BAB 6 - Tactics 2
Vano mengusap pipi Vanya halus. "Vanya maafkan aku, lupakan ucapanku barusan, tolong jangan berpikir yang tidak-tidak tentang ku. Aku sebenarnya, hanya merasa kesepian saja ... kau seperti Malaikat untukku, seakan-akan Tuhan memberiku penyelamat, dan itu dirimu." Vano meneteskan air matanya.
Vanya merasa iba tidak sadar akan perbuatannya, tangannya yang reflek mengusap air mata Vano yang lolos jatuh membasahi pipinya.
"Vanya maukah kau bersahabat denganku, aku senang punya teman baik sepertimu. Jadikan aku milikmu seutuhnya," pintanya penuh harapan
Vanya mengerutkan alisnya, perkataan Vano barusan sangat aneh di dengar. Atau apa dia sendiri yang salah dengar. Vanya meyakinkan pikirannya bahwa perkataan Vano barusan bukan ada maksud lain. "Aku sama siapa saja akan berteman, tapi bila itu sahabat bisa dikata lebih dari kata pertemanan. Tapi kau, kita baru saja..."
Vano menutup mulut Vanya menggunakan jemari telunjuknya untuk berhenti bicara lagi. "Vanya kau sudah mengatahui banyak tentang diriku ini, bahkan luka yang aku alami kau sudah melihatnya, kau juga sudah melihat tubuhku, kau juga sudah melihat rumahku. Lalu rahasia apa lagi yang aku sembunyikan, kau sudah mengatahui semuanya."
Vanya memundurkan kepalanya, agar jamari Vano tidak menutup mulutnya yang ingin bicara. "Aku juga tidak tahu, kenapa kau bisa terluka. Apa kau bisa beritahukan satu rahasiamu ini?"
Vano berpikir sejenak. "Berarti ... tidak ada rahasia lagi yang harus aku sembunyikan darimu." Vano pertimbangkan.
Mata pupil mereka saling menatap dalam-dalam bagaikan terhipnotis diantara mereka, bagaikan dua insan dilarut tengah malam yang mencekam.
"Aku akan cerita, tapi tolong, jangan katakan ini pada orang lain!" Vanya mengguk sebagai jawaban. "Sebenarnya aku ditikam oleh orang yang tidak aku kenali. Mereka berkata.. ini pembalasan, karna aku lebih tampan dari mereka. Aku yang lemah ini tidak bisa berbuat apa-apa, fisikku saja yang terlihat kuat, tapi aku sebenarnya tidak pandai bertarung. Kau tau kenapa? Aku mencari teman hanya bermodal wajah tampan saja," jelasnya panjang lebar.
Vanya iba langsung memeluk Vano, dia hampir menangis mendengar cerita pribadi Vano. Dan vano sendiri seperti menikmati rasa pelukan Vanya ditubuhnya yang hangat bagaikan musim kemarau berkepanjangan.
Vano diam-diam mengambil kesempatan itu mencium rambut Vanya dalam dalam, dimana Vanya sendiri tidak menyadarinya. Bisa di kata Vano ini seperti seorang maniak yang tergila-gila pada tubuh vanya.
*
*
*
Sasa begitu panik, dia sedari tadi mondar mandir di pinggir jalan seperti orang gila.
Rafka sendiri terus menelpon seseorang, untuk mencari keberadaan Vanya yang tiba-tiba saja menghilang.
Sasa menghampiri Rafka yang mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. "Rafka, apa ada kabar?" resahnya.
Rafka menggelengkan kepala, dia langsung memukul kap mobilnya. "Sialan," umpatnya, "Bagaimana bisa Cctv bisa mati di acara pesta tadi. Aku yakin, penculikan ini pasti sudah rencanakan sejak awal."
Sasa terperangah mendengarnya. "Apa?! Jadi Cctv tidak bisa menunjukkan jejak Vanya. Lalu aku harus bagaimana sekarang? Ibunya Vanya sedari tadi menelpon."
Rafka menatap serius Sasa. "Buat alasan saja dulu, bilang padanya kalau Vanya bermalam dirumahmu."
"Rafka, kira-kira siapa yang bisa lakukan hal seperti ini. Padahal Vanya gadis baik-baik, dia juga tidak kaya. Lalu untuk apa mereka menculiknya."
"Aku tidak tau. Menurutmu, apa ada yang membencinya di sekolah?"
"Tidak ada!" ucapnya lantang.
Sasa langsung mengingat Vano tempo hari mengintip Vanya di toilet wanita, tapi bagaimana bisa ia menaruh curiga pada Vano. Sasa tau betul, hari ini Vano keluar Negri menemui ibunya. Dia tau itu dari ayahnya, Sasa juga tidak mengerti kenapa ayahnya tiba-tiba beritahukan itu padanya. Padahal Sasa juga tidak dekat dengannya, meskipun mereka masih ada hubungan keluarga dengan Vano. Sasa adalah sepupu Vano, Ibu Sasa dan Ibu Vano saudara kandung.
Rafka meremas jas bajunya yang memang dia pegang sejak tadi. Rafka prustasi dia bingung motif apa sebenarnya yang mereka inginkan dari cintanya. 'Vanya aku bingung, harus mencarimu dimana lagi, semua anak buahku sedari tadi melacak keberadaanmu, tapi mereka tidak bisa menemukanmu. Aku hanya bisa berdoa, semoga kau baik-baik saja, semoga kau cepat ditemukan.'
~~~
Vanya diantar pulang oleh Vano, senyuman bahagia diwajah Vano terpancar jelas, Kenapa? Itu karna Vano sudah menjadi bagian dari vanya juga. Sama seperti sasa sepupunya.
"Vanya aku sangat bahagia bersama mu," kata Vano tiba-tiba dengan senyuman, tapi buka senyuman senang melainkan senyuman yang mengandung makna terdalam.
Bila psikolog mengamatinya, maka psikolog bisa membedakannya dan akan tau bahwa senyuman di wajah Vano adalah orang yang punya obsessive besar akan sesuatu.
Vanya terus merasa aneh terhadap Vano, itu karna vano sendiri sudah berulang kali mengulang kata-kata itu padanya, Vanya bisa hitung sudah berapa kali dia lontarkan ungkapan itu. Memang aneh, tapi ia terus saja membuang firasat buruknya untuk berpikir positif.
Vano sudah buktikan dirinya pada Vanya bahwa dia adalah pria baik, buktinya adalah luka-luka sayatan di perutnya itu. Untuk meyakinkan Vanya. Bukan itu juga, meski Vano terluka, dia masih saja mengantarkan Vanya pulang.
Belum lagi kebaikan Vano yang lain, ia berikan Vanya gaun milik ibunya sendiri. Betapa beruntungnya Vanya, dia sudah mendapatkan baju mahal dari vano. Dan Vanya-pun berinisiatif untuk menjualnya sewaktu-waktu bila keluarganya membutuhkan uang.
Saat Vanya akan membuka pintu mobil, pergelangan tangannya tiba-tiba di tahan. Vanya berbalik. "Ada apa?"
CUPP.
Vano mencium bibirnya. Vanya syok, dia mematung ditempat, itu ciuman pertamanya. Vano begitu mudah menciumnya.
Jemari Vanya bergetar, ia menyentuh bibirnya yang keluh. "Kenapa kau menciumku tanpa seizinku..."
"Oh ayolah Vanya, hanya kecupan saja, itu tidak ada artinya. Kecuali aku mencium bibirmu secara sensual kau boleh marah padaku, ini kan hanya kecupan persahabatan Lagian-" Vano menatap darinya atas hingga bawah, ia melanjutkan ucapannya yang tertunda,"Kau bukan seleraku Vanya," unkapnya lansung.
Vanya meremas bajunya dia seperti tidak senang mendengar ucapan vano barusan bahwa dia bukanlah seleranya. Terus vanya mau marah dimananya, mereka bahkan tidak pacaran kan, terus kecupan itu hanya tanda persahabatan saja.
Hah, memang lucu pikiran ia saat ini, padahal dia merasa nyaman bila bersamanya tapi dia harus berbohong tentang apa yang dia rasakan saat ini. Tidak mungkinkan ia mengucapkan kata-kata cinta pandangan pertama pada Pria di hadapannya. Lagian bisa mati dia di tangan ayah dan ibu yang melarangnya berpacaran, lagian Vano bukanlah selera mereka.
Belum lagi janji sumpah yang dia katakan pada Pastor dan juga Tuhannya, bahwa dia tidak akan perna berpacaran. Nyesek memang, sakit tak berdarah itulah yang Vanya rasakan saat ini di hatinya.
"Ok selamat malam Kak, hati-hatilah dijalan," Kata perpisahan itu yang Vanya katakan.
Vano menganggukkan kepalanya sebelum Vanya menutup pintu mobilnya. Vano langsung ikut pergi.
Vanya mengusap air matanya yang di tahan sedari tadi, akibat Vano yang membuatnya baperan sejak awal, dan sekarang mereka hanya sebatas teman sekarang, tidak lebih dari itu. Vanya terjatuh di atas rumput, ada orang yang mendorongnya dari belakang.
"Vanya kau hampir membuatku gila, kau sedari tadi kemana saja? Aku dan Sasa mengira kau diculik... aku tidak percaya, aku melihatnya sendiri, kau ternyata bersama pria lain, lucunya lagi―mobil itu terparkir lama di depan gerbang rumahmu, seakan akan kau dan dia-" ucapan Rafka terputus, dia tau.
"Jangan mengarang cerita bila kau sendiri tidak tau apa yang terjadi." Vanya ingin segera meninggalkannya.
Rafka meremas telapak tangan Vanya, ia menggeleng kepalanya, ia pilu. "Aku sakit Vanya, sakit karna dirimu ini yang tidak perna-" Rafka tidak berani mengatakan perasaannya.
"Aku lelah dan ngantuk, besok lagi kita bertemu, ucapkan pada Sasa terima kasih sudah khwatirkanku!"
Vanya melepas tangan Rafka yang meremas jemarinya, ia melangkah masuk kedalam rumahnya.
Rafka menatap Vanya menutup pintu rumahnya, meninggalkan dirinya yang gunda terganggu. Itu karna pakaian yang di gunakan Vanya berbeda dari apa yang dia pakai dipesta barusan.