Bab 2. Berita Buruk
Dua bulan berlalu setelah kejadian memalukan yang telah Belva lakukan bersama dengan pria asing di hotel waktu itu. Beberapa kali juga dia masih sering membodohkan dirinya, karena apa yang telah dilakukannya memang bukan hal yang biasa baginya. Impian untuk mempersembahkan keperawanan bagi suaminya kelak telah hancur.
Pagi ini, sejak Belva bangun, dia merasa tidak enak badan. Beberapa badannya terasa nyeri, mirip saat dia akan mengalami menstruasi, tapi kali ini dia merasa lebih lemas dari biasanya.
Sepertinya itu adalah efek dari pikirannya yang terkuras karena selama dua bulan ini sering begadang untuk mencari lowongan pekerjaan. Nyatanya, lulus dari universitas bergengsi tidak langsung membuatnya mulus mendapatkan pekerjaan.
Belva mengerang di tempat tidurnya. Perutnya makin mual, dan dia tidak bisa menahannya lagi. Detik berikutnya, Belva telah berlari ke kamar mandi, dan menunduk di atas wastafel untuk muntah.
Tidak ada apa pun yang dimuntahkan kecuali cairan asam lambung kuning yang menyebarkan rasa pahit di rongga mulut. Belum ada makanan yang masuk ke perutnya dari semalam.
Belva semakin yakin bahwa dia sedang masuk angin. Terlalu fokus mencari pekerjaan sampai membuatnya sering melupakan makan, dan berujung pada kondisi tubuhnya yang menjadi rentan terhadap sakit.
Rasanya aneh, bahkan ketika sudah muntah berkali-kali, tapi rasa mual pada perutnya tidak kunjung membaik. Belva pikir, mungkin karena dia belum makan. Ya, benar. Itu adalah alasan yang tepat.
Jadi, setelah Belva membersihkan wajah dan menyikat giginya, dia bergegas ke dapur untuk membuat sarapan sederhana yang bisa meredakan lonjakan asam lambung di perutnya yang kembali meronta.
Tidak ada bahan makanan selain sosis dan telur. Tidak masalah, Belva sudah terbiasa dengan makan seadanya selama ini. Dengan cekatan, dia membuat omelete dan memanggang sosis. Setelahnya, dia kembali berpikir, lebih baik teh panas atau susu. Meskipun susu terdengar bisa memenuhi kebutuhan proteinnya, tapi kondisi perutnya yang tidak bersahabat tampaknya akan menjadi lebih kacau. Dia mengambil satu kotak teh hitam di dalam laci sebelah wastafel, dan segera menyeduhnya dengan air panas.
Perutnya terasa nyaman saat dia meneguk teh panas itu. Dalam hati, dia memuji pilihannya sendiri. Omelete dan sosis yang masih hangat segera dia santap. Belva takjub karena baru menyadari betapa laparnya dia saat ini.
Setelah ini, dia akan membiarkan dirinya beristirahat sebentar. Mungkin sampai siang, sebelum kembali mencari lowongan pekerjaan melalui laptopnya lagi. Saat ini, dia semakin mengerti kenapa banyak orang yang mengeluh tentang menjadi dewasa ternyata sulit.
Belva muda adalah seseorang yang menganggap dewasa adalah kata keren yang penuh dengan kebebasan terhadap keputusan untuk menjalani hidup. Memang benar, tapi dia tidak pernah membayangkan di balik kata bebas, ada terselip kata depresi yang besembunyi di balik bayangan.
Belva menghela napasnya. Dia tidak memiliki tenaga untuk membereskan bekas makannya. Nanti siang saja saat dia selesai beristirahat. Namun, saat dia baru mulai merebahkan dirinya lagi di atas kasur, mual yang mendesak di kerongkongannya semakin menjadi-jadi.
Perempuan itu segera berlari lagi ke kamar mandi, dan kembali muntah-muntah di atas wastafel. Kali ini, semua makanan yang telah dia santap tadi terbuang semua. Belva terengah-engah. Selama hidupnya, dia belum pernah merasakan masuk angin yang luar biasa seperti saat ini.
Sepertinya ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Belva yakin tubuhnya memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang parah di dalam dirinya. Sambil kembali merangkak ke atas kasur, Belva meraih ponselnya untuk membuat janji dengan dokter di rumah sakit terdekat, Alpha Hospital.
***
“Nona Halburt,” panggil seorang resepsionis pendaftaran.
Belva beranjak dari kursinya, dan menghampiri sang resepsionis dengan senyum ramah mengembang.
“Silakan tunggu di depan ruang prakter dokter umum, setelah itu Anda akan dipanggil sesuai dengan nomor antrian.” Resepsionis tadi menjelaskan.
Belva mengangguk dan tersenyum. “Baik. Terima kasih.”
Belva cukup familiar dengan rumah sakit ini. Meskipun dia jarang ke sini, tapi dia seakan memiliki hubungan erat dengan pemilik rumah sakit ini, keluarga Ducan. Ibunya adalah salah satu pekerja di keluarga Ducan, dan secara kebetulan, dia berhasil kuliah di universitas bergengsi juga karena beasiswa dari keluarga Ducan. Oleh karena itulah, Belva seakan memiliki ikatan tersendiri dengan semua hal yang berkaitan dengan keluarga Ducan.
Belva telah duduk di depan ruang praktek dokter. Mualnya mulai berkurang sejak dia berhasil istirahat siang tadi. Masih terasa tidak nyaman, tapi tidak membuatnya ingin muntah lagi.
Seorang anak kecil tiba-tiba menghampirinya, kemudian menatapnya lekat-lekat sambil tersenyum. “Kakak cantik sekali.”
Belva tersipu mendengarnya. Di matanya, anak kecil itu juga sangat cantik. Memiliki mata bulat dan rambut ikal berwarna pirang yang mengilat terkena pantulan lampu ruangan. Tak lama, seorang wanita berpenampilan anggun menghampiri mereka.
“Wendy, jangan ganggu kakak cantik. Ayo ke sini,”ucap wanita itu.
Belva mendongak dan tersenyum. “It’s oke, dia cantik sekali.”
“Terima kasih,” ucap wanita itu lagi. “Maaf karena dia telah mengganggumu. Selamat sore, Nona. Semoga lekas sembuh.”
Kemudian, anak dan ibu itu berlalu. Belva tersenyum dengan terus memperhatikan keduanya. Lucu sekali. Entah kenapa, Belva menjadi terbayang dengan mata bulat milik anak kecil tadi.
“Nona Belva Halburt!” seru seorang perawat yang baru saja keluar dari ruangan dokter.
Belva langsung berdiri dan bergegas masuk ke dalam ruangan. Jantungnya berdebar kencang. Tiba-tiba dia takut ada penyakit aneh yang tiba-tiba bersarang di dirinya. Mungkinkah pengaruh alkohol yang membuatnya sampai kehilangan akal waktu itu?
Tak lama, pintu ruangan kembali terbuka. Tatapan mata Belva terlihat kosong. Beberapa orang yang sedang duduk di bangku tunggu terlihat memberikan simpatinya. Mungkin, mereka menduga Belva baru saja menerima vonis dokter yang tidak diinginkan.
Well, benar. Semua yang dikatakan dokter memang tidak diinginkan oleh Belva. Sangat tidak masuk akal, tapi juga terdengar masuk akal. Gadis itu berjalan tanpa melihat ke kanan kiri lagi. Tatapannya lurus, menuju pintu keluar rumah sakit.
Bahkan saat di dalam taksi, dia masih memutar ulang perkataan dokter yang menanganinya tadi. Kedua tangan Belva menangkup di wajah, membenamkannya kasar dan kemudian menggeleng cepat.
Sial! Bagaimana bisa berhubungan badan satu kali bisa membuatnya hamil? Terlebih lagi, pria yang melakukannya adalah orang asing yang bahkan namanya saja dia tidak tahu.
Bagaimana ini? Pemeriksaan tespack, dan juga penghitungan siklus haid-nya menunjukkan bahwa dia benar-benar hamil. Sementara mual dan muntah yang dia yakini sebagai tanda masuk angin, ternyata adalah tanda gejala awal kehamilan.
Belva bodoh!
Berkali-kali dia meneriakkan itu dalam hatinya. Jika pagi tadi dia merasa sedikit takut karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, kali ini dia langsung dibawa paksa masuk ke dalam fase depresi. Oh Tuhan, dia benar-benar merasa tidak siap dengan kehamilan ini.
***