Bab 9 Menghindar Sejenak
Bab 9 Menghindar Sejenak
Setelah apa yang Naura dengar kemarin, gadis itu masih belum siap menjawab pertanyaan kedua orang tuanya. Naura memikirkan banyak cara bagaimana menghindari pertanyaan kedua orang tuanya, terutama Mamanya. Gadis ini bangun sangat pagi dan memilih untuk segera mandi dan keluar dari rumahnya.
Naura memang sudah berpikir akan menerima permintaan untuk mencoba, tapi ada rasa ragu akan kebiasaan Mamanya yang terkadang suka memaksanya untuk menuruti apa yang sudah menjadi pilihan dari Mamanya. Jujur dari hatinya yang paling dalam, Naura bukan gadis yang sangat penurut tanpa melakukan usaha penolakan.
“Pagi Pa,” sapa Naura yang sudah rapi dan melihat Pak Ilham di ruang keluarga sedang meminum secangkir kopi.
“Pagi, Sayang. Mau ke mana? Masih pagi loh,” heran Pak Ilham melihat putrinya sangat rapi pagi-pagi seperti ini.
“Ada janji, Pa. Ara berangkat dulu. Salam ke Mama aja ya, Pa. Ara terlambat,” jawab Naura yang menyalami Pak Ilham dan segera keluar dari rumahnya.
Naura berlari ke pos keamanan di kompleksnya untuk menyetop taxi. Beberapa kali tetangganya menyapanya dan bertanya akan ke mana. Bahkan seorang petugas keamanan yang sedang berjaga pun bertanya.
Naura segera masuk ke dalam taxi saat sebuah taxi kosong berhenti di depannya. Gadis ini memilih untuk ke pantai terlebih dahulu. Karena sebenarnya dia juga tidak tahu akan ke mana. Dia hanya ingin meninggalkan rumah.
Naura menghabiskan setengah harinya di pinggir pantai hingga Sang Raja siang mulai berada di atas kepalanya. Gadis ini masih betah duduk di pinggir pantai dengan hoodie biru yang di pakai untuk melindungi dirinya dari panas yang menyengat.
Hpnya berbunyi dan membuatnya menerima telfon itu. Telfon dari Mamanya, sudah pasti Naura tahu ke mana arah pembicaraannya. Apalagi jika bukan tentang permintaan Mamanya tentang perjodohan terkutuk itu.
Naura memang belum tahu siapa yang akan menjadi calonnya, tapi rasanya sangat tidak enak bukan semua diatur orang tua bahkan untuk menentukan pendamping hidup. Naura baru saja akan wisuda dan dia memang belum menginginkan untuk terburu-buru memikirkan pernikahan. Naura segera mengangkatnya.
“Halo, Ma?”
[Kamu di mana?]
“Ada acara, Ma,”
[Mama minta kamu pikirkan untuk perjodohan itu secepatnya ya, Sayang,]
Benar kan dugaan Naura, Bu Rani membahas tentang perjodohan yang di inginkan Bu Rani dan temannya - Bu Kalistha - itu. Naura menghela napasnya sejenak dan menenangkan pikirannya sebentar.
“Iya, Ma. Ara matikan dulu,”
Naura mematikan sambungan panggilan Bu Rani dan memilih mencari kontak yang bisa dia hubungi saat seperti ini. Pikirannya sangat suntuk karena hal seperti ini. Dia pun menghubungi Cakka yang selalu siap sedia mendengarkannya.
“Halo Cak, lo di mana?”
[Luar kota sama Ayah, kenapa?]
“Bunda juga?”
[Enggak. Lo ada masalah?]
“Enggak kok, gue mau ketemu Bunda ya. Lo jaga kesehatan sama Ayah di sana. Jangan pikirkan kenapa gue telpon lo ya,”
[Gimana gak mikir, lo yang udah gue kasih tahu kalau gue mau ke luar kota aja telpon gue. Pasti ada sesuatu,]
“Enggak, Cak. Gue lagi kangen Bunda aja. Gue matikan ya. See you Cak,”
Naura langsung mematikan panggilannya sebelum Cakka semakin mengorek masalahnya semakin dalam. Gadis ini tidak ingin mengganggu pekerjaan Cakka. Naura berdiri dan berjalan meninggalkan pantai. Naura menuju ke rumah Cakka di mana Bunda Cakka -Bu Ajeng- berada.
Perjalanan yang cukup memakan waktu dari pantai membuat Naura menikmati waktunya selama di perjalanan. Gadis ini memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan Cakka yang sudah pasti jika penasaran akan bertanya detailnya pada Agni selaku pacar Cakka dan sahabatnya.
“Sudah sampai, Mbak,” kata supir taxi mengingatkan Naura. Gadis itu memberikan uang dan tip untuk supir taxi tersebut. Naura masuk ke dalam halaman rumah Cakka dan mengetuk pintu sambil mengucap salam.
Tidak butuh waktu lama, Bu Ajeng sudah membukakan pintu dan melihat Naura yang berdiri di depan pintu. Bu Ajeng menyuruh Naura masuk dan gadis itu memeluk Bu Ajeng dengan erat. Tanpa keraguan, Bu Ajeng membalas pelukan Naura.
“Kenapa, Ra?” tanya Bu Ajeng sambil memeluk Naura. Gadis itu mulai menangis dalam pelukan Bu Ajeng. “Ara ada masalah sama Mama lagi?” tanya Bu Ajeng yang paham dengan kondisi Naura jika hingga menangis padanya seperti ini.
“Bunda, Ara harus gimana? Mama mau jodohkan Ara sama anak teman Mama. Tapi Ara gak bisa Bunda. Ara masih 22 tahun, Bun. Masa udah harus nikah? Ara gak suka Bun. Mama terkesan memaksa Ara. Masa tadi Ara di telpon Mama suruh segera memikirkan hal ini,” tangis Naura. Bu Ajeng mengusap punggung Naura peluh kasih sayang.
“Ara duduk dulu. Ayo cerita sama Bunda,” ajak Bu Ajeng yang menggandeng tangan Naura menuju ke sofa dan duduk di sampingnya. “Gimana ceritanya, Sayang?” tanya Bu Ajeng.
Naura mulai menceritakan semuanya dari awal dia diajak Bu Rani ke reuni Mamanya yang tentunya dengan paksaan. Bu Ajeng mendengarkan cerita Naura dengan baik dan tidak ingin gadis di depannya ini kecewa. Bu Ajeng sudah menganggap Naura seperti anak gadisnya sendiri, karena itu beliau selalu menjaga perasaan Naura.
“Bunda, Mama jahat kan? Selalu Ara yang seperti ini. Kenapa sih Bun, Mama gak bisa pikirkan sedikit saja perasaan Ara?” tanya Naura yang menghapus air matanya sendiri.
“Sayang, bukan jahat. Mama hanya mau yang terbaik untuk Ara, hanya cara Mama yang salah. Bunda tahu Ara kesal sama Mama karena seperti itu, tapi Mama sama Papa pasti sudah memikirkan masa depan Ara dari sekarang,” jawab Bu Ajeng lembut.
“Enggak Bun, Ara gak percaya kalau Mama itu Mama kandung Ara. Mama terlihat tidak begitu peduli sama perasaan Ara,” elak Naura.
“Ra, enggak ada seorang ibu yang enggak sayang sama anaknya. Hanya saja, cara mereka menunjukkan kasih sayangnya itu berbeda. Jadi, Mama gak salah, Sayang. Jangan ragukan kasih sayang Mama. Itu tidak baik, Sayang,” pesan Bu Ajeng sambil mengusap pipi Naura yang basah karena air matanya.
“Bunda, hari ini Ara tinggal di sini ya. Jangan bilang Kak Cakka ya, Bun,” kata Naura.
“Iya. Tapi, Bunda mau kamu jangan ulangi yang pernah terjadi dulu. Tetap berpikir posisitif, Bunda, Cakka, Ayah, sama Iyel sayang Ara. Apapun yang Ara rasakan, Ara ceritakan saja, saat Ara ingin bersembunyi Bunda akan bantu tapi tidak selalu sayang. Ara harus bisa menghadapi semuanya. Ara sudah mulai terbuka?” tanya Bu Ajeng.
“Kemarin, Ara cerita sama Agni. Biasanya Agni dulu yang tanya tapi Ara langsung cerita sama Agni karena Ara gak tahu harus apa lagi Bun. Ara belum ngomong sama Kak Iyel,” jawab Naura.
“Kenapa?” tanya Bu Ajeng.
“Ara takut Kak Iyel terganggu, Bun. Nanti aja pas Kak Iyel pulang untuk datang wisuda Ara,” jawab Naura.
“Cakka?” tanya Bu Ajeng.
“Alasan yang sama. Tapi, anak Bunda sudah pasti cara sendiri buat cari tahu,” jawab Naura.
Bu Ajeng pun menyuruh Naura istirahat terlebih dahulu dan meminta izin untuk tidak pulang pada orang tuanya. Naura menurutinya dan dia melangkah menuju kamar yang selalu dia tempati saat bermalam di sini. Dari dulu, dia sering ke sini sejak Cakka pindah dari perumahannya.
Naura tidak mengatakan pada Mamanya bahwa dia berada di rumah Cakka. Setidaknya dia sudah izin pada Mamanya dan Mamanya pun sudah mengiyakan. Naura tidak menduga harus seperti ini dengan keluarganya sendiri. Tidak ingin seperti ini terus menerus, Bunda sudah menasehatinya banyak hal, jadi sekarang saatnya Naura harus berpikir ke depannya dengan benar.
**