Bab 3 Berharap Cepat Selesai
Bab 3 Berharap Cepat Selesai
Sebuah ruangan yang klasik lengkap dengan rak buku yang tertata rapi membuat aroma pendidikan yang sangat kental. Seorang pria duduk di kursinya dengan seorang gadis yang ada di depannya. Pria itu tengah membolak balikkan kertas dan mencoret-coretnya.
Gadis yang duduk di depan pria itu terdiam dan menunggu pria itu menyelesaikan aktivitasnya. Tangannya meremas tasnya menghilangkan kegugupan yang terjadi di dalam ruangan ini. Terlihat jelas, gadis itu tengah menggigit bibir bagian dalamnya.
“Oke kamu revisi dua bab terakhir ini. Saya harap kamu sudah bisa sidang bulan depan. Waktu yang saya kasih cukup banyak sambil kamu siapkan mental kamu. Saya tunggu dua minggu lagi dengan hasil revisi yang lebih baik dari ini. Tetap semangat, Ra. Saya yakin kamu bisa,” kata seorang pria yang perkiraan usia pertengahan 30 sambil menyerahkan tumpukan kertas yang sedari tadi menjadi perhatiannya.
Naura, gadis yang saat ini duduk di depan pria itu yang menjadi dosen pembimbing tugas akhirnya itu terlihat sedikit bernapas lega. Mereka mulai bercakap sejak menghilangkan rasa tegang karena pembahasan sensitif ini bagi mahasiswa. Naura menerima tugas akhirnya yang baru saja di koreksi dan memasukkannya ke tas.
“Ada niat lanjut S2, Ra?” tanya dosen itu sambil melihat Naura yang memasukkan buku dan semua yang dia bawa.
“Masih belum tahu pak. Otak saya kan pas-pasan, pak. Pak Ridwan tahu sendiri selama ini saya seperti apa. Jadi masih belum kepikiran lanjut S2. Apalagi belum diskusi juga sama orangtua. Mama saya ‘kan orangnya cukup dibilang WOW, pak,” jawab Nuara mengingat mamanya yang tidak dapat di tebak.
“Jadi kamu akan langsung cari kerja?” tanya Pak Ridwan -Dosen Pembimbing Naura-.
“Iya, pak. Kalau begitu saya pamit ya, pak. Terima kasih atas waktu dan bimbingannya hari ini. Terima kasih juga sudah sering memberi motivasi saya,” pamit Naura yang menenteng tas dan berkas-berkas skripsi miliknya. Pak Ridwan hanya mengangguk dan memperbolehkan Naura meninggalkan tempatnya.
Di luar ruang dosen, Naura menghela napas lega nan panjang. Beban hidupnya sedikit terangkat mendengar ada yang juga berharap dia akan segera lulus. Gadis itu berjalan hingga sebuah suara keras memanggilnya.
“ARA!!” teriak gadis dengan potong rambut ala cowok yang membawa tas punggungnya. Naura berhenti dan menatap gadis yang berjalan mendekatinya.
“Gimana bimbingan hari ini sama Pak Ridwan?” tanya gadis itu.
“Aman. Pak Ridwan sih bilang berharap gue sidang bulan depan. Lo gimana sama Bu Santi?” jawab Naura sambil menanyakan hal yang sama.
“Tuh orang mulutnya pedas parah sih, Ra. Gue pikir pagi ini dia makan cabai ratusan biji kali ya, untung doi bilang cuma butuh revisi sedikit di bab akhir. Kalau kagak gue balik tuh mejanya. Kesel gue,” cerita gadis itu.
“Agni,” panggil Naura membuat Agni -gadis yang memanggil Naura- terdiam. “Yang sabar ya, tuh orang emang sensi sama angkatan kita tuh,” kata Naura sambil memberi nada menggoda temannya itu.
“Nongkrong yuk. Kafe gitu, sambil cuci mata di mal yuk,” ajak Agni. Naura pun menganggukkan kepalanya. Naura mengajak Agni ke mobilnya karena Agni jarang membawa mobil ke kampus.
Selama perjalanan mereka membahas banyak hal. Mulai dari diri sendiri hingga pacar Agni yang juga Naura kenal baik. Mereka tertawa dan bercanda bersama. Naura membelokkan mobilnya masuk ke area semua mal yang sering mereka datangi. Naura hanya membawa dompet dan hpnya keluar begitu juga dengan Agni.
“Ra, mau pesan apa?” tanya Agni yang melihat menu di kafe favorit mereka.
“Biasa aja Ag,” jawab Naura yang di balas sebuah anggukan oleh Agni.
“Mbak, es amerikanonya dua tanpa gula. Sama chocobox dessert satu ya mbak,” kata Agni pada pelayan yang mencatat pesanan mereka. Pelayan itu sempat mengulang pesanan Agni agar tidak melakukan kesalahan sebelum berlalu dari meja mereka.
“Gak sabar mau lulus kuliah gue, Ag. Capek juga gue lama-lama. Kayanya nih, Pak Ridwan tuh bisa baca gerak-gerik orang deh. Dia tadi pesan ke gue buat siapkan mental. Tahu banget mental gue yang kalau grogi kaya orang gak hidup,” kata Naura memulai percakapan mereka kembali.
“Iya lah. Gue juga berharap cepat selesai ini skripsi. Gak lagi gue mau berurusan sama Santiyem itu. Ngeselin orangnya,” keluh Agni. Naura tertawa saat mendengar Agni memanggil dosen pembimbingnya dengan nama julukan yang dia kasih sendiri.
“Nama dia bagus-bagus malah lo ganti jadi santiyem,” tawa Naura. Agni ikut tertawa melihat sahabatnya tertawa.
“Ini mbak pesanannya,” kata pelayan yang mengantarkan pesanan mereka membuat mereka berhenti tertawa dan mengucap terima kasih.
***
Agni menggantikan Naura menyetir mobil Naura, sedangkan gadis itu memilih untuk bermain game sambil mengobrol dengan Agni. Perjalanan pulang ke rumah Agni memang membutuhkan waktu cukup lama. Apalagi Naura menyuruh Agni untuk berjalan dengan perlahan agar dia dapat menyelesaikan gamenya.
“Lo sungguh ikut ke reuni mama lo?” tanya Agni saat Naura menceritakan hari kemarin pada Agni.
“Iya, mama maksa banget. Gak bisa apa kasih gue pilihan, heran gue. Dari dulu rasanya gue selalu di arahkan mama. Gak ada yang bisa gue bantah dari mama. Papa terlalu sibuk dengan kerjaannya sampai gue gak berani bebani pikiran papa,” cerita Naura sambil matanya tetap fokus pada benda pipih yang mengeluarkan bunyi tembakan dengan keras.
“Terus-terus?” tanya Agni penasaran.
“Ya gak ada terusannya Ag. Gue kesel. Masa waktu gue ajak balik, si mama malah ngomel sampai rumah. Kan gue juga butuh refreshing dan revisi gue semalam banyak banget. Ini aja untuk gak kena amuk Pak Ridwan yang manisnya bisa bikin diabetes,” jawab Naura yang mulai mematikan hpnya karena kalah.
“Lo garap revisi semalaman? Kerja rodi lo?!” kaget Agni.
“Ya kagak dong koneng, kan gue cicil. Nah semalam itu masih sisa setengah bab kalau gak salah. Gila aja kalau gue kerja rodi bersama nih skripsi. Bisa menjadi remahan kepala dan otak gue,” sahut Naura.
Mobil Naura berhenti di depan rumah Agni dan terlihat seorang yang cukup berumur sedang membersihkan taman Agni. Naura memperhatikan pria yang masih bekerja keras di usia senjanya itu.
“Lo naksir Mang Rahman?” tanya Agni melihat sahabatnya menatap intens sosok tukang kebun yang sudah mereka kenal sejak kecil.
“Mang Rahman makin tua ya. Apa anaknya gak mau ajak Mang Rahman hidup bareng gitu? Kasihan itu kerja di usia senjanya. Gue jadi gak tega sama papa gue. Kerja mereka beda tapi papa selalu kerja keras sama kaya Mang Rahman,” kata Naura yang tidak melepaskan pandangannya pada sosok Mang Rahman.
“Kadang juga gue kasihan sama Mang Rahman, Ra. Tapi gue juga gak mungkin minta mama buat minta Mang Rahman berhenti tapi tetap sama kita, karena Mang Rahman yang gak mau. Mang Rahman masih belum tahu anaknya ada di mana. Istrinya saja tidak ada kabar hingga saat ini. Mang Rahman orang baik aja bisa di tinggalkan sama orang yang dia cinta, gak habis pikir sejak gue tahu ceritanya,” balas Agni.
Mereka pun keluar dari mobil dan menyapa Mang Rahman. Mereka menyalami tangan Mang Rahman seperti seorang ayah. Mang Rahman terlihat terharu di perlakukan seperti itu dan sangat di hargai.
“Mang, Ara pulang dulu ya. Kapan-kapan Ara main ke sini. Mamang sehat terus ya,” pamit Naura.
“Iya, Neng. Aamiin. Hati-hati di jalan, Neng,” pesan Mang Rahman yang menerima uluran tangan Naura untuk menyalaminya lagi. Naura pun masuk ke dalam mobilnya dan menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Agni.
**