Bab 3. Kau Harus Bertanggung Jawab!
Sampai di apartemen, Belva hanya bisa diam dengan semua pemikiran tentang kehamilannya yang tiba-tiba. Tidak pernah ada di dalam tabel rencana hidupnya untuk hamil di usia semuda ini.
Setelah lulus kuliah, dia telah berencana untuk segera meraih impiannya sebagai Fashion Designer. Melamar di berbagai perusahaan fashion untuk mencari pengalaman kerja, mengumpulkan banyak uang dan berusaha untuk mendirikan perusahaanya sendiri.
Sebuah cita-cita dan ambisi besarnya yang selalu dia banggakan dan usahakan untuk bisa terwujud. Banyak hal yang telah dia korbankan untuk itu semua. Waktu, masa muda, dan banyak kesenangannya yang sengaja dia tunda untuk bisa mendapatkan beasiswa penuh dan lulus cepat dengan nilai sempurna.
Dia bahkan telah merencanakan nama perusahaannya sendiri dan membuat konsep yang akan dia usung nantinya. Rencana hidupnya benar-benar telah tertata rapi dan sangat sempurna.
Namun lihatlah sekarang, bukannya sibuk dengan usaha mewujudkan itu semua, saat ini dirinya justru harus memikirkan tentang kehamilan dengan kondisi tidak memiliki pekerjaan.
Sempurna sekali!
Helaan napasnya yang berat terdengar lagi. Jika Belva mengatakan ini adalah ujian hidupnya, tapi dia sendiri yang membuatnya. Andai saja malam itu dia tidak mabuk parah, andai saja dia tidak salah masuk kamar dan mengira bahwa pria tampan di depannya hanyalah sebuah mimpi, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.
Lagipula, apa yang telah merasukinya waktu itu sampai begitu bodohnya mengira bahwa itu semua adalah sebuah mimpi? Sial!
Belva mengerang frustasi. Kedua tangannya membenam pada kepalanya yang menunduk lesu. Saat ini, bagaimana dia mencari pekerjaan dengan kondisi hamil seperti ini? Adakah perusahaan yang mau menerimanya? Atau, bisa saja dirinya nekat untuk menciptakan brand sendiri dan memasarkannya tanpa pengalaman kerja yang memadai. Namun, itu semua membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Sementara saat ini, memikirkan keuangan untuk bulan depan saja sudah membuatnya ingin menangis. Tabungannya yang sengaja dia kumpulkan selama menjadi pekerja paruh waktu di Inggris, hampir menipis utnuk kebutuhan dua bulan ini.
Belva mulai berpikir untuk membicarakan hal ini dengan ibunya. Namun, niat itu segera dia urungkan karena dia tidak ingin membebani pikiran ibunya. Dia sudah berjanji untuk memulai hidup baru dengan penuh kesuksesan, bukan kehidupan baru dengan hamil tanpa tahu siapa ayah dari anak yang saat ini sedang dia kandung.
Pusing dengan semua pikiran yang memenuhi kepalanya, akhirnya Belva memutuskan untuk memejamkan matanya. Dia merangkak ke atas tempat tidur, membungkus dirinya dengan selimut tebal dan berharap jika ternyata semua ini adalah mimpi buruk, dan akan kembali normal saat dia kembali membuka mata.
***
Dua minggu berlalu, dan semua ini bukan mimpi yang sempat diharapkan oleh Belva. Hari ini, dia harus kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan.
Langkahnya seakan mengambang semenjak dia masuk ke dalam Alpha Hospital. Raganya berada di rumah sakit, tapi tidak dengan jiwanya. Tatapannya sering kosong, dan tidak memedulikan sekitarnya.
Bahkan sampai dia masuk ke dalam ruangan dokter untuk melakukan pemeriksaan USG pun, dia hanya diam sambil memperhatikan apa saja yang sedang disiapkan oleh dokter dan asistennya.
Alat USG digeser perlahan oleh dokter di atas perutnya yang telah dioles oleh gel dingin. Satu layar yang menempel di dinding, tepat di depannya menampilkan kondisi rahimnya pada tampilan hitam putih.
“Anda lihat titik kecil yang ada di sini?” ucap dokter, menunjukkan yang dia maksud dengan kursor di layar monitor. “Ini adalah janin yang saat ini berkembang di rahim Anda. Sangat sehat, dan kuat. Saya akan menunjukkan detak jantungnya.”
Tak lama, suara jantung dengan ritme yang lebih cepat dari milik Belva terdengar kencang. Seketika, dadanya yang tadi terasa kosong, kini perlahan seakan menemukan pegangan. Suara detak jantung itu menjadi bukti nyata bahwa ada kehidupan lain di dalam dirinya.
Belva terharu, emosinya naik cepat dan hampir membuatnya menangis. Namun dengan cepat segera ditahan. Dia tidak ingin menangis di depan orang lain. Bahkan jika masalah yang sedang dia hadapai lebih besar dari keberaniannya.
“Tidak perlu khawatir, janin Anda sangat sehat.” Dokter kembali menjelaskan setelah mereka duduk saling berhadapan di meja dokter. “Apakah muntah di pagi hari masih sering dirasakan?”
Belva mengangguk. “Masih, dan tidak ada satu pun makanan yang bisa saya makan di pagi hari. Apakah itu normal?”
Dokter menganggukkan kepalanya. “Sangat normal. Kehamilan selalu membuat hormon menjadi berantakan, hal itu yang menyebabkan mual dan muntah. Jangan khawatir, semakin bertambah usia kandungan, akan semakin berkurang rasa mual dan muntahnya. Akan saya resepkan obat untuk mengurangi rasa mual.”
Beberapa menit kemudian, setelah Belva mendapatkan beberapa saran untuk makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi dan tidak, serta mengantongi resep vitamin dan obat untuk kehamilan, perempuan itu keluar dari ruangan.
Farmasi adalah tujuannya saat ini. Sambil menunggu antrean, Belva duduk di kursi tunggu dengan kembali memikirkan banyak hal. Secara naluri, sebelah tangannya mendarat pada perut dan mengelusnya perlahan. Sebuah kehidupan yang ada di dalamnya, dia mulai mempertanyakan apakah sebuah anugerah atau musibah.
Namun, jika ini adalah musibah, bukankah nyawa setiap yang diturunkan ke dunia adalah berharga? Masalahnya adalah, bagaimana dia harus melewati semua ini?
Tak lama, Belva telah mendapatkan beberapa vitaminnya dan obatnya. Kali ini, dia merasa ironis dengan dirinya sendiri. Alih-alih duduk mengantre panggilan inteview kerja, sekarang justru mengantre untuk vitamin hamil. Sungguh kejutan kehidupan yang tidak pernah dia harapkan.
Saat Belva berjalan meninggalkan area farmasi, fokusnya teralihkan pada seorang dokter yang berjalan ke arahnya. Kedua matanya membelalak, dia yakin mengingat wajah itu. Namun, benarkah dokter itu adalah pria itu? Pria asing dengan wajah rupawan yang telah membuatnya hamil?
Belva memutuskan untuk menunggu jarak dokter itu semakin dekat dengannya untuk memastikan ulang. Sedikit lagi, sebentar lagi…
Benar! dokter yang sedang berjalan ke arahnya adalah pria itu! sangat mengejutkan ketika pria itu adalah dokter di rumah sakit ini. Mungkinkah ini sebuah takdir?
Belva kembali meyakinkan dirinya lagi. Benar, dia tidak salah duga. Pria itu benar pria yang menjadi cinta satu malamnya. Meskipun tiba-tiba saja Belva ragu untuk menyapa, tapi dia memang harus melakukannya. Anak di dalam kandungannya adalah milik dokter itu.
Setelah tarikan napas yang dalam dan diiringi dengan jantung berdebar kencang, Belva dengan penuh tekad melompat di depan pria itu dan menghadangnya dengan kedua tangan menggenggam erat tas selempang yang menyilang di dadanya.
Dokter tampan itu sedikit terkejut dengan kedatangan Belva yang tiba-tiba. Kedua alis tebalnya bertaut sambil memiringkan sedikit kepalanya. Tatapan matanya seperti tak asing melihat sosok perempuan yang ada di hadapannya. Namun, dia tetap menunjukkan rasa tenang dan profesionalnya dalam pekerjaan.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang dokter tampan.
Belva menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian memantapkan hatinya untuk menatap dokter itu dengan pandangan sedikit bergetar. “Ada, kau harus membantuku.”
Dokter tampan itu mengerutkan keningnya, menunggu Belva menyelesaikan kalimatnya dengan raut tidak sabar.
“A-aku,” ucap Belva sedikit tergagap. “Meminta pertanggung jawaban darimu!”