1. Kegembiraan di Maldives
Cayden tertawa cekikikan ketika berhasil lolos dari tangkapan Max. Bayi mungil itu tidak peduli dengan wajahnya yang memerah ataupun keringat yang mengucur dari sela anak rambutnya. Ia hanya ingin terus berlari, membiarkan butiran pasir menggelitik telapak kaki. Selagi angin membawa aroma laut yang melekat pada kulit, Pangeran Kecil tidak akan bosan menggetarkan udara dengan keceriaan.
“Cacacaca!” pekiknya mengalahkan deburan ombak.
Mendengar seruan gembira itu, seorang wanita berpakaian tipis yang sedang duduk di atas tikar pun ikut tertawa. Ia senang menyaksikan semangat putranya yang tak pernah padam.
“Pangeran Kecil, kemarilah! Saatnya menambahkan sunscreen di kulitmu,” seru Gabriella, sukses mengubah arah laju sang bayi.
Selang beberapa saat, Cayden akhirnya berhenti menggerakkan kaki-kaki kecilnya dan membenamkan diri ke dalam pelukan sang ibu. Menyaksikan hal itu, Max langsung menjatuhkan diri ke sisi sang istri. Sambil berselonjor, ia mengatur napas dengan tatapan tertuju pada wajah yang mengintip dari bawah dagu Gabriella.
“Papa sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengejarmu, sedangkan Mama hanya perlu berteriak satu kali untuk membuatmu datang, hm?” gerutu pria itu seraya mengacak rambut putranya.
Seolah ingin mengejek sang ayah, Cayden tertawa lebih lebar. Tangannya bahkan mendekap sang ibu lebih erat. Hal itu sukses membuat lengkung bibir kedua orang tuanya melebar.
“Kurasa Pangeran Kecil sangat bahagia,” tutur Max sembari memperhatikan seberapa teliti sang istri menyeka keringat putranya.
“Bukan hanya Pangeran Kecil, Max,” timpal Gabriella seraya melirik sekilas dan menaikkan sebelah alis, “tapi kita juga. Apakah kau ingat apa impianmu dulu?”
Mendapat pertanyaan dadakan itu, alis sang pria turut terdesak ke atas. “Impian yang mana? Aku memiliki banyak keinginan. Tapi yang jelas, semuanya berkaitan dengan dirimu dan Pangeran Kecil.”
Selang satu tawa ringan, sang wanita mendudukkan Cayden di pangkuan Max. Sambil mulai mengoles sunscreen di wajah sang bayi, ia menarik napas dalam. “Kau pernah meminta Pangeran Kecil untuk tumbuh menjadi anak yang sehat dan kuat. Saat itu juga, kau bilang sudah tidak sabar ingin berlari bersama di tepi pantai.”
Sedetik kemudian, Max mengangguk-angguk dan mendesah panjang. Sambil menahan tangan sang bayi agar tidak memberontak, ia memandangi wajah cantik di hadapannya.
“Kau masih mengingat ucapanku itu?” bisik sang pria dengan nada tak percaya.
“Tentu saja. Aku selalu menyimpan setiap kata dari mulutmu dalam memoriku,” sahut Gabriella santai. Tangannya terus bergerak ringan menyapu sunscreen agar tersebar merata di pipi gembul Pangeran Kecil.
“Lalu, bagaimana dengan cintaku? Apakah kau menyimpannya dengan baik dalam hatimu?” tanya Max sembari mengangkat sebelah sudut bibir lebih tinggi. Kepala pria itu tanpa sadar telah bergerak maju, menunggu sang istri untuk kembali mempertemukan pandangan.
Mendengar rayuan yang begitu mulus, Gabriella sontak mengembuskan tawa. Namun, alih-alih mengelak, wanita itu malah menyunggingkan senyum manis dan memiringkan kepala. “Tentu saja. Segala hal tentang dirimu dan Pangeran Kecil tidak boleh lolos dari pendataanku,” jawabnya lembut, sukses melambungkan hati sang suami.
“Apakah kau sedang merayuku?” tanya Max seraya menyipitkan mata. Ia sudah lama tidak mendengar Gabriella menyambut candaan dengan perkataan romantis.
“Bukankah itu sudah jelas?” balas sang wanita sembari mendekatkan wajahnya ke arah Max.
Dalam sekejap, jantung sang pria berdebar menyebarkan semangat. Sambil menggigit bibir, ia menahan diri agar tidak mengungkapkan gejolak dalam dada.
“Kenapa? Apakah karena kau sudah tidak sabar ingin mengundang anak kedua?” selidik Max dengan suara rendah yang sedikit serak.
“Kau adalah pria jenius, Suamiku. Kau seharusnya sudah bisa menebak itu,” jawab Gabriella sambil tersenyum simpul.
Hanya dalam satu detik, paru-paru Max dipenuhi oleh kegembiraan. Ia tidak mampu lagi menahan desakan tawa. “Bagaimana kalau kita mulai mengirim undangan malam ini? Pangeran Kecil sudah lelah bermain hari ini. Dia pasti akan tertidur pulas.”
“Kau tahu? Aku juga berpikir begitu,” bisik sang wanita, menambah bara pada api semangat dalam diri suaminya.
“Selamat, Gabriella Evans. Kau telah berhasil membuatku kesal pada matahari.”
Mendengar pernyataan semacam itu, alis sang wanita otomatis berkerut. “Ada apa dengan matahari?”
“Dia bergerak terlalu lambat ke arah barat,” sahut Max setengah menggerutu. “Entah apa yang harus kulakukan untuk menunggunya tenggelam.”
Tergelitik oleh jawaban sang suami, tawa renyah sontak mengudara. Dengan sebelah tangan, Gabriella mengelus pipi yang tak kalah merah dengan wajah putranya. “Bersabarlah, Max. Kita tidak boleh gegabah. Apalagi, sekarang hanya ada kita berdua yang menjaga Pangeran Kecil.”
“Ya, aku tahu,” jawab sang pria dengan bibir mencebik.
Merasa gemas, Gabriella kembali mendesahkan keceriaan. Tanpa melontarkan sepatah kata, ia merapatkan jarak di antara mereka.
Menyadari maksud sang istri, Max spontan mendekat sambil menurunkan kelopak mata. Pria itu telah siap menyambut kehangatan yang sudah lama menjadi candu baginya. Namun, belum sempat bibir mereka bertemu, sang wanita mendadak mundur. Keheranan otomatis terbit didampingi oleh kekecewaan.
“Ada apa?” tanya sang pria dengan alis berkerut.
Sambil mengulum senyum, Gabriella tertunduk. Ternyata, sebuah kaki mungil sedang bertengger di perutnya.
“Mama Papa Caca,” oceh Cayden dengan bibir mengerucut. Alisnya berkerut, melukiskan protes dengan sempurna.
“Kurasa, Cayden tidak setuju jika kita mengumbar kemesraan di sini,” desah sang wanita sembari mengelus kepala putranya.
Dengan ekspresi kecut, Max mengangkat sang bayi ke depan mata. “Benar begitu, Pangeran Kecil?”
Sedetik kemudian, telunjuk mungil Cayden mengarah ke laut. “Go ...!” pekiknya, masih dengan alis kusut.
“Dia ingin kau menemaninya berlari lagi,” terang Gabriella di sela tawa.
Helaan napas pun berembus panjang dari mulut sang pria. “Apakah kau masih belum lelah, Pangeran Kecil? Kau sudah menandai setiap jengkal pasir dengan jejak kakimu,” ucapnya pelan dan memelas.
“Go ...!”
Selang satu desah pasrah, Max menurunkan putranya ke pangkuan agar Gabriella dapat lanjut mengaplikasikan sunscreen. “Baiklah, mari bermain lagi setelah Mama selesai mengolesi tangan dan kakimu,” ujar pria itu seraya membelai kepala sang bayi. “Semakin banyak energimu terkuras, semakin nyenyak tidurmu nanti malam,” lanjutnya, mengirimkan pesan tersirat kepada sang istri.
Selagi Gabriella menahan tawa lewat gelengan kepala, ponsel dalam saku Max tiba-tiba berbunyi. Tanpa membuang waktu, sang pria memeriksa panggilan yang masuk.
“Apakah itu Waheed?” terka sang wanita sambil menaikkan alis.
“Tepat sekali,” gumam Max sebelum menjawab. “Halo?”
“Selamat pagi, Tuan Max. Rumah Anda sudah selesai dibersihkan dan siap ditempati,” lapor seorang pria dengan nada bersemangat.
Mendengar kabar yang sudah dinanti-nantikan, sudut bibir Max sontak terangkat ringan. “Baiklah, terima kasih, Waheed.”
“Sama-sama, Tuan.”
Belum sempat sang pria menjauhkan ponsel dari telinga, Gabriella telah lebih dulu meluncurkan pertanyaan. “Apakah kita sudah bisa ‘pulang’?”
“Ya,” sahut Max sembari mengangguk singkat. “Setelah Cayden puas bermain, mari kita check-out dan bergegas. Mata Pangeran Kecil pasti berbinar-binar ketika melihat rumah barunya.”
Dengan gerak kepala yang sama, Gabriella melebarkan senyuman. Sedetik kemudian, ia menggoyang-goyangkan kepalan tangan putranya. “Yeay! Kita akan segera pulang ke rumah kedua, Pangeran Kecil.”
Meski bingung dengan apa yang dimaksud sang ibu, Cayden tetap menampakkan deretan gigi mungilnya. Ia tahu bahwa hal baik sedang menanti.