Bab 11 Mengobati Lukanya
Bab 11 Mengobati Lukanya
"Tanpa kau sadari mungkin perkataanmu telah membuat seseorang menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih buruk."
Thirty But Seventeen
"Ravelio, ya?" Kaisar bergumam pelan, bibirnya tersenyum miring, meski terlihat tampan tetapi hal tersebut tertutupi oleh suasana dingin yang dipancarkan oleh Kaisar.
Karsa dan Nero saling pandang seraya menelan ludah dengan susah payah. Bulu kuduk mereka mendadak merinding saat melihat senyum di wajah Kaisar semakin lebar.
"Bukannya Cubic pernah kerja sama dengan Ravelio. Kamu pasti masih punya data mereka?"
"Tidak bisa!" Nero langsung menolak. "Memangnya mau kamu apain data-datanya? Tidak berguna juga buat kamu."
Karsa menelengkan kepala. "Kamu tidak ngerti ya, Ner. Kaisar mau mengacak semua data penting Ravelio, sama seperti yang dilakuin Kaisar waktu ... ohh, itu rahasia kami." Laki-laki itu langsung menyengir lebar sambil menutup mulut dengan tangan.
Nero berdecak kesal, ingin rasanya menjitak kepala Karsa, dia kembali memandang Kaisar. "Kamu buat dua wanita itu terluka. Kalau mereka lapor polisi gimana? Kamu tidak punya wali di sini."
Kaisar mendesah, telinganya mendadak gatal mendengar omelan Nero. "Mereka sendiri yang salah. Kenapa cari gara-gara?"
"Kamu yang terlalu ikut campur kali." Karsa menggelengkan kepala. "Kamu mau menghancurkan Ravelio karena perusahaan itu pernah memperlakukan Kirena secara tidak adil. Tapi kamu juga harus tahu, yang melakukan itu tidak semua orang di Ravelio. Kamu harus pikirin yang lain. Kalau Ravelio benar-benar bangkrut gara-gara kamu gimana? Jumlah pengangguran di ..."
"Karsa," panggil Kaisar datar. "Kamu tahu kalau aku benci orang seperti Kleana yang terlalu cerewet. Ada baiknya buat kamu tutup mulut."
Karsa langsung menutup mulut rapat-rapat, tetapi hal tersebut tidak bertahan lama. "Tapi, memangnya apa yang kamu dapat kalau kamu melakukan rencana kamu? Pasti akan percuma saja, Kirenanya juga tidak akan tahu."
"Berisik." Kaisar mendesis, dia bangkit berdiri lalu berjalan keluar begitu melihat Kirena tengah berjalan keluar.
Karsa memutar bola mata, akhir-akhir ini Kaisar sangat sering mengikuti atau lebih tepatnya menguntit Kirena tiap pulang kerja, dan alibinya selalu sama setiap kali ditanya.
"Aku tidak menguntit, cuma mau memastikan dia pulang dengan selamat."
"Kenapa kamu mau mastiin Kirena pulang dengan selamat atau tidak? Kamu 'kan bilang tidak pernah peduli sama Kirena."
"Memangnya aku mau melakukan hal seperti gini? Salahin saja hati Kairo yang terlalu suka sama Kirena."
Jika Kaisar sudah berkata seperti itu, Karsa hanya bisa mendesah.
Karsa menatap keluar jendela kaca, memerhatikan dengan seksama saat partnernya tengah berjalan mengikuti Kirena dengan jarak teratur. Laki-laki itu mendesah panjang, kedua matanya beralih menatap Nero.
"Kenapa?" tanya Karsa saat melihat wajah panik Nero.
Dengan susah payah Nero mengalihkan pandangan pada Karsa. "Gawat." Hanya itu yang dikatakan Nero, tetapi Karsa mengerti maksudnya. Mereka berdua segera bangkit dan berlari mengejar Kaisar.
Tahu Kaisar akan melakukan hal diluar batas ketika seorang pesepeda tidak sengaja menabrak Kirena hingga terjatuh, Karsa dengan susah payah segera menarik Kaisar pergi dari sana sedangkan Nero membantu Kirena bangun
"Ada Nero yang nolong. Tenang." Karsa tersenyum pada Kaisar yang sayangnya diabaikan sepenuhnya oleh Kaisar.
"Si brengsek sialan itu. Mau cari mati, hah?!" Kaisar bergumam geram, dia menepis tangan Karsa dan berlari mencari pesepeda yang menabrak Kirena tadi.
Karsa hanya berharap, Kaisar tidak terlalu kasar membalas perbuatan pesepeda itu.
***
"Yang kamu minta." Kaisar berkata dingin seraya melempar sebuah amplop besar ke hadapan Kai, wajah laki-laki itu tidak secerah biasa, malah terlihat sangat muram dan kesal, penampilannya yang berantakan semakin berantakan saja dengan luka di wajah, bahkan pakaiannya pun kotor oleh darah.
Kai tidak memedulikan ekspresi dan penampilan Kaisar yang mengganggu pemandangan, dengan antusias dia membuka amplop tersebut. "Kamu memang hebat."
Kaisar mendelik. "Ada mata-mata lain di sana. Lagian, kenapa Handerson ingin menyelidiki tempat itu?"
Kai tidak langsung menjawab, kedua matanya fokus membaca berkas yang dibawa Kaisar. "Pantes saja."
Sebenarnya Kaisar tidak ingin tahu maksud Kai apa, tetapi karena dia tahu bahwa tugas itu akan diberikan padanya juga mungkin berhubungan dengannya dengan terpaksa Kaisar bertanya,
"Apa? Kenapa?"
"Salah satu karyawan firma hukum Renero akhir-akhir ini kelihatan mencurigakan. Pak Hans bilang kalau karyawan itu menyalah gunakan kartu kredit perusahaan. Dia ketahuan membeli senjata api ..." Kai menggeleng sekali sambil berdecak pelan. "Empat sniper sekaligus."
Kening Kaisar sontak berkerut dalam. "Bukannya tidak sembarangan orang dipercaya buat megang kartu kredit perusahaan? Kenapa karyawan ini malah dikasih?"
"Karena track recordnya bagus. Sayang saja kemampuannya disia-siain begitu saja." Kai mendesah panjang, menatap Kaisar dengan seksama. "Kamu berkelahi dengan salah satu preman sana?"
Kaisar mengangguk sekali, dia tidak memenyangka jika tugas yang diberikan atasannya sekuat itu. Jika tahu, mungkin Kaisar akan mempersiapkan diri dan beberapa barang yang dibutuhkan, andai juga Kai tidak memintanya mencari tahu tentang hotel di bukit hutan itu maka dia tidak akan terlalu kesulitan melawan preman-preman itu.
"Bukan hanya Renero saja yang mengejarnya, tapi pemerintah juga. Kemungkinan besar dalam waktu dekat mereka akan menangkap komplotan para pemburu liar itu."
"Maka kita harus bergerak cepat. Aku akan nyuruh Kinan sama Kesha buat membawa mereka." Kai yang hendak pergi langsung berbalik. "Muka kamu, cepatan seka darahnya. Kelihatannya lebih jelek dari zombie tahu."
Sontak saja wajah Kaisar berubah dingin, ingin rasanya menjitak kening Kai. Namun Kaisar berusaha menahannya, dia pergi keluar kantor sambil ditatap oleh banyak orang karena penampilannya yang kata Kai lebih parah dari zombie. Andai saja Naraka dan Kleana tidak melarangnya untuk mengganggu karyawan Renero, sudah Kaisar pukul mereka saat mendengar perkataan bahwa dirinya adalah seorang pembunuh.
Awalnya Kaisar hendak pulang ke apartemen, tetapi ketika sadar, mobilnya malah berhenti tepat di depan Gravity Cafe. Kenapa dia bisa datang ke sini? Kaisar bertanya dalam hati dengan perasaan sebal, harusnya dia pulang ke apartemen atau mendatangi Keniko untuk mengobati lukanya yang cukup parah bukannya datang ke sini untuk melihat Kirena yang jelas-jelas tidak menyukainya.
"Aku juga tidak suka sama dia." Kaisar bergumam pelan, meski wajahnya terlihat kesal tetapi hatinya tidak. Suasana hatinya yang semula terasa jenuh dan bosan mendadak kembali semangat lagi.
Harusnya Kaisar langsung pergi saja dan mengabaikan Kirena, tetapi tubuh dan otaknya malah tidak sinkron. Laki-laki itu memarkirkan mobil lalu keluar dari dalam mobil. Berjalan menuju Gravity Cafe dengan perasaan ragu.
Bukannya masuk ke dalam kafe, Kaisar malah berdiri di depan pintu. Menatap lurus pada Kirena, setelah tidak bertemu dengan perempuan itu selama beberapa hati, Kaisar menyadari bahwa dirinya merindukan Kirena meski dia masih belum mengerti perasaannya sekarang ini. Tetapi kenapa bisa begitu? Kaisar bertanya-tanya, belum pernah perasaannya terasa seaneh ini hanya karena seorang perempuan asing tidak cantik seperti Kirena.
Tidak peduli ditatap oleh hampir semua pengunjung kafe, dengan santai Kaisar duduk di meja kosong menunggu Kirena datang menghampirinya. Sayangnya, lama Kaisar menunggu Kirena tidak pernah muncul dari dapur setelah memberikan pesanan.
"Mau apa, sih?" Kaisar melempar ponselnya begitu saja ke atas meja saat ponselnya berdering untuk kesekian kali. Dia sama sekali tidak berniat menjawab telepon dari nomor asing itu.
"Kenapa tidak diangkat?" Kirena bertanya sambil melihat ponsel milik Kaisar yang tergeletak di tengah meja.
Awalnya Kaisar ingin tersenyum lebar dan merasa sebal karena orang itu terus meneleponnya tanpa henti, tetapi saat sadar, laki-laki itu berusaha menjaga imagenya agar tetap terlihat cool di mata Kirena.
"Bukan urusanmu. untuk apa ke sini?" tanya Kaisar ketus.
Kirena tidak terpengaruh dengan sikap ketusnya Kaisar, perempuan itu tersenyum lebar sambil memberikan segelas espresso dingin pada Kaisar.
Hal tersebut malah membuat Kaisar melongo, kenapa Kirena tiba-tiba bersikap baik padanya? Kenapa juga jantungnya berdegup kencang hanya karena Kirena benar-benar tersenyum padanya?
"Wajahmu. Kenapa bisa terluka begitu?" Kirena kembali bertanya seraya mendekat pada Kaisar lalu membuka kotak obat.
"Apa yang mau kamu lakukan?" Kaisar menatap Kirena tajam.
Jengah dengan sikap ketusnya Kaisar, Kirena mendengus pelan, balas menatap laki-laki itu tidak kalah tajam. "Wajahmu. Aku hanya merasa jengah melihat wajah penuh luka seperti itu. Sebab itu, karena kamu tidak pergi ke rumah sakit aku ..." Mendadak perempuan itu bergerak gelisah.
Kedua mata Kaisar menatap kotak obat dan Kirena bergantian. "Kamu tidak suka padaku, kenapa juga harus mengobati lukaku."
Kirena langsung mendelik. "Aku juga tidak tahu. Aku hanya merasa ... harus mengobati luka orang yang kukenal. Jika aku tidak melakukannya aku akan merasa bersalah." Perempuan itu mengatakannya dengan tidak jelas karena malu namun Kaisar bisa mendengarnya dengan jelas karena kali ini laki-laki itu tengah tersenyum samar.
Kirena segera berdiri. "Maaf, aku mengganggumu."
Kaisar menengadah. "Sama sekali tidak. Aku ... emh, tidak apa."
"Tidak papa?"
Giliran Kaisar yang bergerak gelisah. "Wajahku, harus diobati biar Megan Fox tidak ilfeel padaku."
Kirena mengerjap sedangkan Karsa dan Kleana yang melihat mereka dari kejauhan hanya bisa menggelengkan kepala.
"Dia terlalu percaya diri." Karsa berkomentar.
Kleana mengangguk setuju. "Seetidaknya keadaan aman buat sementara."