Bab 7 . Tuan Muda yang Malang
"Tidak! Aku tidak butuh pelayan! Aku hanya ingin pulang!" tegas Qian Qian, yang merasa situasi ini aneh dan cukup mengerikan.
Yao, memijat pelipis dengan tangan yang tidak terluka, sebelum berkata, "Tinggalkan kami!"
"Baik, Tuan."
Para pria dengan setelan yang seragam, patuh dan langsung berderap meninggalkan kamar.
"Kamu juga Bibi Xin! Tinggalkan kami," ujar Yao kepada wanita paruh baya dengan seragam pelayan.
"Tapi, Yao. Nyonya Besar memerintahkan agar kamu memperlakukannya dengan baik," ujar Bibi Xin, yang enggan pergi.
"Lihat ini! Apakah Bibi yakin, aku dapat mencelakainya?" tanya Yao kesal, sambil mengulurkan tangannya yang terluka ke hadapan Bibi Xin.
Bibi Xin, akhirnya mengalah dan berjalan keluar, tidak lupa menutup pintu.
"Kita harus bicara!" tegas Yao dan berjalan ke arah sofa yang ada di sudut ruangan.
Qian Qian tetap berdiri di tempatnya, mematung.
Yao, duduk di sofa dan menatap dengan kesal ke arah Qian Qian yang tidak bergeming.
"Bukankah kamu ingin tahu apa yang terjadi?" tanya Yao. Jika diberi pilihan, maka ia akan lebih senang berkelahi dengan 10 orang, daripada menghadapi seorang wanita yang bisa menggigit. Hanya saja, ia tidak memiliki keberuntungan itu.
"Katakan!" seru Qian Qian dari tempatnya berdiri.
Yao, kembali memijat pelipisnya dan berkata, "Apakah perlu aku menyeretmu kemari?"
Tidak menjawab, Qian Qian langsung berlari kecil ke arah Yao dan duduk di hadapannya.
Yao menatap sosok wanita di hadapannya dan langsung berdiri. Qian Qian tidak bertanya dan tatapannya terus mengikuti ke arah mana pria itu pergi.
Yao, mengambil selimut dari atas ranjang lalu berjalan ke arah di mana Qian Qian duduk. Lalu, melebarkan selimut itu dan disampirkan ke sekeliling pundak wanita itu.
Spontan, Qian Qian menarik selimut itu untuk menyelimuti tubuhnya.
Yao, kembali duduk di hadapannya dan berdeham. Ia akan memastikan agar Bibi Xin menyiapkan pakaian wanita itu dengan bahan yang lebih tebal. Benar-benar keberadaan wanita itu, membuatnya kewalahan.
"Baca ini!" perintah Yao dan menyodorkan salinan kontrak yang disepakati dengan Mei Lan dan Lu Xiao Bing.
Qian Qian mengambil dokumen itu dan membacanya. Ia membaca, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Apalagi pada bagian akhir kontrak ada stempel milik adiknya, Xiao Bing yang menjadi penjamin.
"INI GILA!" seru Qian Qian.
Yao, tidak menjawab. Karena benar, ini memang gila. Orang kaya selevel Keluarga Tan dapat melakukan apa pun, tanpa harus khawatir terjerat dengan hukum yang berlaku.
"Intinya, kamu menggantikan wanita bernama Mei Lan itu. Kualifikasi mu, sempurna. Semua nominal yang tertera di sana akan diberikan juga kepadamu. Itulah kemurahan hati Nyonya Besar Tan," ujar Yao.
Qian Qian, melempar dokumen itu dan tepat mengenai wajah Yao. Dan, ia langsung melompat berdiri. Selimut yang memeluk tubuhnya terlepas dan terjatuh ke lantai.
"Kualifikasi? Apakah wanita tua itu gila? Apakah ia mengira aku kekurangan uang dan mau melakukan hal tidak bermoral itu?"
Berhenti berbicara dan menarik napas, lalu Qian Qian kembali berbicara, kali ini sambil berkacak pinggang.
"Tidakkah kamu mengerti? Tidakkah kalian mengerti? Aku hanya ingin keluar dari tempat ini dan melupakan apa yang terjadi! Aku bahkan tidak berencana meminta pertanggungjawaban dari pria gila itu!" raung Qian Qian.
Yao berdiri dan kembali memijat pelipisnya. Cukup! Ini sudah cukup, ia akan memohon kepada Nyonya Besar Tan untuk menugaskan orang lain, dalam menghadapi wanita itu.
"Kamu bukan pihak yang dapat membuat keputusan! Intinya, bekerjasama lah agar semua menjadi mudah!" tegas Yao.
"Bekerjasama? Maksudmu, melahirkan anak pria gila itu dan menyerahkan bayiku kepada nenek gila itu?" raung Qian Qian.
"Tidak ada yang dapat kamu lakukan, selain bekerjasama. Percayalah, mereka akan membayar dengan harga yang lebih dari pantas!" ujar Yao, sebelum berbalik pergi.
Qian Qian, mengambil salinan kontrak itu dan mengoyaknya dengan penuh amarah.
"Itu hanya salinan!" seru Yao, sebelum membanting pintu, hingga tertutup.
"ARGHHH!" teriak Qian Qian kesal.
Begitu Yao pergi, Bibi Xin yang melangkah masuk.
"Nona! Apakah, Nona baik-baik saja?" tanya wanita paruh baya itu.
Qian Qian berhenti berteriak dan berjalan menghampiri wanita itu.
"Tolong. Bantu aku! Bantu aku pergi dari tempat ini!" pinta Qian Qian, terdengar penuh keputusasaan.
Bibi Xin, menggeleng.
"Tidak, Nona. Nona, tidak dapat pergi dari tempat ini, sampai melahirkan," ujar Bibi Xin, penuh keyakinan.
"Melahirkan?" tanya Qian Qian, sambil tertawa getir.
"Bagaimana bisa aku melahirkan? Sedangkan aku tidak hamil! Tidak mungkin dengan hubungan satu malam, aku begitu sial dan langsung hamil!" raung Qian Qian, frustasi. Harapannya, hanya pada wanita paruh baya yang berada di hadapannya. Setidaknya dari semua yang ditemui, wanita ini terlihat lebih normal.
"Jika Nona belum hamil, maka Nyonya Besar akan memastikan malam seperti kemarin, terulang lagi."
Qian Qian, terdiam seribu bahasa. Tidak! Ia tidak pernah berharap malam seperti kemarin, terulang lagi.
"Tidak! TIDAK! Nyonya Anda begitu kaya raya, minta beliau temukan wanita lain yang mau melakukan ini secara sukarela!" ujar Qian Qian.
"Walaupun ada wanita lain yang bersedia, tetapi Tuan Wen Jun pasti tidak akan tertipu untuk kedua kalinya."
WHAT? Pria gila itu juga tertipu, seperti dirinya? Tidak mungkin.
"Jangan bercanda! Akulah satu-satunya pihak yang tertipu dan dirugikan!" tegas Qian Qian.
Bibi Xin, tersenyum penuh simpati. Menurutnya, pihak yang paling dirugikan adalah Tuan Muda, mengingat orientasi seksualnya ditentang seperti itu.
"Tuan Muda yang malang. Ia tidak pernah tertarik untuk melakukan itu. Hanya saja ia dijebak bersamamu dan aku merasa simpati terhadapnya," gumam Bibi Xin, apa adanya.
"Aku kehilangan keperawananku! Sedangkan, Tuan Muda mu tidak kehilangan apa pun!" tegas Qian Qian.
"Oh, Tuan Muda yang malang. Tuan Muda tidak tertarik dengan wanita, sudah delapan tahun ia seperti itu, semenjak kemalangan yang dialami. Dan, semalam karena pengaruh obat, ia melakukan hal itu dengan seorang wanita. Dengan Nona," balas Bibi Xin. Mulutnya terkadang tidak dapat dikontrol saat mengatakan sesuatu.
Sadar karena ia keceplosan, Bibi Xin lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Ha ha ha!
Qian Qian, tertawa getir. Bukankah ia begitu sial. Tidur dengan pria gay dan diharapkan, melahirkan anak pria bengkok itu. Namun, satu hal yang ia yakini adalah ia tidak hamil.
"Aku lapar," ujar Qian Qian, memutuskan obrolan tidak berguna ini.
"Ya, ya, Nona harus makan. Tunggu sebentar, aku akan membawa makanan untukmu," ujar Bibi Xin, yang juga telah teralihkan.
"Tunggu!" seru Qian Qian, sambil menahan lengan Bibi Xin.
"Bisakah aku ikut denganmu?" pinta Qian Qian dengan wajah memelas.
Bibi Xin, menepuk punggung tangan Qian Qian yang menahan lengannya, seraya berkata, "Saat kamu sudah patuh, maka Nyonya Besar pasti akan mengizinkanmu berkeliaran di kastil, sesuka hati."