6
6 hari sudah aku tidak mengganggu Ocean dan rasanya aku benar-benar gila karena hal itu. Aku merindukan dia hingga aku ingin meledak tapi sepertinya dia tidak merasakan hal yang sama. Ya, wajar saja. Dia tidak merasakan apa yang aku rasakan. Dia tentu sangat senang karena aku tidak mengganggunya. Geez, kenapa aku bisa seperti ini? Ocean benar-benar membuatku kacau. Bahkan dia membuatku tidak berminat dengan pria lain. Dua malam aku mencoba untuk tidur dengan laki-laki lain tapi yang aku rasakan hanyalah hambar. Geez, aku bahkan tidak bisa meski hanya untuk berpura-pura mengerang.
Pagi ini aku hanya memperhatikannya yang sedang serius membaca buku. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan mataku dari wajah tampannya. Dengan melihatnya saja aku sudah bergairah dan basah, lalu harus kemana aku mencari pelampiasan saat aku tidak berminat pada laki-laki lain? Arghh, Ocean sialan. Apa yang sudah kau lakukan padaku!
"Teruskan mata kuliah ini. Mendadak aku merasa sedikit pusing jadi aku harus pulang dan istirahat. Siapkan diri kalian untuk ujian di pertemuan berikutnya." Aku tidak bisa terus menatap Ocean dan terus basah tanpa bisa mendapatkan pelepasan. Aku harus menjauh darinya sejauh mungkin.
"Yah, Kya." Mahasiswaku mendesah. Mereka tak rela aku pergi. Satu-satunya yang rela aku pergi ya cuma Ocean.
"Maaf, guys. Aku sedang tidak enak badan. Sampai jumpa." Kuraih buku mata kuliahku dan aku segera keluar dari ruangan tanpa melihat ke Ocean lagi.
Kemana aku harus pergi? Tepi jurang lagi? Bagaimana jika aku bertemu dengan Zava yang lainnya? Ah, tidak, aku tidak ingin sial melihat orang bunuh diri. "Ah, rooftop." Aku memiliki tempat tujuan. Atap gedung kampus ini.
Akhirnya aku melangkah menuju ke lift, beberapa detik berada di dalam sana lalu keluar setelah sampai ke atap gedung.
"Ah, ini dia yang aku suka dari tempat yang tinggi. Angin yang kencang." Aku melangkah menuju ke tepi gedung, berdiri 30 meter dari pembatas gedung yang hanya setinggi 30 cm. Aku penasaran bagaimana rasanya jatuh dari gedung setinggi ini. Matikah? Atau masih ada keajaiban untuk tetap hidup?
Tidak, aku tidak ingin mencoba bunuh diri karena aku tidak ingin mati sia-sia. Segala masalah ada penyelesaiannya kecuali masalah yang aku hadapi saat ini. Ocean mana mau mengerti perasaan dan keinginanku. Geez, sialan. Aku sekarang jadi wanita menjijikan seperti ini. Ayolah, Kya, kau itu kuat. Suami selingkuh saja kau bisa tahan, apalagi hanya masalah bocah ingusan yang suka menghinamu.
"AAKHHHHH, DAMN IT!!" Setidaknya aku sedikit lega setelah berteriak, ya meskipun itu tidak membantu sama sekali.
Ring, ring,, ponselku berdering. Entah siapa pula yang menghubungiku disaat aku kesal seperti ini.
"Halo."
"Sayang, malam ini aku ingin kita makan malam bersama di restoran favorit kita."
"Apakah ada yang spesial dihari ini?"
"Kya, kau pasti bercanda."
Aneh, apakah kata-kataku barusan aku bercanda.
"Oke, mungkin kau kesal padaku karena tidak mengucapkan apapun. Hari ini hari jadi kita yang ke 9 tahun, Sayang."
Damn, aku tidak sedang bercanda. Aku memang melupakan hari spesial ini.
"Ah, akhirnya kau mengingat hari ini. Aku pikir kau akan sibuk bekerja." Iblis kau, Kya. Kau berakting seakan mengingat hari ini padahal otakmu hanya memikirkan tentang Ocean.
"Maafkan aku, sayang. Aku mengingat hari ini tapi aku tidak mengatakannya karena sibuk bekerja tapi malam ini aku akan bersamamu. Kita akan makan malam bersama."
"Aku maafkan."
"Baiklah, kita akan bertemu di cafe jam 7 malam."
"Baiklah."
"Love you, Kya."
"Love you too, Tristan."
Aku kembali menyimpan ponselku, jadi sudah 9 tahun. Dan sudah 6 tahun aku diselingkuhi. Astaga, ini meyedihkan.
"Baiklah, mari kita pulang, Kya. Hari ini adalah hari yang spesial jadi kau harus bahagia." Kuputar tubuhku dan segera pergi.
♥♥
Aku sudah sampai di restoran. Aku sengaja datang duluan karena di rumah aku juga tidak memiliki kegiatan. Restoran ini memiliki banyak kenangan antara aku dan Tristan. Setiap ulangtahun pernikahan kami selalu datang kemari. Menghabiskan waktu berjam-jam dengan makan, minum dan berdansa bersama. Aku tersenyum memikirkan saat bahagia itu.
Duduk menunggu Tristan dengan memainkan ponsel, akhirnya aku jengah menunggu Tristan. Sudah setengah jam aku menunggunya namun dia tidak kunjung datang. Apa yang terjadi padanya? Jangan sampai sesuatu yang buruk menimpanya. Akhirnya aku menghubungi Tristan, menyambung tapi tidak diangkat.
Dan akhirnya aku terus menunggunya hingga jam 9 malam.Oke, sudah cukup. Aku rasa Tristan memang tidak berniat datang. Untuk memastikan tentang apa yang aku pikirkan lebih baik aku mendatangi kediaman Vanetta. Jika Tristan tidak ada disana maka baru aku boleh cemas.
Mobilku sudah meninggalkan parkiran cafe, melaju dengan kencang ke kediaman mewah Vanetta.
"Brengsek!" Aku memukul setir mobilku. Ternyata Tristan benar-benar ada disana. Mobil yang dia bawa pagi tadi ada di kediaman Vanetta. Baiklah, Tristan, ini yang terakhir kalinya kau membuatku menunggu. Aku tak akan pernah menunggumu lagi walau hanya semenit saja.
Tidak mau larut dalam kebodohan, kesedihan dan kehancuran, aku melajukan kembali mobilku. Kali ini aku berhenti di sebuah bar. Bar yang hanya diisi oleh orang-orang yang ingin minum alkohol.
Hatiku benar-benar sakit. Aku menunggu seperti orang bodoh namun ternyata dia berada di kediaman istri keduanya. Apakah dia pikir aku ini wanita idiot yang bisa terus ia buat menunggu dan bisa ia sakiti setiap waktunya? Tristan, kenapa aku mencintaimu seperti ini? Harusnya aku tidak bertahan tapi kenapa! Kenapa disetiap aku ingin menyerah disaat itu pula kau membuat aku bertahan. Kenapa kau lakukan itu padaku! Kenapa kau begitu kejam padaku! Kenapa kau berselingkuh dariku! Kenapa!
Sebotol wine menemaniku, sebungkus rokok juga hadir di depanku. Air mataku jatuh tak bisa ditahan lagi. Kenapa aku hanya bisa menangis? Harusnya tadi aku tidak pergi, harusnya tadi aku datang dan melabrak Tristan bersama dengan Vanetta. Tuhan, kenapa mereka sangat jahat padaku? Apa kesalahanku pada mereka hingga mereka memberikan aku sakit di setiap waktunya?
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di bar, akhirnya aku keluar dari bar. Masuk ke mobilku dan melajukannya. Suara petir terdengar dari dalam mobilku. Hujan turun dengan begitu derasnya. Aku menepikan mobil dan segera keluar tanpa mematikan lagi mesin mobilku. Bahkan langitpun menangis bersamaku.
Dingin angin malam dan air hujan tidak bisa membekukan hatiku yang sangat terluka. Apalagi yang harus aku lakukan saat ini? Setelah semua ini masihkah aku mencintai Tristan? Tidak bisakah rasa itu hilang dan punah saja? Aku tidak ingin terluka lagi seperti ini. Ini terlalu kejam untukku. Inilah wanita, masih tetap mencintai meski hati sudah dihancurkan hingga tak berbentuk lagi.