BAB 5 - Tactics 1
Vanya terkejut melihat itu. Vano langsung saja terjatuh di dadanya, bahkan tangan Vanya ikut berdarah, dia tidak sengaja menyentuh perut Vano yang luka. Vanya mencoba berhati-hati membantu Vano duduk dilantai, dimana Vano berwajah pucat kehilangan banyak darah, Vano terlihat tidak punya tenaga lagi.
"Kakak, berbaringlah disini dulu, aku akan cari bantuan untuk menolongmu." Vanya berdiri, tapi tangannya ditahan.
"Tolong, jangan biarkan orang lain mengatahui kondisi saat inj! Kau bisa saja dijadikan kambing hitam, karena kau sendiri disini."
Tubuh Vanya gemeteran, perkataan Vano ada benarnya. Lalu dia harus bagaimana sekarang? Vano sudah terlihat sekarat saat ini. "Kakak kemana temanmu? Mana ponsel mu biar aku hubungi mereka!" Vanya terus mencari ponsel didalam kantong celana Vano.
"Tidak ada waktu lagi Vanya, tolong bawa aku pergi dari sini!" harapnya.
Vanya menarik tangan Vano yang bertubuh besar dan tinggi itu, Vanya yang bertubuh kecil saja tidak kuat menggendong Vano seorang diri. Namun apa yang dipikirkan Vanya berbeda, ternyata Vano bisa berjalan menuntun langkahnya, sambil berpegangan tangan dengan Vanya.
Dan yang bikin anehnya lagi, kenapa Vano mengatahui namanya, barusan dia menyebut namanya. Memang aneh, padahal dia dan Vano baru sekarang seintim ini. Itupun karna keterpaksaan saja.
Vano meringis kesakitan, berusaha menyumbat darah di perutnya yang terus mengalir sampai mengotori bajunya sendiri dan juga baju Vanya.
"Kakak dimana mobilmu?" Vanya melihat-lihat kearah parkiran.
"Mobilku berwarna hitam. Itu di pojok sana," tunjuk Vano, "Tuntun aku kesana."
Vanya membuka mobil, dan Vano sendiri dengan sigap memasuki kemudi mobilnya.
"Kakak, aku hanya bisa bantu sampai disini saja." Vanya melangkah mundur, untuk menutup pintu mobil itu.
Vano menahan pintu mobilnya agar Vanya tidak menutupnya. "Tidak! Aku masih butuh bantuanmu, aku tidak bisa menyetir sendiri bila tidak ada yang mengawasiku." Tanpa persetujuan Vanya, Vano tiba-tiba menyalakan mesin mobilnya.
Vanya bingung harus pergi atau tidak.
Vano melihat baju Vanya kotor bersimbah darah miliknya. "Lagian bajumu itu dipenuhi darah, orang yang melihat itu pasti akan mempertanyakannya," ucapnya lagi.
Vanya menunduk melihat kondisinya. Ia mulai mempertimbangkan, apakah dia bisa pergi bersama laki-laki lain, bahkan orang tuanya sendiri tidak mengatahuinya. Tapi dia disini hanya penolong nyawa orang lain.
Vanya memutari mobil untuk duduk disebelah Vano.
Vano membantu membukakan pintu mobilnya, agar Vanya bisa duduk di sampingnya.
"Kakak, aku berdoa semoga kau bisa menyetir sampai dirumahmu. Jujur, aku sendiri tidak tau cara menyetir mobil."
Vano diam, tidak menanggapinya, ia hanya fokus membawa mobilnya pergi. Yang dia rasakan, akhirnya ia bisa berduaan bersama wanitanya.
Berduaan dengan Pria lain di dalam mobil gelap, membuat Vanya resah, itu karna dia khawatir Rafka dan Sasa mencarinya. Apalagi ponselnya ketinggalan didalam tas gengam Sasa.
Bagaimana cara dia mengabari mereka?
Vanya melirik Vano yang diam dan santai seperti tidak terluka. Ia ingin meminjam ponselnya sebentar.
Tapi melihat Vano serius menyetir mobil menggunakan satu tangannya, membuat Vanya mengurungkan niatnya. Yang dia harapkan saat ini, semoga mereka cepat sampai.
Vano sendiri memancarkan senyum jahatnya lebar-lebar, sampai celah bibinya ingin robek. Dia melirik diam-diam Vanya yang tidak gelisah lagi di sampingnya. Vano seperti lupa dengan luka sakit diperutnya. Atau apakah Vano memang tidak kesakitan.
Mobil melaju cepat melewati gerbang besar menuju arah mansion.
Vanya melihat-lihat ke sekitarnya, dia heran, kenapa mereka bisa melintas masuk kedalam hutan. Lalu dimana letak rumah Vano. Vanya mengira gerbang besar tadi adalah pekarangan rumah Vano, tapi ia salah, ternyata rumah Vano jauh masuk kedalam menempuh waktu yang ia sendiri tidak ketahui.
30 menit kecepatan mobil Vano melaju melintasi hutan, akhirnya mereka sampai dikediamannya. Vanya mengamati luar dan corak dinding rumah itu.
Vanya mengubah cara pandangannya, itu bukanlah rumah, bukan juga mansion, itu istana yang di didirikan di tengah hutan. Bahkan tidak ada satu pemukiman warga yang tinggal di sana. Bisa dikata Vano pemilik wilayah itu, dan Vanya baru tau akan hal itu.
"Auuh... Ini sakit sekali ... Nona kita sudah sampai, tolong bantu lagi,' alasan Van dibuat-buat.
Vanya bergegas turun dari mobil, lalu membopong tubuh Vano yang besar untuk menuntunnya masuk kedalam kediamannya. Vanya melirik kekanan dan kekiri didalam rumah itu, dia seperti mencari sesuatu "Kakak kemana pelayamu?"
"Aku tidak punya pelayan, aku tinggal di sini sendiri." Vanya membantu meniduri Vano dikursi sofa besar.
"Kakak, kita harus bagaimana menghentikan pendarahan di perutmu?" Vanya kebingungan.
"Tolong buka bajuku," suruhnya lagi.
Vanya terkejut bukan main, ini baru pertama kalinya dia terpaksa melihat tubuh laki-laki lain tepat di hadapannya, apa lagi Vano hanya orang lain yang membuatnya merasa takut kemarin. Apakah dia sudah menjadi Malaikat penyelamat.
Tangan Vanya bergetar, jantungnya berdegup kencang. 'Oh Tuhan, maafkan dosaku ini. Tenang Vanya, anggap saja kau sedang mengurus adikmu sendiri,' pikiran Vanya.
Vanya menelan ludahnya melihat banyak tatto di seluruh tubuh Vano, saat ia membantu melepaskan kemeja yang kotor akibat darah. 'Gila, laki-laki macam apa dia, nakal-kah? Jika Ayah dan Ibuku melihat tatto sebanyak ini, mampuslah," pikir Vanya.
"Vanya tolong ambilkan kotak medis di laci sana!" Vano menunjuk ke arahnya laci yang memang jaraknya 40 meter dari mereka.
Vanya berjalan menuju laci yang sudah di tunjukkan.
"Gadis bodoh." Satu kata keluar dari mulut Vano, dia tertawa cekikikan tapi tidak sampai didengar Vanya. Entah apa maksud Vano sampai mengatai Vanya yang sudah menyelamatkan hidupnya.
"Au... Sakit. Vanya cepatlah... aku tidak tahan lagi!" jeritnya memanggil.
Vanya berlari menenteng alat medis berat di tangannya, layaknya peralatan rumah sakit yang dia tenteng
Vanya membuka tas medis itu tepat di atas meja. "Kakak vVno, aku bukanlah dokter, aku tidak tau memakai alat alat dokter ini." Vanya menatap setiap inci teleskop ditangannya.
Vano mengambil jarum suntik dan juga sebuah botol kecil yang berisikan cairan, ia lalu menyuntikkan-nya diarea perut yang terluka akibat sayatan pisau.
Vanya jelas melihat luka lebar sayatan itu bagaikan daging mentah tepat di otot perut Vano yang kencang dan kekar, seperti pria kuat dan perkasa.
Setelah vano menyuntikkan perutnya, ia lalu mengambil benang dan jarum, untuk menjait darinya sendiri.
Vanya sampai terpesona melihat keterampilan Vano yang seperti dokter. Jaitan diperutnya lebih rapi dari pada yang dia lihat diacara TV.
Tapi bagaimana bisa Vano terampil dan paham menggunakannya. Apakah dia seorang dokter? Vanya membantah akan hal itu, mana ada usia Vano yang masih 19 tahun bisa medis.
Vanya tenggelam dalam pikirannya.
Vano juga sudah selesai memberi perban pada perutnya.
Jam dinding berbunyi keras, Vanya melihat waktu pukul 12 malam. "OH tidak, bagaimana ini? Ayah dan ibuku pasti mencariku." Matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis.
"Kakak Vano, tolong pinjamkan aku telpon rumahmu, aku ingin menelpon Sahabatku untuk menjemputku," harap ha.
"Tidak usah, aku bisa mengantarmu pulang!" ucapnya enteng, seperti tidak ingin ada orang lain yang mengatahui tempat tinggalnya, kecuali Vanya saja dan juga bawahannya.
Vanya memperhatikan kondisi Vano yang begitu mulai membaik, wajahnya itu tidak lagi terlihat pucat dan kesakitan.
"Kakak Vano, aku tidak bisa biarkan dirimu menyetir lagi."
"Berhentilah basa basi, aku tau kau tidak ingin bermalam bersamaku disini," bentaknya.
Vanya merasa aneh atas ucapannya. "Apa..."
Vano langsung menarik paksa tangan Vanya untuk duduk di atas pangkuannya. Vanya lagi-lagi terkejut atas perbuatan Vano padanya yang tiba-tiba lancang padanya.