Bab 14 Lucifer (I)
Bab 14 Lucifer (I)
.
I came in like a wrecking ball
I never hit so hard in love
All I wanted was to break your walls
All you ever did was break me
Yeah, you wreck me
I put you high up in the sky
And now, you're not coming down
It slowly turned, you let me burn
And now, we're ashes on the ground
(*wreking ball— Miley Cyrus)
****
Sasuke menyesap sampange-nya dengan perasaan absurd yang tak bisa dijelaskan. Ada satu sisi di mana ia bngga bahwa ia mampu mengendalikan Hinata. Namun sisi di mana hati nuraninya mengutuk tindakannya. Matanya menatap kosong di mana istrinya terbaring. Di hadapannya, punggung telanjang Hinata termpampang, mulus, hangat, tanpa cela.
Setelah enam kali ronde panas sebagai reward dan hukuman sekaligus untuk aksi istri tercintanya karena berhasil mengembalikan harga diri si Kaguya yang membuat acara Hanabi gagal total serta kong-kalikong Hinata dan Gaara yang baru saja diketahuinya.
Harusnya ia bisa tidur dengan nyenyak setelah mendapatkan semua hal yang diimpikannya, seperti melampaui kakaknya dan mendapatkan wanita yang diidamkannya namun ternyata ia masih merasa ada yang berlubang, tak bisa menyempurnakannya.
Ia merasa ingin marah karena diam-diam Hinata melakukan kontrasepsi, tapi Sasuke tidaklah bodoh dan mengganti pil KB sialan itu dengan obat penyubur kandungan.
Ia akan segera menjadi ayah, bayangan kebahagiaan itu menari-nari di pelupuk matanya. Dengan begitu Hinata akan terikat selamanya bersamanya. Menghabiskan waktu yang akan ditandainya sebagai seumur hidup meski itu adalah sebuah ikatan yang disebut wanita itu sebagai neraka. Jika Hinata menjadi ibu dari anaknya, maka ia tak perlu lagi curiga terus-menerus. Jika ia menjadi ayah, ia takkan terus merasa was-was akan banyaknya predator di luar sana. Ia tahu bahwa dirinya sendiri adalah bajingan, tapi ia akan berubah jika itu diperlukan. Ia menginginkan seorang anak, pengendali segala emosinya. Dan ia akan membanggakan anaknya itu dengan menjadi pribadi yang baik dan hebat. Ia takkan kalah dari Itachi yang kini bersiap untuk persalinan Ino.
Tapi omongan Gaara membuat moodnya memburuk dan membuatnya gelap mata. Ia tahu seks dengan emosi tidaklah sehat, tapi gairah kemarahan itu membuatnya nyaris menghabisi istrinya sendiri di ranjang.
Dengan tampang sendu dan menyesal ia melihat memar kebiruan di pergelangan tangan istrinya. Juga bercak keunguan di leher jenjang Hinata. Begitu bar-barkah ia?
Pertanyaan Sabaku sialan itu terngiang-ngiang ditelinganya;
"Aku mengenal Hinata hampir seluruh hidupku, Sasuke. Pikirmu, yang tumbuh dengannya hanya Neji, begitu?! Kau hanya fokus kepadanya tanpa melihat orang lain kan? Nyatanya kau hanya fokus kepada dirimu sendiri, ambisimu." Gaara memberinya senyum culas, "Kau bahkan tak mengerti perinsip Hinata, karena nyatanya ia tak mau menikah dengan orang yang ia sayangi. Ia ingin menikah dengan orang yang ia benci."
"Tutup mulut sialanmu, Sabaku!"
Sabaku no Gaara terkekeh, "Hinata takkan menikahi Itachi, meski keduanya saling mencintai. Dia juga takkan menikahiku, meski aku selalu di sampingnya. Ia juga takkan menikahi Neji meski Hinata membutuhkannya. Karena apa?" Gaara menyesap wine-nya dengan anggun sekaligus menatap Hinata dengan senyum nakal, "Karena ia tahu, ia takkan bisa membahagiakan kami dengan segala urusan pelik harga diri dan juga masalah keluarganya. Yang ia butuhkan adalah musuh, yang ia hancurkan bersama dirinya sendiri."
Bom sudah dilempar dan detonator sudah ditekan, tentu saja Sasuke Uchiha berubah menjadi Hulk yang siap mengamuk. "Bangsat, kau Sabaku!" Sasuke berdesis dan kepalan tangannya ingin segera menghadiahkan bogeman pada si kepala merah itu pukulan sebelum Hinata datang dan mencekal pergelangan tangannya.
Wanita Lalu merangkul Sasuke dengan mesra dan mendekatkan dirinya ke arah Sasuke. Ia memeluk dengan erat tubuh suaminya, menjaga sang lelaki dari emosi yang siap meledak di ruangan itu sekarang. Dengan seduktif bibir Hinata mencium kuping Sasuke, membuat salah satu daerah sensitif itu meresponnya.
Dalam segera api amarah itu turun dan digantikan oleh birahi,
"Tahan sayang, jangan biarkan ia menang hari ini." Bisik Hinata manja sekaligus seksi.
Sasuke menggeram, mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Menekan emosinya ke zero limit-nya.
Hinata menoleh kepada Sabaku no Gaara dengan mata centilnya yang menggoda. Bibirnya yang dipulas merah darah tampak begitu sensual. "Ku harap, adikku tahu cara memuaskanmu, Gaara. Agar kau berhenti bersikap menyebalkan seperti lelaki yang tak mendapatkan jatah dari kekasihnya."
Gaara mengatupkan rahang. Merasa begitu murka dengan ejekan Hinata. Sialan, wanita itu justru tampil luar biasa seksi dengan begitu gamblang menunjukkan keintimannya dengan suaminya yang berlabel Uchiha busuk itu.
Melihat Hinata dan Sasuke seolah menonjok ulu hatinya telak, apalagi sekarang Hinata tanpa tahu malu berciuman mesra ala Perancis di hadapannya. Dan Sasuke seolah terhipnotis meladeni ciuman sang Kaguya.
Gaara mengumpat, ia melenggang pergi dari kedua sejoli di mabuk asmara itu. Padahal Gaara tahu, Hinata memang ahli dalam berciuman.
Sial. Bahkan juniornya menegang hanya melihat kerlingan Hinata.
Berengsek si Nyonya Uchiha itu.
****
.
.
"Jadi kau sama sekali belum tahu?!" Itachi menatap prihatin ke arah adiknya.
Sasuke tak bergeming. Tak menjawab iya ataupun tidak. Dan Itachi tahu artinya itu.
"Lebih baik kau tanyakan saja pada istrimu langsung." Kata Itachi bijak,
Sasuke mendengus, "Kau tak memanggilnya Hime-chan lagi?"
Itachi terkekeh, "Dan membuatmu cemburu buta? Kurasa permain itu hanya berlaku pada anak kecil."
Sasuke tersenyum masam, "Dia tak mau membicarakan tentang keluarganya denganku."
Itachi mencebik, lalu angkat bahu. "Mungkin ia menganggap kau terlalu berharga untuk dilibatkan."
"Sialan!" Sasuke mengumpat, "Tapi aku merasa dia sedang membohongiku, Ita-nii. Untuk apa dia menemui Sabaku? Sialan!"
"Mungkin ia sedang ada kerjasama." kilah Itachi.
"Tidak!" Sangkal Sasuke, "Aku mendengar bahwa ia meminta bantuan lelaki sialan itu! Bedebah itu mengiyakannya dan mencium pipinya!" Suara Sasuke bergelora, seakan membakar udara.
"Sebelum kau membakar semuanya dan hanya menyisakan abu, sebaiknya tinggalkanlah tingkah konyolmu. Temui dia, bicara dari hati ke hati."
Sasuke mengerang, lalu menjambak rambutnya frustasi. Kenangan bagaimana ia bertengkar, bagaimana ia mengikat wanitanya di ranjang, gigitan di leher dan beberapa lebam di punggung karena perlakuan kasarnya terbayang kembali di pelupuk mata.
Bagaimana cara bicara dengan Hinata setelah kebrutalannya semalam? Apalagi setelah tamparan yang membuatnya merasa begitu bersalah.
Dan pagi ini ia justru mendapati ranjang di sisi kanannya kosong tak berpenghuni. Tak ada pesan apapun, bahkan secarik kertas atau mungkin SMS yang mampir pada alat komunikasinya.
Haruskah? Haruskah ia membuka aib ranjangnya ke Itachi dan membiarkan lelaki itu menertawakan segala ketololannya, dan memporak-porandakan harga dirinya sendiri?!
Sasuke mengatupkan bibir. Milih bungkam dan membiarkan keheningan menelannya hidup-hidup.
***WH/p90***