Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Rumah Baru Cayden

“Woah!” desah Cayden saat menapakkan kaki di rumah kedua. Itulah pengalaman pertamanya memasuki bangunan berdinding transparan dengan pemandangan laut lepas.

Sambil tersenyum lebar, bayi mungil itu melangkah cepat menuju salah satu sudut ruangan. Setelah menempelkan telapak tangan dan jidat ke kaca, ia mengamati nuansa biru yang sangat berbeda dengan tempat asalnya.

“Kurasa, keputusanmu untuk menginap di hotel terlebih dahulu sangatlah tepat, Max. Jika kita langsung datang ke sini dalam keadaan jetlag, Pangeran Kecil tidak akan seantusias ini,” bisik Gabriella seraya menyandarkan kepala pada pundak suaminya.

“Aku selalu menginginkan yang terbaik untuk kalian, Gaby,” sahut sang pria seraya menggosok lengan istrinya dan meninggikan sudut bibir.

Selang satu helaan napas, sang wanita mendongakkan wajah dan menunjukkan ekspresi penuh cinta. “Kau tahu? Aku juga senang karena kau sudah menyewa seseorang untuk membersihkan rumah ini sebelum kita datang. Terima kasih banyak, Max.”

Mendengar ucapan yang menghangatkan tersebut, senyum di wajah sang pria pun merekah. “Aku tidak mungkin membiarkan istriku kelelahan hanya untuk mengurus rumah. Ada hal lain yang lebih penting untuk dia lakukan,” timpal Max seolah sedang membicarakan wanita lain.

“Begitukah? Memangnya, apa yang lebih penting dibandingkan mengurus rumah?” tanya Gabriella, berpura-pura tidak mengetahui jawabannya.

“Mengurus anak?” jawab sang pria sambil berkedip lugu. Padahal, lengkung bibirnya sedang terancam oleh tawa.

Sembari menyipitkan mata, sang wanita menambah sudut kemiringan kepala. “Benarkah? Hanya itu?” bisiknya dengan nada menggoda. Tangan yang semula tersangkut di pinggang Max kini bergerak ringan menelusuri otot-otot kekar.

Dalam sekejap, jantung sang pria mulai menebarkan hormon bahagia. Lewat satu tarikan napas panjang, ia berusaha memadamkan semangat yang belum boleh berkobar. Namun, bukannya menjadi jinak, aliran darahnya malah semakin menggetarkan nadi. Tak sanggup menahan pesona sang istri, Max cepat-cepat mengalihkan pandangan dan mengembuskan udara yang terlalu pekat dengan kegembiraan.

“Oh, Gaby ... kurasa cukup sampai di sini. Jangan kau lanjutkan rayuan memabukkanmu itu. Aku tidak ingin melahapmu bulat-bulat di hadapan Pangeran Kecil,” pinta sang pria dengan suara serak. Kerut alisnya telah melukiskan kepasrahan dengan sempurna.

Mengetahui pergulatan hati sang suami, Gabriella sontak tertawa ringan. Sambil menepuk-nepuk jantung yang berdegup tak beraturan, ia mengendurkan dekapan.

“Bertahanlah, Max. Malam masih belum akan datang,” bisik wanita itu sebelum tersenyum usil dan melangkah menuju bayi yang masih berdiri di sudut ruang.

Gemas dengan ledekan sang istri, Max spontan mendesah cepat. “Tampaknya kau senang dengan penderitaanku ini, hm? Kalau begini, aku terpaksa memberimu hukuman.” Sedetik kemudian, ia menarik pinggang Gabriella dan menikmati apa yang sempat dicegah oleh Cayden.

Tak menduga akan mendapat serangan, sang wanita sontak terbelalak. Dengan gerak terbatas, ia melirik ke arah Pangeran Kecil yang masih berdiam diri mengamati pemandangan.

“Max, kau tidak akan melakukannya sekarang, bukan?” desah Gabriella saat mendapat kesempatan untuk bernapas.

Sambil menyunggingkan senyum miring, pria yang terengah-engah itu menggeleng tegas. “Kau sudah memancing ikan yang salah, Gaby,” bisiknya sebelum mulai menandai leher jenjang sang istri.

Mendapat gelitikan yang begitu lembut, mata sang wanita otomatis terpejam. Paru-parunya perlahan terisi oleh kehangatan yang begitu nyaman. Namun, selang beberapa saat, alisnya mulai berkerut dan pelupuknya kembali terangkat. Ia sadar bahwa Pangeran Kecil masih terlalu muda untuk menyaksikan kemesraan yang terlampau akrab. Dengan lembut, Gabriella mendorong pundak suaminya.

“Max ....”

Mendengar bisikan putus asa itu, sang pria otomatis menghentikan aksinya. Sambil tertawa di sela desah, ia mengelus pipi merah sang cinta.

“Sekarang, kau pasti mengerti seberapa besar kesulitan yang kutahan sejak tadi,” ucap Max sebelum mendaratkan kecupan di kening. Sedetik kemudian, pria itu bergegas menghampiri Cayden. Permainan yang baru saja mereka lakukan terlalu berbahaya jika diteruskan. Ia harus segera menemukan pengalihan pikiran.

Selagi sang suami menemani Pangeran Kecil, Gabriella mengipas-ngipasi pipi dengan telapak tangan. Sambil berkedip-kedip di bawah lengkung alis yang tinggi, ia berusaha menaklukkan gemuruh dalam paru-paru.

“Ah, aku tidak seharusnya bercanda dengan Max soal itu,” sesalnya dalam hati.

Setelah memejamkan mata sesaat dan membuang rasa gerah lewat embusan napas cepat, barulah Gabriella bergabung dengan anak dan suaminya. Namun, begitu menyaksikan duo Evans yang mematung, alis wanita itu kembali berkerut.

“Apa yang sedang kalian lihat?” tanyanya sambil menurunkan lutut ke lantai.

Pangeran Kecil tidak menjawab. Ia terus menyisir batas langit dan lautan dalam posisi yang sama—menempel pada kaca. Mata bulatnya sama sekali tidak berkedip, sementara bibir mungilnya terbuka tanpa kata.

“Sepertinya, Cayden terkesima dengan pemandangan dari rumah barunya,” ujar Max sambil mengelus punggung sang bayi. Pada saat itu pula, bulu mata Pangeran Kecil menyapu kaca. Namun setelah itu, tidak ada lagi pergerakan yang ia lakukan.

“Benar begitu, Pangeran Kecil? Kau suka menatap laut dari rumah ini?” tanya Gabriella sembari mendekatkan wajah pada putranya.

Tiba-tiba, Cayden memutar kepala hingga pipinya terantuk pada kaca. “Cacacaca!” pekiknya sambil tersenyum semringah. Sedetik kemudian, ia kembali menempelkan jidat ke dinding transparan itu dan memperhatikan pergerakan air.

“Sepertinya, kau tidak akan kesulitan menjaga Pangeran Kecil di sini. Keindahan alam membuatnya tenang,” bisik Max sambil menatap sang istri hangat.

“Kuharap begitu. Semoga saja dia tidak cepat bosan,” timpal Gabriella sambil membelai kepala putranya.

Selang satu tarikan napas, wanita itu ikut memandang ke arah yang sama. Tidak ada apa-apa di sana selain air, awan, dan pantulan matahari yang membuat ombak tampak berkilauan. Ia menerka-nerka hal mana yang telah menghipnotis putranya.

“Gaby,” panggil Max secara tiba-tiba. Ketika sang wanita menoleh, senyum misterius menyambutnya. “Apakah kau merasa familiar dengan pose Pangeran Kecil sekarang?”

Mendapat pertanyaan acak semacam itu, alis Gabriella langsung terganjal keheranan. “Pose Cayden?” gumamnya sebelum berkedip dan mulai mempelajari bagaimana sang bayi menempel pada kaca.

“Perlukah aku memberimu petunjuk?” tanya sang pria dengan nada meledek. “Kamar mandi. Apakah kau mau melakukannya lagi?”

Dalam sekejap, Gabriella menghirup udara sebanyak keterkejutan yang membuka lebar mulutnya. Setelah mengerjap, ia mendesah tak percaya. “Bagaimana mungkin kau masih mengingatnya?”

“Aku tidak mungkin melupakan momen bersejarah kita, Gaby. Itulah hal pertama yang kita lakukan setibanya di sini,” sahut sang pria tanpa beban.

“Tapi itu sangat memalukan, Max. Tolong jangan kau ulangi lagi. Tubuhku sudah tidak seindah itu untuk dipajang kepada dunia. Kau bahkan gagal menghitung stretchmark di perutku, bukan?”

Merasa gemas, Max spontan mengusap puncak kepala istrinya. “Jangan berkata begitu, Gaby. Bagiku, guratan di perutmu itu adalah lukisan indah yang mengabadikan kisah cinta kita. Itu bukti perjuangan kita untuk mendapatkan seorang putra sesempurna Cayden.”

“Apakah karena itu kau melarangku untuk menghilangkannya?” celetuk Gabriella sambil mengerutkan alis.

“Ya,” sahut sang pria tanpa perlu berpikir panjang. Lengkung bibirnya kini berubah menjadi simpul. “Dan entah mengapa, aku suka mengelusnya setiap malam. Aku bahkan tidak bisa tidur jika tidak menyentuh karya seni itu.”

Gabriella spontan mendengus mendengar gombalan suaminya. Sambil menggeleng samar, ia memalingkan pandangan ke lautan. “Kalau begitu, awas kalau kau sampai melewatkan satu malam tanpa mengelusnya,” ancam wanita itu, bergurau.

“Tenang saja. Kau bisa mulai menghitungnya malam ini,” sambut Max seraya mengulum tawa. Ia tidak ingin sang istri tahu bahwa jantungnya mulai memompa semangat lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel