Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Membuat Anak Perempuan

Begitu melihat sang istri berjalan menghampiri, Max spontan mengangkat tangan dari laptop. Dengan mata lebar, ia memutar kursi hingga menghadap wanita yang hanya mengenakan sehelai gaun tipis itu.

“Apakah Cayden sudah tidur?” bisiknya dengan alis tersangga semangat.

“Sudah, tapi di kasur. Dia tidak mau tidur di boksnya,” jawab Gabriella seraya menempatkan diri di pangkuan sang suami. Dengan bibir yang agak mengerucut, ia mengamati desain yang terpampang pada layar. “Apakah pekerjaanmu masih belum selesai?”

“Sedikit lagi, tapi aku bisa menyelesaikannya besok pagi,” sahut Max cepat. Sedetik kemudian, tangannya mulai menjelajah. “Jadi, apakah kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada rendah dan agak mendesah.

Mengetahui bahwa sang suami sudah tak sabar, Gabriella meruncingkan telunjuk ke arah laptop. “Apakah kau yakin tidak ingin menyelesaikannya lebih dulu? Bukankah kau harus mempresentasikan desain ini saat bertemu dengan klien besok?”

“Aku bahkan bisa menyelesaikannya lima menit sebelum meeting, Gaby,” angguk sang pria tegas. “Sekarang, bagaimana kalau kita lupakan soal pekerjaan? Kita fokus saja pada undangan untuk anak kedua. Kau menginginkan anak perempuan yang secantik dirimu, bukan?”

Dalam sekejap, bibir manis Gabriella melengkung indah. “Ya. Apakah kau bisa memberikan itu kepadaku?”

“Tentu saja. Aku sudah meminta tips dari dokter. Hari ini adalah masa yang tepat untuk mengirim undangan. Selain itu, aku juga memohon kepada Tuhan. Cayden pasti akan mendapat adik perempuan,” ucap Max sambil memiringkan kepala mengagumi paras istrinya.

Selang satu helaan napas, pria itu menggeleng samar. “Gaby, apakah kau sadar bahwa dirimu adalah perempuan tercantik sedunia?”

Mendapat gombalan dadakan semacam itu, tawa ringan sontak menemani kerut alis sang wanita. “Kau tidak perlu memuji secara berlebihan untuk mendapatkan pelayanan ekstra, Max. Aku tetap akan memberikannya kepadamu. Kau sudah bekerja sangat giat akhir-akhir ini.”

“Itu sama sekali tidak berlebihan, Gaby. Aku mengatakan yang sebenarnya. Kecantikanmu memang tidak ada tandingannya. Dan ..., aku memujimu bukan untuk mendapat pelayanan ekstra, tapi karena hatiku terlalu bahagia bisa mendapatkan sosok sesempurna dirimu.”

Sekali lagi, suara renyah yang menggelitik hati Max terdengar. Begitu getaran itu tertangkap oleh otak, semangat dalam diri sang pria sontak meluap. Tak mampu membendung terjangannya, ia pun membungkam bibir manis sang istri dengan lahap.

Mendapat serangan tanpa aba-aba, Gabriella spontan terpejam. Setelah mengambil satu napas panjang, barulah ia ikut menghangatkan malam.

Perlahan-lahan, wanita itu dapat merasakan betapa besar keinginan Max untuk menguasai dirinya. Setiap gerakan yang dilakukan oleh sang suami terasa begitu membara. Ia sadar bahwa pria itu pasti sangat merindukan keakraban yang telah beberapa hari tertunda.

“Apakah kau mau melakukannya di sini?” bisik Gabriella saat Max membebaskan bibirnya untuk mengembalikan kadar oksigen dalam darah.

Sembari mengagumi pahatan indah di atas pangkuannya, pria itu melebarkan senyuman. “Ya. Apakah kau keberatan?” balasnya dengan sebelah alis terangkat menantang.

Sambil menangkup pipi suaminya, Gabriella menggeleng. “Asalkan tidak ada cahaya, aku tidak keberatan. Kau ingat bahwa salah satu dinding di ruangan ini transparan, bukan? Aku tidak ingin seseorang menyaksikan kemesraan kita lewat teropong dari kapal pesiarnya.”

Mendengar gurauan sang istri, Max spontan tertawa. “Baiklah,” sahutnya sebelum menutup laptop dan mematikan lampu lewat perintah suara. Begitu kegelapan menelan cahaya dan hanya menyisakan sinar bulan, siluet Gabriella langsung terbentuk dengan indah.

“Astaga, Gaby ...” erang sang pria sebelum menggigit bibir sejenak, “kau bahkan terlihat sangat cantik dalam gelap.”

“Tidak perlu berlebihan, Max,” geleng Gabriella sembari meringis. “Kau bukan hewan nokturnal yang bisa melihat dalam remang-remang.”

Sadar bahwa sang istri salah memahami kata-katanya, Max sontak mendesah pasrah. “Terserah kau ingin percaya atau tidak. Yang pasti, aku sangat bahagia karena istriku adalah dirimu.”

Belum sempat Gabriella menimpali, sang pria telah lebih dulu menyerang titik lemahnya. Sambil terkesiap, wanita itu merapatkan pelupuk mata.

Dalam gelap, kepekaan indra selain penglihatan otomatis meningkat. Aroma sampo yang maskulin, pergerakan jari yang begitu terlatih, serta suara kecap dari bibir lembut sang suami—segala sesuatu tentang Max mendadak terasa lebih intens. Apa pun yang dilakukan oleh pria itu dapat dengan mudah membuat Gabriella terbuai. Sang wanita akhirnya lupa bahwa dirinyalah yang seharusnya melayani, bukan dilayani.

“Haruskah aku memulainya sekarang?” bisik Max saat merasakan tubuh sang istri mulai membara.

“Ya,” jawab wanita yang tak mampu menahan udara dari paru-parunya agar tidak menderu.

“Kalau begitu, berbaliklah ....”

Tanpa berpikir panjang, Gabriella beranjak dari pangkuan. Sebelum wanita itu kembali duduk, Max sesegera mungkin mengeluarkan alat permainan.

“Mari kita mengundang seorang adik perempuan untuk Cayden,” gumam pria itu dengan senyum semringah.

Selang beberapa saat, Max mulai mendesah lega. Kehangatan yang telah dinantikan selama berhari-hari akhirnya kembali membungkus dirinya. Sambil mengecup pundak sang istri, pria itu mulai menjalankan mesin.

“Apakah kau nyaman?” tanya pria itu di pintu telinga yang sesungguhnya telah memerah.

“Aku tidak pernah merasa tak nyaman denganmu, Max,” balas Gabriella, sukses menerbitkan kegembiraan yang lebih besar dalam hati sang suami.

Sambil menghafal bentuk pahatan lembut yang menegang di atas pangkuannya, pria itu terkekeh. “Kalau begitu, mari lakukan dengan perlahan,” ujarnya sebelum membuat Gabriella memekik.

“Max ...!” Tanpa sadar, wanita itu mencengkeram tangan yang baru saja mengusili dirinya.

“Sst ..., jangan berisik, Gaby. Kau bisa membangunkan Pangeran Kecil,” bisik pria yang diam-diam tersenyum puas.

“Tolong jangan lakukan itu lagi,” pinta Gabriella sembari mengerutkan alis. “Apakah kau lupa kalau bagian ini menjadi lebih sensitif sejak menyediakan makanan untuk anak kita? Ini bukan adonan kue yang bisa kau remas sekuat tenaga.”

Alih-alih merasa bersalah, Max malah terkekeh. “Maaf, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya, Gaby.”

“Kalau kau melakukannya lagi, aku akan marah padamu,” tegas wanita yang tidak sadar bahwa ancamannya merupakan suatu kesenangan bagi sang suami.

“Memangnya, apa yang akan terjadi jika aku melakukannya lagi?”

Sedetik kemudian, jeritan Gabriella kembali terdengar. Merasa kesal, wanita itu pun meringis.

“Sudah kubilang, jangan mengulanginya!” tegurnya sembari menampar-nampar tangan sang suami. Ia tidak sadar bahwa guncangan dari tubuhnya malah membuat Max terpejam dan mendesah tanpa suara. “Aku tidak akan melanjutkannya malam ini kalau mood-ku hancur.”

Merasa kalau dirinya sudah tiba pada ujung batas aman, Max sontak mendekap sang istri dengan hangat. “Baiklah, maafkan aku, Gaby. Tidak akan kulakukan lagi,” ujarnya sembari mendaratkan kecupan di pipi.

“Aku bukan Julian yang bisa berulang kali kau usili,” tutur Gabriella dengan nada memelas. Bibirnya telah mengerucut seperti Cayden saat cemberut.

“Tentu saja bukan. Kau adalah satu-satunya wanita yang kucintai, selain anak kita nanti,” balas Max sambil menempatkan dagu pada pundak sang istri. “Jadi, apakah kau bersedia memaafkanku dan melanjutkannya malam ini?”

Walaupun sang suami tidak melihat ekspresinya, Gabriella tetap mempertahankan kerut alis. “Hanya kalau kau berjanji untuk tidak bersikap jail lagi kepadaku. Bukankah aku sudah lama berhenti mengusilimu?”

“Baiklah, baiklah,” ucap sang pria sebelum kembali menambah kecepatan secara perlahan. “Sekarang, apakah kau mau lanjut atau berhenti?” tanyanya lembut.

Dengan detak jantung yang mulai meningkat, sang wanita kesulitan untuk menolak. Ia tidak bisa memungkiri bahwa tubuhnya juga membutuhkan sang suami. “Lanjut,” sahutnya hampir tak terdengar.

Sambil menahan tawa, Max menarik napas panjang. “Baiklah, kalau begitu ... mari kita luncurkan undangan untuk anak kedua!”

Namun, baru beberapa kali sang pria mendesak, seseorang tiba-tiba memanggil. “Papa?”

Dalam sekejap, pasangan itu membeku dan terbelalak. Mereka sadar bahwa suara yang tertangkap oleh telinga itu datang dari jarak dekat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel