Bab 9 The Witch Bitchess (1)
Bab 9 The Witch Bitchess (1)
Mata Itachi masih tak berkedip. Memandang langit-langit kamar mandinya, dengan setengah melamun.
Sudah lebih dari tiga bulan setelah pesta pernikahan Hinata dan Sasuke, tapi rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Ada yang berlubang di hatinya.
Itachi memejamkan mata, meresapi lagu lama dari Coldplay di mana seluruh ingatannya ditarik ke belakang. Di mana ia terpaksa menerima semua kemauan Hinata, tanpa bisa mengelaknya.
Cinta itu membunuh. Too much love will kill you. Ternyata pepatah itu nyata adanya.
.
Itachi tidak pernah merasakan jatuh cinta yang seperti itu. Yang membuatnya tersenyum sepanjang hari dengan semangat yang tidak luntur meski hari beranjak sore.
Ia tahu dengan benar gadis itu. Gadis dengan wajah malaikat yang kadang ditemuinya di kuil atau di ruang latihan memanah.
Kadang jika ia beruntung, gadis itu akan terjebak dengan acara minum teh dengan para tetua.
.
Itachi yang sering mengamatinya, merasa begitu tertarik terhadap sikap dan juga perilakunya.
Meski dididik secara formal dengan manner kebangsawanan, gadis itu punya kekuatan untuk melawan semua tradisinya tanpa meninggalkan etika yang dipegangnya erat-erat.
.
Itachi lebih suka menyebutnya revolusioner. Dan yang paling disukainya dari semua itu adalah ketika ia harus bertemu Hinata ketika klub berkuda datang.
Hinata dan Itachi, akan menjadi sepasang joki yang mampu membuat siapapun kagum.
Kata mereka, keduanya cocok dan mirip satu sama lain. Dan kesamaan itu membuat mereka dekat. Membuat Itachi begitu jatuh cinta pada sosok Hinata si penyihir cantik.
.
Mereka sempurna. Seharusnya bukankah kesempurnaan itu tidak untuk dipisahkan?
.
.
Hinata bilang,
"Maafkan aku... tapi kita memutuskan untuk berpisah karena kita lelah untuk berpura-pura bahagia. Kita sepakat untuk mencari kebahagiaan kita sendiri. Bukankah keputusan itu adalah sebuah keberanian? Kau telah memilih keberanian itu dalah hatimu. Memilih untuk mengahadapi dunia dengan kejujuran." Tangannya membingkai wajah Itachi. Dan sebelah tangan sang Uchiha sulung menggenggam erat tangan Hinata di pipinya.
"Please don't say anything..." pun suara tercekat Itachi tak mampu membungkam Hinata.
.
Hinata menggeleng di sela senyumannya, "Tidak baik jika ada dua matahari dalam satu orbit, Itachi-kun. Karena keduanya hanya akan menghanguskan planet yang mengitarinya. Dan kita akan kehilangan cahaya karena saling meleburkan. Bukan begitu cara mainnya. Kau akan menjadi matahari untuk orang yang tepat, tapi itu bukan aku." Setelah mengatakannya, Hinata mengecup pipi dan mata Itachi. Lalu beranjak pergi, tanpa memberikan kesempatan untuk Itachi mengungkapkan perasaannya.
.
*****
.
Telepon berdering nyaring membuat Sasuke mengumpat. Demi tuhan, ini sudah jam setengah satu dan Sasuke butuh waktu me-time-nya bersama Hinata.
.
Sial.
.
Dering teleponnya tidak berhenti. Sasuke turun dari ranjang tanpa mau repot berpakaian. Si cassanova itu berjalan hanya dengan mengenakan boxer abu-abu yang menggantung indah di pinggulnya.
Kakinya berhenti di pojok ruangan di mana telepon wirelessnya berada. Mengambil benda itu kasar dan menempelkannya di telinga.
.
"Hallo!" Suara Sasuke kasar.
.
Hinata memutar matanya jengah melihat suami manjanya mulai menunjukkan taringnya. Tentu saja mengganggu kegiatan seksual mereka akan dianggap dosa besar bagi iblis tampan seperti Sasuke itu.
.
Tapi entah mengapa raut marah yang ada di muka Sasuke kemudian berganti dengan ekspresi keterkejutan.
"Hai' Tou-sama." Lirih Sasuke.
.
Dan kalimat itu seketika membuat Hinata tegang di atas ranjangnya. Ia tahu ada sesuatu yang penting yang disampaikan mertuanya.
Menanggapi kalimat lirih Sasuke, Hinata bangkit dari tempat tidurnya, memungut kimono sutra yang dicampakkan Sasuke dan memakainya cepat.
Langkahnya mendekat ke arah sang suami yang telah meletakkan gagang telepon.
"Ada apa?" Hinata khawatir dengan wajah pucat Sasuke.
"Itachi kecelakaan. Sekarang ia ada di ICU."
.
Hinata terkesiap, tapi tak sepatah katapun keluar hingga jeda hening yang membekukan waktu membuat jarak di antara mereka.
.
"Apa Ino sudah mendengar? Dia ada di Paris kan?" Hinata ikut gusar atas berita yang baru saja di dengarnya.
"Kata ayah, beliau sudah mengabari Ino. Dan Ino akan pulang dengan penerbangan paling awal. Tuhannn... apa lagi ini?" Rutuk Sasuke.
.
Hinata mengelus pungung telanjang suaminya, "Mau kutemani ke rumah sakit sekarang? Kupikir akan lebih baik kita berada di sana untuk menguatkan Ayahmu."
.
Sasuke mendesah pelan, lalu meraih Hinata dan memeluknya. "Aku tidak ingin terjadi apapun padanya."
Hinata mengangguk di dada Sasuke. "Aku juga berharap begitu." Gumannya lirih.
****
.
Operasi Itachi memakan waktu empat jam. Mereka mengatakan bahwa ada benturan di kepalanya hingga mengakibatkan ia gegar otak.
Begitu pula dengan cedera luarnya yang juga serius. Kakinya retak dan tangan kirinya terpaksa di gips karena tulang pergelangan tangannya bergeser.
.
Dia dipindahkan ke ruang perawatan VIP setelah kondisinya stabil. Uchiha Fugaku tampak tua dan lelah. Pria yang telah menduda ketika Sasuke belum genap lima tahun itu terlihat begitu terpukul.
Hinata, sebagai menantu dekatnya begitu sibuk mengurusi keperluan rumah sakit untuk Itachi dan mertuanya. Sementara Sasuke mengurus segala administrasi.
.
Ino belum tampak di sana. Dan Sasuke tak berhenti khawatir dengan istri kakaknya itu. Ia tahu, Ino adalah pribadi yang melankolis dan kadang juga menjadi pribadi yang terlalu panik.
.
Tapi demi cinta yang ia genggam sekarang, ia berusaha sebisa mungkin meminimalisir segala bentuk interaksi dengan kakak iparnya itu.
Sebab, segala prasangka buruk Hinata kepadanya adalah bentuk ketololannya dalam membina hubungan. Ia takkan membiarkan Hinata makin berpikir macam-macam soal hubungannya dengan Ino.
Bukan begitu cara mainnya.
Itu adalah hukum utama dari perasaan Hinata. Dan Sasuke akan mempertahankan Hinata sampai titik darah penghabisan kali ini.
.
.
Ada yang bilang, masa lalu adalah sebuah fase yang terletak di belakang. Kadang kita perlu melewatinya untuk menapak ke jenjang yang lebih tinggi.
Pun kali ini misalnya.
Ino tampak kacau. Meski begitu disainer dunia itu sama sekali tak kehilangan pesona.
"Bagaimana keadaannya?" Getar suara Ino menggambarkan kecemasan wanita itu.
.
Sasuke memilih untuk diam, akan lebih baik jika bukan dia yang menjelaskan keadaan si sulung.
.
"Masa kritisnya sudah lewat. Hanya tinggal menunggu suamimu sadar." Ujar Hinata dengan senyum prihatin yang terlihat tulus. "Aku yakin dia kuat." Ucap Hinata sambil berjalan mendekati Ino dan merengkuhnya dalam satu pelukan hangat penuh persahabatan.
Ino tak bisa memendung kegelisahannya dan memilih terisak di pelukan sahabatnya. Menenangkannya tanpa kata.
Sementara Tuan Fugaku masih berdiam duduk dengan beku di ruang tunggu.
"Kalian bisa masuk. Dan menunggu di dalam." Ujar Dokter Shino sebelum pamit untuk melakukan tugas yang lain.
.
***p90***
...
..
.
Perlahan mata Itachi terbuka, lamat disadarinya ruangan putih di mana ia berada. Lalu ia mendesah, matanya bergulir di sofa. Tempat ayahnya duduk dengan memejamkan mata. Sedangkan seseorang lain yang berambut kuning tampak duduk juga dengan menyandarkan punggung dan dengan kepala yang tertunduk. Seolah berdoa dalam diam.
Sementara itu matanya menangkap siluet yang dirindukannya. Seseorang yang mengisi harinya dengan sebuah rasa.
Perlahan bibirnya melengkung. Lalu dengan rasa senang yang membuncah ia bertanya, "Sugarpie? Ada apa? Bukankah kau seharusnya menghadiri pesta pertunangan Kiba dan Carlotte?"
.
Hinata menoleh, lalu membekap mulutnya. Sedangkan Ino langsung menoleh cepat ke arah Hinata dan Itachi bergantian. Tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
.
"Ita, apa maksudmu?" Suara serak Fugaku membuat Itachi menoleh.
"Tou-sama?"
.
Fugaku masih memandang putranya tak berkedip.
"Maafkan aku Tou-sama. Aku membuatmu cemas dan membuatmu terbang ke London."
Jawaban Itachi membuat alis Fugaku kian bertaut.
Itachi memandang ayahnya yang kini tampak semakin tua dan juga lelah. Ia juga heran atas perubahan itu.
.
"Kau pikir ini di London?" Fugaku nyaris tak mengerti arah pembicaraan ini.
.
Kreeeettt...
.
Pintu terbuka.
Menampakkan sosok Sasuke yang tengah menenteng makanan kecil dan juga kopi. Mata tajamnya melihat ketegangan yang menguar di udara.
"Ada apa?" Sasuke cemas setengah mati.
.
"Sasuke? Apa yang kau lakukan di sini. Kau kan ada ujian di Princeton. Kenapa kau malah terbang ke sini?" Ujarnya terkejut.
.
Alis Sasuke menyatu. "Apa yang kau bicarakan, aniki?"
"Ini tahun pertamamu kuliah, dan kau seolah berubah lebih tua dari kemarin."
.
Ino menatap Itachi horor, "Ita-kun..." panggilnya serak.
.
Itachi menoleh kepadanya, dahinya berkerut, memandangnya seolah tak mengenalinya. Hati Ino serasa koyak, ia berharap agar mimpi buruknya selama di pesawat tidak terjadi.
"Kau siapa?" Ujarnya bingung. "Sugarpie... dia temanmu ya?" tanyanya dengan senyum seolah tak terjadi apapun.
.
Sebuah senyum yang sarat kesalahan.
...