Arya
Tet, tet, tet, tet,
Tombol empat kali berbunyi pertanda jam belajar-mengajar telah usai di SMK KUSUMA NEGARA Mojoagung. Para siswa terlihat berjubel keluar dari setiap ruang kelas gedung sekolah yang berdiri memanjang dari timur ke barat.
Riuh suasana begitu ramai akan para pelajar SMK hendak pulang ke rumah masing-masing. Arya jua bersekolah di sana, bersama Rudi dan Prastiyo kawan akrabnya sejak kelas sepuluh dan kini mereka sudah kelas dua belas atau kelas tiga SMK.
Ketiganya berasal dari kampung yang sama desa Mojokembang. Siang kali ini seperti biasa tiga sekawan tiadalah langsung pulang. Melainkan bersantai terlebih dahulu sebatas menikmati segelas kopi dan sebatang rokok di warung Mbok Jamik. Sebuah warung berdinding anyaman bambu pas depan sungai yang membatasi jalan raya dan gedung sekolah SMK KUSUMA NEGARA Mojoagung.
“Woi Brow suntuk lah kita kalau langsung pulang. Nanti kalau sampai rumah paling tidak melakukan apa-apa. Kemana kek kita gitu, buat rencana ngapain lah. Bikin janji apa gitu sama sekolah lain tawuran atau apa gitu biar ramai,” oceh Pras duduk depan warung pada sebuah kursi anyaman bambu sambil menyulut rokok sebatang hasil bon pada Mbok Jamik pemilik warung.
“Bosan Brow kelahi terus-menerus setiap hari, mending kita ke koperasi siswa SMEA menggoda gadis-gadis SMEA disana. Kan lumayan pemandangan indah sebagai penyegaran dan olah raga mata,” cetus Rudi datang dari dalam warung lalu duduk samping Pras dan Arya yang sudah duduk dahulu dari tadi.
“Lah ya sama saja kalau kita ke SMEA Negeri 1 Mojoagung pasti akan tawuran juga,” celetuk Arya namun tak memandang kedua sahabatnya asyik dengan ponsel baru yang baru iya pinjam dari kakak keponakannya.
“Lah kok bisa begitu Arya, kok bisa kita ke SMEA tetap tawuran. Bukannya SMEA sekolahan dengan siswanya terdiri dari cewek semua. Kalau pun ada cowok juga paling berapa, itu jua kaum tulang lunak semua,” ucap Pras menegaskan isi dari sekolah SMEA singkatan dari sekolah menengah akademi yang kebanyakan siswanya cewek semua. Sebab jurusan yang ada pada sekolahan SMEA kebanyakan untuk ketrampilan kaum wanita.
“Lah iya kalau kita pergi menuju sekolah SMEA. Harus melewati terminal lah dimana SMK Taman Siswa rival kita berdiri di samping terminal sudah pasti kita bentroklah,” jelas Arya masih dengan kutak-katik HP di tangannya.
“Oh iya benar juga kata Arya skuy lah cabut kita. Bodoh amat lah kalau ketemu kita pantekin saja atau kandangin sekalian lah anak Taman Siswa itu,” timpal Pras menyeruput kopi milik Rudi.
“We kopi saya main embat saja kamu Pras!” teriak Rudi agak kesal.
“Halah minta sedikit ini pelit amat kamu Rud. Biasanya juga kamu yang minta rokok sama aku. Eh Arya ngapain sih dari tadi main HP melulu kamu. Eh sebentar itu bukannya HP milik kak Saloka ya kakak keponakan ketemu gede yang kamu ceritakan kemarin ya?” tanya Pras menyahut HP dari tangan Arya begitu saja dengan rasa penasaran lalu membaca cat wa di dalam HP.
“Apaan sih Pras bukan apa-apa, sini ponselnya nanti rusak lagi kamu bawa,” ucap Arya menyahut kembali HP dari tangan Pras ternyata Pras sudah sempat membaca sedikit cat wa balasan dari Saloka.
“Wah ternyata Kak Saloka itu menaruh hati ya sama kak Effendik. Eh sebentar Kak Effendik kemana sih Ya, kenapa tidak pernah kelihatan di rumah? Kerja keluar kota atau kemana sih,” tanya Pras menatap Arya dengan mimik wajah sangat penasaran.
“Tau sudah mampus kali!” cetus Arya berdiri lalu beranjak pergi mengambil motor yang terparkir malas di samping warung Mbok Jamik.
“Loh Arya mau kemana kamu kok kami di tinggal?” teriak Rudi jua berdiri lalu beranjak pergi menyusul Arya juga mengambil motornya yang terparkir di samping motor Arya.
“Mau pulang saja lagi malas kemana-mana,” teriak Arya mulai menstater motor bebeknya.
“Woi begitu saja marah kamu Ya, kamu kok sekarang baperan orangnya ya,” ucap Pras jua ikut mengambil motor dan mereka bertiga melaju kencang dengan motor masing-masing menuju ke selatan meninggalkan warung Mbok Jamik.
Sampai di desa Mojokembang, ternyata Arya dan kawan-kawan tak jua pulang ke rumah. Mereka malah belok kesatu gang menuju rumah Seloka yang terletak di paling ujung sendiri menghadap ke barat.
“Eh ngapain kalian ikut kemari?” tanya Arya pada Pras dan Rudi yang selalu membuntutinya kemana saja.
“Lah Si Arya kita kan Sohib alias konco kental atau teman akrab serta sahabat. Kalau ada Arya dan Pras Rudi juga ada dong kan kita tiga sekawan,” tutur Rudi menurunkan standar samping motor metiknya.
“Halah kalian merepotkan aku saja setiap hari. Jangan bicara jorok apa lagi sampai yang aneh-aneh loh ya. Bedakan desa sendiri sama di luaran jaga nama orang tua kalian,” ucap Arya yang memang bersifat lebih dewasa dari ketiganya.
“Siap Bosku,” teriak Prastiyo dan Rudi berbarengan. Sambil mengikuti rudi dari belakang berjalan menuju teras rumah Seloka.
“Eh di kunci Ya pintunya, apa Kak Seloka ada di rumah?” ucap Pras bertanya sambil memegang gagang pintu lalu menggerakkannya ke atas dan ke bawah.
“He ketuk terus salam, yang sopan kalau bertamu!” ucap Arya mengingatkan Pras.
“Oh iya, maaf suka refleks aku, hehe,” celetuk Prastiyo tertawa menyengir.
“Ketok sudah Ya, barangkali Kak Seloka tidur. Eh sebentar memang mau apa kita kemari?” Rudi agak bingung sebab iya hanya mengikuti saja kemana Arya pergi tanpa bertanya apa tujuannya.
“Sudah nanti di jelaskan di dalam, yang aku tahu cat terakhir Kak Seloka bilang Arya tolong Kakak,” Arya menatap pintu depan rumah Seloka sambil mengangkat tangan hendak mengetuk. Namun belum jua jemari Arya mengetuk pada pintu teriakan Seloka terdengar menjerit dari dalam rumah.
“Tolong, tolong, tolong!” lalu jeritan itu menghilang seperti mulut yang di bungkam sesuatu.
“Eh ladalah dobrak Ya!” teriak Pras menyuruh Arya mendobrak pintu sebab Arya yang paling dekat dengan pintu.
Kaki Arya yang lumayan kuat akhirnya menendang pintu hingga roboh dengan beberapa kali tendangan. Tiga sekawan akhirnya masuk ke dalam rumah Seloka mencari keberadaan Seloka berada. Namun mereka bertiga tidak mendapati seorang pun di dalam rumah.
“Lah kok aneh Rud, tadi jelas suara teriakannya dari dalam rumahkan. Kau juga dengarkan Rud?” tanya Arya terheran-heran.
“Benar tadi aku juga dengar teriakannya dari dalam rumah loh. Jelas sekali teriakan Kak Seloka kayak ada yang menjahati dia begitu,” ucap Rudi menerka-nerka.
“Halah bahasa apa itu menjahati. Lah sekarang orangnya kemana kok enggak ada orang loh di sini,” celetuk Prastiyo dan tiba-tiba pintu depan rumah yang semula telah rusak di tendang Arya kembali ke posisi semula berdiri sendiri lalu menutup sendiri.
Brak,
“Astagfirullah Hal Adzim, pintunya menutup lagi woi!” teriak Pras begitu kaget, karena Arya yang paling dekat posisinya dengan pintu.
“Woi apaan ini, makhluk apa ini?” teriak Arya yang melihat sosok lelaki bertubuh tambun memakai kolor hijau berkepala babi dengan telanjang dada. Makhluk tersebut memegangi tubuh Seloka yang sudah tak berbusana lagi.
“Tolong Arya...?” getar bibir pucat Seloka merintih dan menangis ketakutan.