Bab 5 Jangan Pernah Sebut Nama Dia Di Depanku
Bab 5 Jangan Pernah Sebut Nama Dia Di Depanku
"Kami tidak bisa memperbaiki ini untukmu, tetapi kami ada di sini untuk mendukungmu."
BTS: Burn The Stage
"Kamu pasti punya nomor telepon pribadi Kairo. Mas minta, dong."
"Kamu pasti deket sama Kairo, tolong pertemukan Mas sama Kairo, dong."
"Mas harus bicara sama Kairo, nanti Mas kasih apa pun yang kamu mau."
"Kirena."
Kirena menundukan kepala, kenapa sikap Daffa tidak mencerminkan usianya yang sudah dewasa? Dia menghela napas panjang sambil berusaha sabar menghadapi Daffa yang tidak sabaran.
"Harusnya dari dulu kamu bilang kalau kamu kenal sama Kairo. Dia itu bukan orang sembarangan lho, ide kreatifitasnya itu whoahh ... banyak perusahaan yang mengincar dia buat bergabung sama perusahaan mereka. Tapi karena keuntungan kerja di Renero tinggi sekali, Kairo tidak mau pindah. Dia juga jarang menerima proyek kalau tidak mau."
Kirena meminum air teh panasnya lalu mendesah panjang, sebenarnya malas mendengar cerita tentang Kairo.
"Biasanya setiap produk yang dia tangani, pasti terjual habis dan menarik banyak peminat. Mas sama Papa juga lagi mengincar Kairo buat produk yang akan kami luncurkan beberapa bulan lagi. Tapi, melihat Kairo yang sepertinya tidak baca email dari kami, kepaksa kami cari Copywriting lain."
"Mas Daffa, sejujurnya aku tidak sedekat itu sama Kairo. Dia cuma pelanggan biasa." Bahkan Kirena baru tahu ternyata pekerjaan Kairo sehebat itu, padahal selama dia mengenal Kairo, laki-laki itu sama sekali tidak terlihat pintar atau mengesankan. Kairo malah terlihat seperti pengangguran kurang kerjaan.
"Ya, "kan kamu bisa minta nomor teleponnya pas Kairo datang ke kafe." Daffa tetap memaksa. "Pokoknya Mas dukung hubungan kalian seratus persen. Kalau Papa tidak ngerestui kalian, kalian menikah lari saja."
Karena kesal, Kirena mencubit tangan Daffa gemas. "Berisik, ah. Kalau mau Mas Daffa minta saja sendiri. Nanti Mas keenakan kalau aku kenalin ke Kairo, itu namanya nepotisme."
Daffa merengut lalu mendesah panjang. "Ya sudah deh kalau tidak mau memberi tahu tidak apa, tapi kamu harus memberi tahu di mana kamu kerja sekarang? Gajinya lumayan besar, kan? Apa selama ini kamu kekurangan?"
Sebenarnya Kirena enggan menjawab pertanyaan Daffa, meski kakaknya itu perhatian tetapi sesungguhnya dia sangat tahu niat dibalik sikap perhatian Daffa yang terkesan berlebihan.
"Mas Daffa belum nyerah, ya?"
Daffa tertawa. "Kamu tahu saja. Sepertinya Mas benar-benar tidak bisa bujuk kamu, ya." Sesaat dia menoleh ke sekitar yang mulai sepi. "Keasyikan ngobrol sama kamu Mas sampai lupa waktu kalau ini sudah malam. Kamu pulang sekarang, ya. Mas anter."
Sontak saja kening Kirena berkerut dalam, dengan enggan dia berjalan mengikuti Daffa keluar. "Bilang saja kalau Mas mau ketemu sama Kleana."
Daffa berbalik seraya menyengir lebar. "Kamu paling memang yang terbaik, selalu tahu apa yang Mas inginkan. Lagian, kalau Mas tidak bisa dapat informasi tentang Kairo darimu, tapi seetidaknya Mas bisa ketemu sama Ana. Eh, tunggu!"
Kirena mengaduh sakit saat tiba-tiba Daffa berhenti melangkah sehingga kepala perempuan itu menubruk punggung keras Daffa.
"Mas Daffa, ih! Kalau mau berhenti itu bilang-bilang, dong. Sakit nih."
Daffa mengabaikan keluhan Kirena dan meneatap adiknya serius. "Mas baru ingat kalau Ana juga kerja di Renero. Mungkin Ana sama Kairo saling kenal, atau bahkan mereka akrab karena satu gedung. Benar. Kenapa aku baru ingat sekarang, ya." Dia bergumam sendiri sambil tersenyum bodoh.
Kirena melongo, baru tahu kalau ternyata kakaknya ini bisa menebak kalau Kairo dan Kleana berteman baik.
"Mas bisa minta bantuan Ana. Akhirnya, setiap ketemu sama kamu pasti Mas selalu dapat pencerahan buat jalan keluar masalah yang Mas hadapi." Dengan lembut Daffa menepuk kepala Kirena. "Makasih. Harusnya kamu balik ke rumah biar Mas bisa terus dapat pencerahan."
"Memangnya aku ini apa?!" Kirena menggerutu, menyingkirkan tangan Daffa dari kepalanya dan berlalu keluar mendahului Daffa.
"Mas baru ingat, Ana suka kue balok, kan?"
Kirena segera menoleh ke belakang saat mendengar pertanyaan Daffa, sekilas dia melihat ke arah penjual kue balok langganan Kleana. "Kenapa memangnya?"
Daffa tersenyum dan menarik perempuan itu ke arah pedagang kue balok. "Pak, mau yang rasa keju sama cokelat, ya. Masing-masing dua."
"Mas mau beli buat Mama?" Kirena menatap Daffa tidak emngerti. "Tapi, Mama tidak suka kue balok."
"Ini bukan buat Mama, tapi buat kamu sama Ana. Mas harus membuat Ana terkesan biar Ana nerima perasaan Mas."
Kirena hanya bisa memutar bola mata. Membiarkan saja Daffa yang mengoceh tentang cara mendapatkan hati Kleana.
"Mas Daffa pulang saja sendiri, aku bisa jalan kaki. Deket, kok."
Daffa menggelengkan kepala, tetap ingin mengantar Kirena pulang. Dirinya pasti akan jadi kakak yang sangat kejam jika membiarkan adik kesayangnnya pulang jalan kaki malam-malam begini. Laki-laki itu senang saat Kirena tidak punya alasan lagi untuk menolak keinginannya.
"Yang tadi itu Mas serius," kata Daffa memecah keheningan, merasa bingung karena sedari tadi Kirena tidak bicara apa pun. "Apa selama ini kebutuhan kamu tercukupi? Sangat sulit hidup sendiri dengan pekerjaan seperti itu, apalagi kamu masih pemula. Kalau kamu mau, Mas bisa bantu kamu. Mas bisa ..."
"Tidak perlu," tolak Kirena segera. "Lagian, Mas Daffa sudah banyak bantu aku. Yang bayar kosan juga Mas bukan aku, kadang Mas Daffa suka memberi uang tiap kali ketemu, jadi kebutuhan aku lebih dari tercukupi." Dia tersenyum. "Mas jangan sedih apalagi merasa bersalah. Kalau Mas pulang ke rumah nanti, tolong bilangin ke Mama kalau aku bakal usahain buat telepon Mama."
Meski Kirena tersenyum lebar seperti itu, wajah Daffa tetap datar. Masih merasa bingung. Dia mengerutkan kening saat melihat mobil di depan rumah Kleana, laki-laki itu segera menoleh pada Kirena dengan panik.
"Kamu tidak pernah cerita kalau Ana sudah punya pacar." Mendadak Daffa menjadi panik.
Kirena ikut melihat mobil yang terparkir di depan rumah Kleana, rasanya dia tidak asing dengan Range Rover hitam itu. Bukankah itu mobil yang sering dipakai Kairo? Mungkinkah Kairo ada di rumah Kleana?
Sontak saja Kirena panik, bisa kacau semuanya kalau Daffa bertemu dengan Kairo. "Kleana tidak punya pacar, kok. Itu ..." Dia berpikir keras, mencari alasan yang masuk akal agar Daffa percaya padanya. "Mobilnya Kai!"
"Kai?" Bukannya tenang, Daffa malah semakin panik. "Pacarnya Ana memberi dia mobil? Range Rover?"
Kirena memutar bola mata. "Bukan. Kleana tidak punya pacar. Kai itu bosku, dia sama Kleana sahabat sekaligus rekan kerja. Dan Kai sudah menikah." Buru-buru Kirena memberitahu status Kleana sebelum Daffa semakin salah paham. "Tadi hujannya deras sekali, karena Kleana masih ada kerjaan jadi harus pergi, Kai minjemin Kleana mobilnya biar tidak kehujanan."
"Benar? Itu mobilnya Kai. Bos kamu, temennya Ana bukan pacarnya?"
"Iya. Ishh, untuk apa juga masih berharap sama Kleana? Dia 'kan berulang kali bilang tidak bisa nerima perasaan Mas. Mending berhenti saja, nanti Mas tambah sakit." Ketika jaraknya dengan rumah Kleana tidak jauh lagi, dia segera meminta Daffa untuk berhenti.
"Tapi rumahnya ada di sana. Mas juga mau ketemu sama Ana. Mas kangen sama dia."
Kirena menggelengkan kepala, setelah mengambil kue balok dari kursi belakang, dia segera turun dari mobil. "Biasanya jam segini Kleana sudah tidur. Kalau Mas ganggu dia, nanti Kleana tambah tidak suka sama Mas. Ya sudah, aku masuk dulu. Hati-hati di jalan. Dahh."
Tanpa menunggu balasan dari Daffa, Kirena segera membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah sambil sesekali melihat ke belakang. Memastikan kakaknya sudah pergi.
"Kalau acara ini berhasil kamu laksanain sampai ke puncak acara, Naraka akan langsung menyetujui proposal ini, meski aku ragu akan ada yang minat pakai sistem ini buat pernikahan mereka. Lihat poin yang ini, mending hapus saja deh tidak terlalu berguna juga."
Kirena mendengar suara gumaman Kairo dari arah ruang dapur, dia segera berjalan menuju sumber suara. Terkejut melihat Kairo tengah duduk di kursi bar sambil membaca proposal Kleana, sedangkan Kleana sendiri tampak kebosanan.
"Kamu kapan baliknya, sih? Kirena pasti masih lama pulangnya."
Kairo menggelengkan kepala dengan wajah percaya diri. "Tapi, hati aku mengatakan kalau kencan mereka tidak berjalan lancar. Pasti selama Kirena kencan, dia membicarakan aku yang baik-baik."
Sontak saja wajah Kleana berubah datar. "Kepercayaan diri kamu itu sudah tidak bisa ditolong lagi."
Kairo tersenyum polos, dia menoleh ke belakang. Senyum di wajahnya semakin melebar saat melihat Kirena.
"Tuh, kan! Kata aku juga apa. Kencan mereka tidak berjalan lancar."
Kompak Kleana dan Kirena memutar bola mata. Dengan enggan, Kirena berjalan ke arah meja bar lalu memberikan kue balok pada Kleana.
"Dari Mas Daffa. Dia masih nunggu kamu balas perasaannya." Tidak memedulikan pekikan senang Kleana, kini kedua mata Kirena menatap ke arah Kairo yang masih juga tersenyum penuh percaya diri. "untuk apa kamu di sini?"
"Nungguin kamu, dong. Apalagi memangnya?" Dia menarik Kirena agar duduk di sampingnya. "Aku ini baik 'kan? Mau nunggu kamu yang lagi kencan sama laki-laki brengsek."
Lebih baik Kirena tidak bilang bahwa sebenarnya dia menghabiskan waktu dengan Daffa bukannya Reynald.
"Kamu tadi pergi gitu saja padahal aku masih kangen sama kamu. Makanya aku ke sini." Senyum Kairo semakin lebar. "Meski rasa kangen aku masih sama besarnya seperti tadi, tapi seetidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak kalau sudah lihat kamu pulang dengan selamat."
Seolah terbius dengan binar di mata Kairo, Kirena tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Anehnya, kenapa Kairo terlihat begitu manis malam ini? Kirena buru-buru menggelengkan kepala saat pikiran konyol itu melintas di kepalanya.
Kairo bangkit berdiri. "Karena kamu sudah pulang dengan selamat, aku pergi dulu. Kamu istirahat yang baik. Dan tolong, mimpiin aku ya."
Rasa terpesona yang sempat Kirena rasakan terhadap Kairo hilang seketika. Dia melengos tidak peduli.
Kairo terkekeh melihat hal tersebut dan pamit pergi pada Kleana. Ketika laki-laki itu hendak membuka pintu, tiba-tiba dia terjatuh sambil memegangi kepala. Awalnya Kirena pikir Kairo sedang bercanda, namun melihat Kairo yang tampak kesakitan sambil mencari sesuatu dalam kantung jaketnya, membuat dia panik juga.
"Kairo. Kamu kenapa? Apa kepalamu sakit?"
Kairo menggelengkan kepala seraya menjauh dari Kirena, sesekali laki-laki itu bergumam seolah sedang bicara pada seseorang.
"Sial." Kleana menarik tangan Kirena. "Masuk ke dalam kamar kamu cepat."
Kirena menatap Kleana bingung. "Ta-tapi Kairo ..."
"Sana masuk saja." Kleana mendorong Kirena agar perempuan itu pergi.
"Kenapa kamu menyuruh dia bersembunyi?" Tiba-tiba Kairo bertanya, tatapannya yang semula hangat kini berubah dingin. Tidak ada senyum di wajah tampannya.
Kirena menatap Kairo bingung, sikap laki-laki itu terlihat aneh. "Kairo, kamu tidak apa? Apa kepalamu masih sakit?"
Pandangan Kairo tertuju pada Kirena, kepalanya meneleng. "Aku bukan Kairo, dan jangan pernah sebut nama dia di depanku."
Kirena semakin bingung, dia menoleh pada Kleana. Wajah perempuan itu terlihat begitu pucat, Kleana bahkan menarik tangan Kirena dan menyembunyikannya ke belakang tubuh Kleana.
"Kaisar?" panggil Kleana ragu.