Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Wajah Babak Belur

Bab 9 Wajah Babak Belur

"When you try your best but you don't succed, when you get what you want but not what you need, when you feel so tired but you can't sleep, stuck in reverse."

Fix You - Coldplay

Kaisar mengabulkan keinginan Kirena untuk tidak menemui dan mengganggu Kirena lagi. Meski demikian, Kirena selalu mendengar kabar tentang Kaisar dari Kai atau Kleana karena mereka berdua selalu mengeluh mengenai sikap Kaisar yang semakin keterlaluan. Sagara juga sering datang ke kafe untuk bekerja, katanya dia tidak bisa berkonsentrasi kalau kerja di kantor, kadang laki-laki itu datang bersama Nero atau Raga dengan alasan yang sama; menghindari Kaisar yang suasana hatinya sedang buruk.

Hari ini mereka juga melakukan hal yang sama, datang ke kantor hanya sekadar meminta izin pada manajer kalau mereka akan bekerja diluar. Untungnya manajer mengerti dengan keadaan mereka dan memperbolehkan. Maka dari itu, sekarang Sagara dan Raga tengah sibuk berdiskusi di sudut kafe.

"Konsentrasi aku keganggu." Raga menguap lebar lalu melihat ke sekeliling kafe, tetap ramai meski masih jam kerja. Sepertinya perubahan yang dilakukan Sagara pada Gravity Cafe membawa pengaruh banyak. "Kaisar ada di kantor tapi dia malah ngelamun bukannya kerja. Tapi, kok wajahnya bisa babak belur begitu, ya?"

Sagara mengangkat wajah menatap Raga. "Dia punya kerjaan lain."

"Kerjaan lain? Apa? Kalau punya kerjaan lain kenapa dia malah kerja di Renero?"

Sagara mendesah, sepenuhnya teralihkan dari layar laptop. "Yang kerja di Renero itu Kairo, Kaisar punya kerjaan lain."

Raga melongo. "Maksudnya mereka punya kerjaan masing-masing. Gila."

"Mereka memang gila." Sagara menyetujui dengan cepat. Sesaat pandangannya terarah ke arah meja bar, keningnya berkerut dalam melihat Kirena tengah bicara dengan seorang laki-laki yang jelas bukan Kai apalagi Kaisar.

"Bukannya itu Reynald, ya?" tanya Raga melongo.

Sagara menatap Raga terkejut. "Kamu kenal sama Reynald?"

Raga langsung menggelengkan kepala. "Tidak, tapi sepupu aku yang kerja di BIN sering cerita tentang Reynald. Katanya kerja Reynald bagus sekali sampai bisa dapat promosi cepat dibandingin pegawai lain."

Sagara tersedak, Reynald bekerja di Badan Intelejen Negara? Yang benar saja? Karena merasa curiga, dia menatap Raga penasaran.

"Bercanda, ya? Anggota BIN itu susah sekali diketahuinya. Katanya identitas mereka dilindungi."

Raga mengedikkan bahu, menatap Reynald dengan pandangan serius. "Memang. Tapi mulut sepupu aku itu embernya keterlaluan kalau lagi mabuk. Untung dia memberi tahunya cuma ke aku doang, 'kan kalau ke yang lain berabe. Lagian, mereka tidak perlu nyembunyiin identitas, setahu aku mereka bukan agen khusus."

Sagara menganggukkan kepala, kedua matanya terus menatap Reynald penuh perhitungan.

"Itu dari Om Sutiono." Reynald memberikan undangan ke hadapan Kirena, tidak biasanya laki-laki itu mau makan siang di Gravity. "Beliau menyuruh kamu supaya datang ke acara ulang tahun perusahaan. Minggu depan kalau tidak salah."

Kedua mata Kirena menatap kosong kartu undangan tersebut.

"Kamu tidak bisa menolak." Reynald kembali berkata. "Kamu harus datang ke sana, beliau bilang mau buat pengumuman resmi."

Mendengar hal tersebut, Kirena semakin gelisah. "Apa mungkin Papa mau ngumumin pengganti resminya? Tapi Mas Daffa tidak cerita apa pun. Dia juga akan keberatan sekali kalau Papa nyuruh Mas Daffa ngegantiin posisi Papa di perusahaan."

Sebelah alis Reynald terangkat. "Kamu takut tidak kebagian, ya?"

Kirena mendelik kesal. "Yang benar saja?!" Wajahnya memerah, dia memalingkan wajah dan membuat Reynald terkekeh. "Kamu pasti tahu sifatku, kenapa bercanda begitu?"

Masih tersenyum lebar Reynald mengedikkan bahu. "Soalnya kamu kelihatan lucu kalau lagi kesal begitu."

Bibir Kirena mengerucut. "Dasar aneh, aku tidak tertarik sama perusahaan Papa atau lainnya, aku cuma berpikir kalau Papa mau mengumumkan sesuatu di acara ulang tahun perusahaan, bukannya itu artinya semuanya sudah ditentuin? Kalau begitu mungkin saja dia tidak akan ... padahal seharusnya dia juga mendapatkannya juga." Perempuan itu mendesah panjang. "Tapi sebenarnya, ada hal yang membuatku lebih bingung."

Reynald yang saat itu sedang meminum latte segera menatap Kirena. "Bingung kenapa?"

"Tiba-tiba sikap kamu jadi manis begini, biasanya juga cuek. Tiap kali ketemu pasti yang dibahasnya 'kapan pulang?' atau 'sampai kapan kamu mau seperti gini?' atau bahkan 'jangan bergaul sama mereka. Tidak baik buat diri kamu' seperti itu."

Sontak saja Reynald tertawa lepas hingga menarik perhatian banyak orang. "Karena sekarang aku tahu kamu yang sebenarnya. Hanya saja, kamu masih belum bisa melepas topengmu. Kalau kamu melakukannya, mungkin aku akan benar-benar merebutmu."

"Apa?" Kirena menatap Reynald tidak mengerti, kenapa laki-laki itu bicara hal yang sulit Kirena mengerti.

Reynald melambaikan tangan. "Bukan apa-apa. Kembali ke topik awal, Om Sutiono menyuruh kamu agar datang."

Kirena mendesah panjang. "Aku masih belum mampu ... kalau aku datang Mama pasti ada di sana. Beliau pasti kecewa padaku."

"Benar. Apalagi kalau Tante Iliana tahu tentang 'mereka'." Tatapan Reynald menerawang. "Mbak Hana memberitahuku, kondisinya semakin memburuk."

Kirena ikutan diam, tatapannya menyalang. Raut wajah anak kecil yang dilihatnya setahun lalu di basement kantor sang Papa muncul dalam kepalanya dan tidak mau hilang. Dia tersadar saat merasakan genggaman hangat Reynald.

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri." Reynald tersenyum menenangkan. "Berhenti menanggung beban yang semestinya tidak kamu tanggung sendirian. Bukankah ini waktunya buat kamu memberi tahu ke mereka?"

Kirena merenung memikirkan perkataan Reynald. "Mereka pasti shock kalau tahu semuanya, Rey."

"Kamu takut keluarga kamu hancur kalau mereka tahu semuanya?"

Kirena menganggukkan kepala. "Aku belum siap."

Reynald menarik napas panjang. "Ya sudah, toh yang sakit juga kamu sendiri."

Kirena mencubit lengan Reynald karena kesal. "Kalau makanannya sudah habis sana pergi saja. Nanti kerjaan kamu makin terbengkalai."

Reynald menaikan sebelah alis lalu tersenyum lebar. "Padahal aku masih betah di sini. Kalau aku nyerah terus memberi tahu kalau kamu kerja di Gravity Cafe sama Mas Daffa pasti ..."

"Jangan coba-coba." Kirena segera memperingati. "Jangan kasih tahu siapa pun kalau aku kerja di sini. Kalau Mas Daffa tahu aku kerja di sini, dia pasti mematai-mataiku seperti dulu."

Reynald mengangguk sekali saat ingat keluhan Kirena karena Daffa selalu membuntutinya ke mana pun perempuan itu pergi sehingga Kirena tidak bisa bergerak bebas.

"Aku hampir nyerah menghadapinya." Reynald melihat ke arah piring Kirena yang masih penuh oleh pasta. "cepatan habisin pastanya nanti dingin."

Kirena segera memberikan latte lagi pada Reynald saat melihat laki-laki itu hendak pergi. "Buat diperjalanan. Hati-hati, jalanan pasti macet."

Reynald menganggukkan kepala. "Tentu. Nanti aku jemput pulang nanti."

Kirena hanya tersenyum lalu menatap ke arah kartu undangan di atas meja. Dia menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan pikiran-pikiran buruk dalam kepalanya. Dia segera bertanya saat dua orang perempuan datang untuk memesan.

"Saya mau caramel macchiato dan croissant cokelat., kamu mau apa, Ndri?" Salah satu dari mereka bertanya seraya melihat menu.

Kirena yang saat itu sedang menundukkan kepala tiba-tiba menjadi waspada, merasa familier dengan suara pelanggan itu. Dengan kaku, dia mengangkat kepala. Matanya membulat besar melihat dua orang wanita yang sejak dulu paling dia hindari.

"Greentea latte sama ... ohh!" Perkataan salah satu wanita itu terhenti saat melihat wajah Kirena. "Kirena?"

Teman wanita itu ikutan melihat Kirena, sesaat terlihat terkejut sebelum akhirnya tersenyum meremehkan. "Aku tidak menyangka bisa ketemu kamu di sini." Dia melihat ke sekitar kafe dan celemek yang dipakai Kirena. Senyumnya semakin lebar, bukan jenis senyuman tulus apalagi bahagia melainkan jenis senyum meremehkan dan penuh ejekan.

"Aku kira setelah keluar dari Ravelio's, hidup kamu akan tambah sukses ... tapi ternyata seperti gini. Untung kamu ajak aku kongko dulu di sini, Ndri. Jadi aku bisa lihat keadaan Kirena tanpa bantuan dari Bokapnya, ternyata menyedinkan."

"Tidak heran juga sih." Indri menimpali. "Dia masuk Revelio's karena Bokap sama Abangnya punya uang gede jadi masuk ke perusahaan dengan cara curang. Lihat saja sekarang, tanpa bantuan Bokap sama Abangnya dia malah jadi barista di kafe rendahan seperti gini."

"Benar." Tatapan wanita itu tertuju pada Kirena. "Tanpa Bokap sama Abangnya dia tidak bisa apa-apa dan mungkin saja tidak akan jadi apa-apa."

Kirena mengepalkan tangan, berusaha untuk tidak terpancing emosi saat mendengar hinaan Indri dan Indri. Mereka adalah rekan Kirena sewaktu bekerja di Revelio, awalnya mereka berdua baik sampai kemudian merasa iri saat para atasan memuji kinerja Kirena, mereka bahkan menyebarkan gosip tentang Kirena yang masuk bukan lewat wawancara dan diseleksi secara ketat tetapi lewat jalur belakang karena investasi yang dijanjikan sang Papa pada pemilik Ravelio.

Sebenarnya Kirena sedikit takut pada mereka, mulut dua wanita itu sangat berbisa hingga membuatnya trauma bahkan menjadi alasan lain hengkangnya Kirena dari Ravelio. Semenjak keluar dari Ravelio, Kirena tidak pernah berharap akan bertemu dengan mereka.

"Caramel Macchiato, croissant cokelat, greentea latte dan apa lagi?" tanya Kirena, mengabaikan ejekan dua wanita itu, pandangannya terus menatap ke bawah.

Nindi tertawa pelan. "Aku jadi tidak mood setelah lihat wajah dan keadaan kamu."

"Ya sudah, mending kita pergi ke kafe lain saja." Indri mengambil uang lembar seratusan dari dalam tas lalu melemparkannya ke atas meja. "Anggap saja sebagai tip meski kita tidak jadi pesan. Toh, sepertinya sekarang ini kamu pasti lagi butuh sekali uang."

Nindi menatap Indri terkejut. "Baik sekali sih kamu, Ndri. cepatan bilang 'makasih' ke Indri. Kapan lagi kamu bisa dapat uang segede itu dalam waktu cepat. Anak manja seperti kamu pasti butuh banyak uang."

Tangan Kirena mengepal, sepenuhnya mengabaikan uang yang dilempar Indri ke hadapannya. Dia menarik napas panjang. "Jika kalian tidak mau memesan, silakan pergi."

Wajah Nindi dan Indri memerah karena kesal. "Tidak tahu terima kasih memang." Indri menatap Nindi. "Nanti kita ajak temen-temen ke sini, biar mereka tahu hidup Kirena sekarang seperti gimana."

Setelah permisi dengan kata-kata yang teramat sangat sopan, Nindi dan Indri pergi. Sejak kedatangan mereka, Kirena merasa gelisah. Takut jika Nindi dan Indri datang lagi ke sini dan membawa rekan kerja mereka ke sini lalu mereka menertawakan dirinya lagi seperti tadi.

Namun rupanya ketakutan Kirena tidak terjadi, besoknya Nindi dan Indri memang datang lagi. Tetapi bukan untuk menghina melainkan untuk meminta maaf atas perlakuan kasar mereka kemarin, Kirena kebingungan melihatnya apalagi saat Nindi dan Indri datang dengan penampilan kacau balau, memohon padanya untuk memaafkan mereka dan berjanji akan tutup mulut serta tidak akan datang menemui Kirena asalkan mereka dimaafkan.

Benar-benar aneh, pikir Kirena.

Tidak hanya itu saja, pernah suatu hari saat Kirena baru pulang dari kafe, dia tidak sengaja ditabrak oleh sepeda hingga membuat tangannya lecet. Keesokan harinya, pengendara sepeda yang sempat melarikan diri datang menemui Kirena dan meminta maaf atas apa yang dilakukannya. Pengendara sepeda itu bahkan memaksa Kirena untuk pergi ke rumah sakit.

"Ada apa sih sama orang-orang? Sikap mereka aneh sekali." Gumaman Kirena harus terhenti saat kedua matanya menangkap sosok laki-laki tengah berdiri di depan pintu dengan wajah babak belur.

Kaisar kenapa lagi?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel