Bab 5 Supir Kesayangan
Bab 5 Supir Kesayangan
Pagi hari seorang gadis mengetuk pintu kamar di hadapannya dengan sedikit keras. Namun tidak ada tanda pintu kamar itu akan di buka. Gadis itu pun membukanya dengan rasa kesal. Terlihat seorang pria tertidur pulas di kasur ukuran king size di kamar itu. Gadis itu membuka tirai dengan kamar itu agar sinar matahari masuk ke dalam kamar.
“Cak, bangun. Ayo lo harus kerja,” kata gadis itu sambil membangunkan pria itu. Cakka -Pria itu- menggeliat dan mulai membuka matanya. Terlihat gadis di depannya itu membangunkannya. Dia mecubit pipi gadis itu gemas.
“CAKKA SAKIT!” teriak gadis itu sambil memukul tangan Cakka yang mencubit pipinya.
“Gemes gue sama lo, Nauralify,” kata Cakka yang bangun dari tidurnya.
“Mandi sini aja dulu, Cak. Gue tunggu di bawah, kita makan bareng sama orangtua gue,” kata Naura menyuruh Cakka mandi. Cakka pun mengangguk dan menerima handuk yang di berikan oleh Naura. Cakka segera masuk ke kamar mandi yang ada di kamar yang dia tempati kali ini.
Naura turun dan melihat mama juga papanya sudah duduk di meja makan. Naura menyapa mama dan papanya lalu duduk di depan mamanya. Naura mengatakan bahwa semalam Cakka menginap karena menemani Naura yang mengerjakan revisi hingga tengah malam. Cakka turun dan menyalami kedua orangtua Naura.
“Ngerepotin ya, Kka?” tanya Pak Ilham mengkode Naura dengan matanya. Cakka terkekeh sebentar.
“Enggak kok, Pa. Cakka sudah biasa, untung sayang,” jawab Cakka yang memanggil Pak Ilham dengan sebutan Papa dan Mama, begitu juga sebaliknya Naura memanggil orangtua Cakka dengan sebuatan Ayah dan Bunda sama seperti Cakka.
“Kamu sudah tanya kakak kamu dia ikut datang wisuda kamu apa gak?” tanya Bu Rani.
“Belum Ma, dia mah pacaran mulu sama Shilla. Sebel Ara,” jawab Naura.
“Gimana gak sebel, orang kamu gak mau cari pacar sendiri,” kata Pak Ilham.
“Ada yang rasa pacar kenapa harus cari pacar, ya gak Cak?” sahut Naura.
“Maksud kamu? Kamu mau pacaran sama Cakka?” tanya Bu Rani.
“Dia mah suruh ngaku jadi pacar Ara juga mau, ye kan Cak?” jawab Naura.
“Terserah lo, selama lo bahagia, gue iyain aja deh, Ra,” pasrah Cakka membuat Naura tertawa.
Mereka pun makan setelah Pak Ilham mengatakan untuk kembali makan. Cakka sudah biasa dengan banyak kebiasaan Naura yang seperti ini. Selama senyum Naura tercetak di wajahnya Cakka tidak masalah dengan apa yang gadis itu lakukan. Cakka harus pulang terlebih dahulu untuk bekerja.
“Ma, Pa, Cakka harus langsung pulang karena gak bawa baju ganti untuk ke kantor hari ini. Maaf selesai makan, Cakka malah pulang,” ujar Cakka segan dengan Pak Ilham dan Bu Rani.
“Iya Kka, Papa sama Mama paham kok. Makasih udah jaga Naura semalaman ya,” kata Pak Ilham yang dibalas dengan anggukan oleh Cakka.
“Kka, gue ngikut lo ya. Ada urusan gue, bisakan?” tanya Naura.
“Iya, buruan lo ganti baju dulu. Gue tunggu,” kata Cakka.
Naura menghabiskan minumannya dan pergi meninggalkan meja makan terlebih dahulu. Gadis itu masuk ke kamar dan mengganti baju. Rambut panjang yang di cepol, celana jeans dan hoodie merupakan pakaian biasa Naura. Gadis itu meraih hp dan dompet mininya sebelum turun menghampiri Cakka. Pria itu sudah duduk bersama dengan kedua orang tua Naura di depan tv.
“Astaga, Ra. Kamu bisa gak jangan berpakaian seperti ini. Lebih feminim dong, Sayang,” ujar Bu Rani yang melihat cara berpakaian Naura yang tidak berubah.
“Apa sih, Ma? Selalu masalah pakaian yang di ributkan. Mama gak capek apa selalu mengatakan hal sama sama Ara, tapi ujung-ujungnya Ara jawab dengan kalimat yang selalu sama juga. Ara capek, Ara nyaman seperti ini, ya untuk apa Ara harus jadi orang lain? Ini Ara Ma, bukan gadis feminim seperti anak teman Mama,” sahut Naura.
Cakka hanya diam saja sudah paham dengan situasi Naura yang selalu berdebat dengan Mamanya karena cara berpakaian. Pak Ilham pun hanya bisa memperingati istri untuk tidak terlalu menekan Naura. Gadis itu mendengus kesal dan menghampiri kedua orangtuanya mengulurkan tangan untuk menyalami mereka.
“Sudahlah, Ara mau berangkat aja,” kata Naura menyalami kedua orangtuanya. “Ayo Kka,” ajak Naura dan Cakka pun ikut menyalami kedua orangtua Naura. Mereka keluar dari rumah Naura dan masuk ke dalam mobil Cakka.
Selama perjalanan Cakka menghidupkan musik untuk meredakan kekesalan gadis di sampingnya itu. Beberapa kali Cakka dapat mendengar bahwa Naura menghela napas berat. Sudah pasti gadis itu lelah sejak dulu sekali, awal Cakka mengenal Kakak Naura dan sering bermain ke rumah Naura, Cakka sering melihat Naura beradu argumen tentang penampilan dengan Mamanya.
“Kka, emang gue seburuk itu ya kalau gak feminim kaya anak teman Bunda?” tanya Naura.
“Enggak juga sih, Ra. Lo itu cantik walau lo sendiri jarang pakai skincare kaya anak zaman sekarang. Lo jangan terlalu pikirkan apa yang dikatakan nyokap lo,” jawab Cakka.
“Gimana gak gue pikirkan? Dari dulu Kka, sejak gue puber kali, gue selalu aja debat sama Mama. Lo tetangga gue dulu pasti paham gimana gue sama Mama saat lo jemput Kak Iyel main atau lo sedang ada di rumah gue, lo pasti juga jengah kan sama kondisi gue yang gak berubah. Gue capek, Mama selalu saja seperti itu sama gue,” ujar Naura.
“Ra, lo itu cantik dengan cara lo sendiri, gue tahu itu. Selama gue kenal lo, memanjakan lo, dan mengenal jauh lo itu, lo sangat cantik dan baik tahu. Gak kurang sedikit pun,” sahut Cakka.
“Mama sudah keterlaluan Kka. Apa iya gue sama sekali punya pilihan untuk hidup gue? Selalu gue yang nurutin semua kemauan Mama. Lo tahu sendiri kalau gue pernah down karena sifat Mama yang seperti ini, gue gak tahu suatu saat nanti saat gue kembali seperti itu bagaimana keadaan gue, kalau aja gak ada Bunda, lo sama Kak Iyel, sudah pasti gue memilih jalan mengakhiri semuanya secara sepihak,” kata Naura membuat Cakka menepikan mobilnya sejenak.
Cakka menoleh ke Naura dan melihat sorot matanya yang lelah dan ingin menyerah dengan keadaannya. Cakka memiringkan duduknya dan menatap lekat Naura hingga gadis itu menoleh padanya.
“Gue, Gabriel, Bunda, bahkan Ayah akan ada buat lo saat kedua orangtua lo gak tahu apa-apa tentang lo. Ra, lo sudah pernah berada di situasi itu, lo tahu gimana sayangnya gue, Bunda, Ayah, dan Gabriel. Coba lo pikirkan saat lo ngomong seperti ini di depan Gabriel, dia kakak kandung lo, gimana perasaannya? Dulu aja dia ikut menangis karena lo, apa lagi sekarang?” ujar Cakka.
“Ra, gue kenal Gabriel itu bukan cowok yang akan mudah menangis semarah dan sekecewa apapun dia sama sesuatu yang dia hadapi. Tapi dia menangis karena lo, lo adik satu-satunya dia, Ra. Lo juga adik gue satu-satunya, gue gak akan biarkan itu terjadi lagi, Ra. Jadi gue mau, apapun yang lo rasakan lepaskan sama gue kalau lo takut kakak lo marah,” lanjut Cakka yang kini tangannya bergerak mengusap kepala Naura.
“Tapi, gue selalu merasa capek, lelah, dan kecewa karena Mama. Gak menuntup kemungkinan kalau gue akan kembali ke kondisi itu Kka. Gue masih bisa cerita sama lo, tapi saat mental gue down gue gak bisa apa-apa,” ucap Naura. Cakka menganggukkan kepalanya paham.
“Sebelum hal itu terjadi, gue akan selalu ada buat lo. Lo prioritas gue meski ada prioritas lain yang harus gue utamakan juga,” kata Cakka tersenyum manis pada Naura yang juga ikut membuat gadis itu tersenyum pada Cakka. “Jadi lo mau ke mana setelah ini?” tanya Cakka yang mulai menjalankan mobilnya kembali.
“Gak ada, gue mau ke Bunda aja,” cengir Naura membuat Cakka menggelengkan kepalanya. Naura memang suka berada di rumahnya dan membantu Bunda memperbaiki taman juga merawatnya.
“Gue pikir lo mau ke mana,” kata Cakka menggelengkan kepalanya saat mobil mulai masuk ke area perumahannya.
“Supir kesayangan gue ini masih belum paham sama situasi gue ternyata. Gue ‘kan lebih suka ada di rumah lo dari pada harus ada di rumah yang buat gue justru gak nyaman,” sahut Naura.
“Supir kesayangan kata lo?!” ujar Cakka cukup keras. Naura hanya tertawa mendengar respons Cakka tentang julukannya. Pria itu selalu mau mengantar dia kemana saja jadi dia memanggilnya supir kesayangan saat menggoda Cakka. Suasana pun berubah, mereka mulai bercanda tidak lagi diam saja.
**