Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4 - Craftiness

Rafka fokus mengemudi mobilnya di sepanjang jalan pusat ibu kota.

"Rafka cepat katakan padaku, dimana kau ingin mengajakku jalan-jalan?"

"Apa kau tidak lapar? Aku ingin makan." Rafka menyentuh perutnya.

"Makan dimana? Tidak mungkin-kan dirimu mau makan di pinggir jalan. Orang kaya mah lain cerita," cemberut Vanya.

"Kenapa?" tanya Rafka.

"Kau bisa sakit perut," jelasnya.

"Tidak tuh, aku hanya ingin mencari suasana yang nyaman. Mencari tempat makan, sekalian kita ngobrol-ngobrol. Aku dengar restoran diatas hotel milik Grup Smith masakan jepan mereka sangat enak."

Mata Vanya berbinar, dia tiba-tiba senang mendengarnya. "Serius, jika itu benar, ayo kita bergegas kesana." Vanya menunduk menyelipkan rambutnya, dia takut Rafka melihat raut wajahnya memancarkan nafsu rakusnya.

Vanya ingin makan masakan daging babi, seafood, berupa kepiting dan juga berbagai macam kerang-kerangan pedas. Itulah yang ada di dalam pikiran Vanya sekarang.

Vanya dan Rafka masuk kedalam pintu lift menuju restoran lantai paling atas. Di saat mereka sudah sampai, pintu lift terbuka.

Vano Wilson dan Brian keluar dari pintu lift berbeda. Ke 4 nya berjalan beriringan bersamaan masuk kedalam restoran. Vano sendiri tidak menyadari ada Vanya di sampingnya berjalan, begitu juga dengan Vanya, dia belum sadar ada Vano di sebelahnya. Itu karna tubuh Rafka dan juga Brian menghalangi penglihatan mereka.

Punggung telapak tangan Vano dan Vanya sempat bersenggolan saat berpisah mencari tempat duduk dari arah lain. Vano terus berjalan tanpa memalingkan wajahnya. Brian yang bersamanya, hanya bisa mengekori Vano yang entah ditempat mana ia akan duduk.

Vanya yang berwajah riang langsung menarik tangan Rafka untuk duduk di pojok jendela. Vanya duduk berhadapan dengan Rafka. Rafka sendiri memesan banyak makanan, karna dia tau betul Vanya itu pemakan segalanya.

"Rafka, aku senang sekali. Ini pertamaku berada di hotel bersamamu."

Rafka tertawa menggelengkan kepalanya. "Ini tempat restoran, hotel ada di bawah." Rafka membenarkan.

"Tapi sama sajakan, kita berada di hotel berduaan." Rayu Vanya bermain menggodanya.

Rafka menutup matanya, dia sangat malu mendengar perkataan Vanya yang seperti menjebak dirinya. "Vanya dengar! Kau jangan sampai katakan itu pada ibumu, dia bisa salah paham nantinya "

Vanya tertawa memukul pelan bahu Rafka. "Aku hanya bercanda Rafka."

Vanya memakan makanannya bagaikan gadis yang sudah 2 hari tidak makan. Vanya sangat rakus, dia tidak punya rasa malu sama sekali. Terlihat cara makannya yang kotor, membuat pipinya jadi kotor terkena saos, dia sadar akan hal itu, dan tidak menghiraukannya lagi.

Rafka mengambil tisu, lalu menyeka pipi Vanya. Vanya reflek, menyentuh tangan Rafka yang mengusap pipinya menggunakan tisu. Vanya menatap dalam mata Rafka.

"Vanya kau sangat berantakan, lihat semua orang disini, sedari tadi melihatmu makan bagaikan babi ternak," canda Rafka.

Vanya tertawa tapi tidak sampai terdengar suara, ia lalu mengabil tisu dari tangan Rafka. Ia membersikan tangan dan pipinya sendiri sampai bersih. "Rafka kau orang pertama yang menyentuh wajahku," jujurnya.

"Maaf..." Rafka melanjutkan makanannya, dia merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa Rafka, kita kan hanya sahabat." Senyumnya menatap serius Rafka.

Jder!

Babagaikan sambaran petir Rafka mendengarnya. Hati rafka, seperti tertusuk pedang tak kasat mata. Ia merasa tidak nyaman sekarang. Kenapa Vanya tidak peka sama sekali padanya, padahal dari kecil Rafka sering kali memberinya puisi puisi cinta sejak dulu. Menandakan bahwa ia sedang mengungkapkan perasaan cintanya pada Vanya dulu.

Lalu apakah benar vanya menganggapnya hanya sahabat dalam satu hubungan, mana ada wanita dan pria bersahabat. 'Tidak Vanya, aku mencintaimu sejak kecil. Kapan kau sadar akan diriku ini,' jerit Rafka dalam hatinya.

Direstoran yang sama, Vano wilson sedari tadi melihat Vanya bersama pria lain. Vano sangat marah melihat kedua orang itu diujung jendela, senyum, dan keduanya sangat begitu akrab. Vano bisa simpulkan, mereka sepasang kekasih yang dilanda asmara.

Vano mengepal tangannya, urat-urat biru ditangannya menonjol jelas sekatarang, bahkan matanya sampai merah menahan amarah. Vano Wilson terus merapalkan sumpah serapahnya. Vano benci melihat laki-laki itu menyentuh tangan dan pipi gadis yang sudah lama ini membuatnya gila, bagaikan pecandu narkoba.

"YOU ARE FOREVER MINE BABY." Suara Vano terdengar serak tapi dalam maknanya.

Brian berhenti memakan makanannya, ia lalu melihat apa yang sedari tadi membuat Vano tidak menyentuh makanannya yang dia pesan sedari tadi. Belum lagi kata-kata Vano barusan, yang ia lontaran tentang kepemilikan―bagaikan barang yang baru saja di renggut seseorang.

"Kau sedari tadi hanya memandang dua orang disana. Emang ada yang salah dari mereka? Yang aku tau kau tidak mengenalnya sama sekalikan. Gadis itu, oh my god cara makannya bagaikan babi dipeternakan saja," geli Brian melihatnya.

Brian mengernyitkan wajahnya, bagaimana bisa selera sahabatnya itu bisa turun derastis. Lebih baik pacaran dengan gadis pelayan yang bekerja dirumahnya, dari pada gadis di ujung sana yang tidak menjaga image-nya sama sekali.

*

*

*

Keesokan pukul 6 sore, Vanya berhias di rumah Sasa.

"Sasa baju ini lebih baik, dari pada baju barusan," Vanya bercermin melihat dirinya.

"Como-on, kita bisa terlambat mengahadiri acara itu. Papi dan mamiku sudah lebih dulu berangkat," Sasa memasang jam tangannya.

Sasa dan Vanya berjalan anggun menaiki mobil sport. Sasa tidak membawa supir, dia menyetir sendiri.

Semua orang kaya terpenting sudah hadir. Termasuk beberapa artis terkenal ikut serta hadir di acara pesta keluarga Zura yang mendirikan sebuah musium barang kuno di pusat ibu kota london.

"Wow, rame sekali,' kagum Vanya Melihat-lihat dekorasi pesta.

Ibu Sasa menarik tangan Vanya dan sasa. "Kenapa kalian lama sekali sih! Acara sebentar lagi dimulai. Sasa, mulailah berkenalan dengan pria muda dan kaya disana! Ibu harap kau bisa mewakili keluargamu, siapa tau ada infestasi baru untuk kita," harapnya.

"Ibu kenapa aku lagi?" Sasa mengeluh tidak suka.

"Apa... kau adalah anak kami satu-satunya, kau penerus kami selanjutnya," bentak Ayahnya.

Sasa muak atas keluarganya, dia menyesal dilahirkan sebagai perempuan dikeluarganya.

Vanya memegang pergelangan tangan Sasa, untuk menenangkan. "Tidak apa-apa Sasa, aku bisa menemanimu,"

Vanya menawarkan diri.

Sasa lagi-lagi harus pasrah saat ini. Ia berjalan dan mulai ramah menyapa semua orang di aula itu. Vanya ikut-ikutan berkenalan pada semua orang, seperti Sasa juga.

"Rafka!" Vanya memanggil Rafka dari belakang.

Rafka berbalik melihat siapa yang memanggilnya."Vanya! Kenapa kau bisa ada disini?" Rafka menatap Vanya dari atas hingga kaki, dia terpesona melihat kecantikan Vanya yang begitu berbeda dari biasanya. Belum lagi dengan riasan wajahnya itu, membuat Rafka begitu ingin memilikinya seutuhnya sampai mati.

Vanya melambaikan tangannya tepat di wajah Rafka, itu karna Rafka mematung tidak berkedip sama sekali melihatnya.

Suara loudspeker mikrofon terdengar nyaring, menandakan acara kini di mulai.

"Terima kasih pada semua yang telah hadir di acara keluarga kami, dan juga atas dukungannya. Kami senang memperkenalkan atasan dari prusahaan kami yang baru pulang dari Rusia, dia RAFKA MAXLOU. Beri tepuk tangan meriah padanya."

Suara tepukan tangan terdengar nyaring sampai terdengar di penjuru ruangan. Vanya membulatkan matanya, ia terperangah. Ternyata Rafka adalah bos besar dari sebuah musium ternama di Britania. Kenapa ia baru tau itu sekarang.

Pelayan datang memberikan Rafka gelas yang berisikan anggur merah yang memang melambangkan ke-istimewaan untuknya. Rafka menyesap minumannya, lalu mengangkat gelasnya sebagai tanda terima kasih pada semua orang yang menyambutnya.

Vanya berjinjit berbisik di telinga Rafka, "Rafka kau sangat keren, aku bangga padamu, semoga gadis yang ada di hatimu bahagia bersamamu.' Vanya mengacungkan 2 jempol, dia mengira Rafka sudah punya pacar.

Vanya pergi meninggalkan Sasadan juga Rafka. Rafka sendiri terus menatapnya sendu melihat punggung Vanya yang pergi usai mengucapkan kata-kata kehancuran dihatinya.

Vanya yang berada di toilet mengusap air matanya. 'Kenapa jadi nyesek gini sih, setelah melihat sahabat kita jadi sukses. Hah... semoga aku sama seperti Rafka dan Sasa, jadi orang kaya sukses dimasa depan. Aku lelah menjadi orang menyedihkan di dunia ini.'

"TOLONG... SIAPA PUN ITU, TOLONG SAYA!" teriak Pria yang merintih kesakitan.

Vanya berputar mencari keberadaan suara itu, Vanya bergegas, dia sudah tau arah mana suara itu. Itu tepat berada di samping toilet, Vanya melihat kunci pintu masih melekat di gagangnya, dimana pintu itu tertulis gudang.

Suara jeritan minta tolong itu masih terdengar lagi, Vanya tidak tinggal di, ia bergegas saja membuka pintu itu. Dan terlihatlah Vano yang bersimbah darah di perutnya. Bahkan sampai menetes banyak di lantai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel