlah tipenya, ia hanya penonton penikmat saja disana
.
Anak kecil yang tidak kuat lagi menahan rintihan Ibunya, hanya bisa menangis memeluk ayahnya, ia tidak tega dan merasa sangat takut.
Vano yang merasa puas melihat adegan pemerkosaan itu, dia langsung saja mengeluarkan senjata api di balik jubah bulunya. Lalu menembak kepala wanita itu sampai isi kepalanya berserakan dimana-mana.
Vano juga menembak suami wanita tersebut saat memeluk erat kedua anaknya. Tidak hanya itu, Vano yang tanpa perasaan juga menembak kepala 2 anak kecil yang menangis takut melihat dirinya mengarahkan pistol pada mereka.
Revano yang tidak tega melihat jasad anak kecil itu, dia langsung saja menyuruh bawahannya untuk menguburkannya.
"Van... aku rasa ada orang lain yang sudah membantu penghianat ini," kata Revano yang memakai celananya kembali.
Vano sendiri menatapnya acuh tak acuh pada Revano yang mengajaknya bicara, dia tidak mau mendengar siapapun saat ini.
Sebenarnya Revano juga takut akan kemarahan Vano yang berjiwa iblis itu. Jika Vano kehilangan banyak uang, dan juga anak buahnya dia pasti akan murkah, dan siapa saja yang ia lihat dia pasti akan melimpahkan amarahnya itu pada orang tak bersalah.
Bayangkan saja, 100 karung sabu-sabu dan heroin di dalam mobil kontener langsung habis ditahan oleh polisi, bahkan mereka malah membakarnya sampai tidak tersisah lagi. Bagaimana Vano tidak stres sekarang.
Vano menenguk minuman botolnya sampai mabuk, tapi masih sadar. "Bawakan aku 2 artis cantik yang masih perawan untuk menuntaskan hasratku." Vano menaiki tangga berjalan tidak seimbang untuk menuju kamarnya.
~~~
Vanya tidak perna lagi melihat Vano selama sebulan di sekolah. Semua murid, guru, dan kepala sekolah tidak tau kemana keberadaannya. Vano menghilang bagaikan ditelan bumi, tidak ada satupun yang tahu.
Vanya dan Sasa sedang menikmati makan siang mereka. Pintu kantin tiba-tiba terbuka memperlihatkan Revano, Dion dan Yustin saja yang masuk ke dalam kantin.
'Kemana dia?' Vanya bertanya dalam hatinya.
Sasa yang sedari tadi memperhatikan Vanya, ia mulai bertanya, "Kenapa sebulan ini kau sering perhatikan mereka. Apa kau mencari Vano?"
"Ah... tidak!" Vanya menyuapi mie goreng kedalam mulunya. "Aku hanya kagum saja, kenapa Tuhan berikan mereka wajah tampan dan juga kekayaan," alasan Vanya, ia mengalihkan pandangannya ke petugas kantin, agar Sasa tidak menaruh curiga padanya.
Sasa tertawa cekikikan. "Aku rasa Rafka lebih ganteng dari pada mereka. Rafka baik, dan kaya," puji Sasa dihadapan Vanya, agar Vanya sadar bahwa Rafka tidak kalah menarik dari pada badboy di sekolahnya.