Bab 3 Sekolah di Dusun Terpencil
Bab 3 Sekolah di Dusun Terpencil
Gala kaget melihat jalan yang harus mereka lalui, bukan main berbahayanya. Mereka akan melewati jalur motor yang terbuat dari campuran semen, krikil dan pasir, itupun hanya akan memuat satu motor saja. Dan lagi, di beberapa bagian yang masih terjangkau oleh mata terlihat rusak dan licin karena lumut.
Gala mendongak, matanya menyisir sepanjang jalan yang hanya ditumbuhi pohon-pohon kayu besar. Jalan menanjak, pun tidak ada tanda-tanda kehidupan yang menyambut mereka. Gala memutuskan untuk turun dari motornya. Sepertinya mereka harus menggunakan rencana B yang telah mereka rapatkan semalam.
"Bagaimana?" tanya Hayyan ikut turun.
"Ini aman kok selama hujan tidak turun," Said yang ditugaskan oleh Kepala Desa untuk mengantar mereka mengunjungi Dusun yang sedikit terisolasi dari keramaian, menjelaskan dengan baik. Ia sudah berkali-kali menaklukan medan tersebut dengan motor trailnya.
"Bagaimana dengan cewek-cewek?" tanya Alan. Cowok itu berboncengan dengan Deya, sementara Naswa berboncengan dengan Ana.
"Begini saja, biar dari pihak laki-laki yang meninjau pemukiman di atas, yang cewek bisa pulang duluan ke posko," Gala mencoba jalan tengah.
"Tidak, Aku tetap ikut. Kita harus meninjau sama-sama." Nasywa membuka suara. Sejak semalam gadis itu sudah mulai mendebat Gala, taringnya mulai tumbuh.
"Ia benar, Aku juga tetap ikut," Deya ikut bersuara.
Gala mendesah pelan, Ia tidak mungkin mengakui jika dirinya tidak bisa berboncengan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Gala menatap Hayyan gusar. Tatapan mereka bertemu.
"Ana tidak mungkin bisa membawa motor ke atas," Gala masih bertahan dengan pendapatnya.
"Kita tukaran boncengan saja, apa susahnya sih," usul Nasywa, Ana mengangguk, Iapun sama, ingin melihat secara keseluruhan kondisi Desa tempat mereka mengabdi.
"Saya bisa membonceng salah satu dari kalian," Said menawarkan.
"Aku dengan kak Said saja," Ana cepat-cepat naik ke boncengan laki-laki itu, meski sedikit sempit, Ana tidak apa-apa, dari pada Ia harus bersama Gala si laki-laki cuek atau bersama Hayyan. Ana tidak mau perjalanan mereka terasa hambar.
"Aku dengan Hayyan saja." ujar Nasywa, meski ingin sekali bersama dengan Gala, Nasywa tidak akan mau mengatakannya. Kecuali jika laki-laki itu yang menawarinya, Nasywa akan menerima dengan senang hati.
"Baiklah kalau begitu. Nasywa, Kamu sama Hayyan saja. Biar Aku yang sendiri," Nasywa mengangguk.
Perjalanan dilanjutkan, Said yang memimpin mereka. Motor laki-laki itu melaju dengan kecepatan stabil, Ana berpegangan dengan erat. Takut terjatuh. Di sisi kiri mereka jurang menganga, gemuruh air sunga terdengar dengan jelas. Sementara, di sisi kanan jalan, batu-batu besar berdiri dengan kokoh.
Deya memekik ketika motor yang Ia dan Alan naiki tiba-tiba mogok di tanjakan. Nasywa mencengkram jaket Hayyan dengan kuat ketika motor mereka merosot ke belakang. Hayyan tidak bisa mengendalikan motornya ketika motor Alan yang berada di depannya berhenti tiba-tiba.
"NASYWA," pekik Deya. Said dan Gala segera menghentikan motor ketika mendengar pekikan Deya,mereka berhenti begitu mendapat jalanan yang sedikit landai.
Nasywa memegang dadanya ketika motor Hayyan tiba-tiba berhenti dengan posisi melintang menutup jalan. Beruntung laki-laki itu bisa menguasai motornya dengan cepat, jika tidak. Hayyan dan Nasywa akan berakhir di jurang.
"Kalian tidak apa-apa?" terdengar teriakan Gala dari atas.
"Kami baik-baik saja, Alan kau bisa jalan duluan, tunggu kami di atas," pungkas Hayyan. Naswya sedang berjongkok di jalan, badannya sedikit gemetar karena kaget.
Hayyan yang merasa bersalah segera turun dari motor, mengabaikan tangan dan kaki kirinya yang berdarah.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Nasywa menggeleng cepat.
"Hanya sedikit kaget saja." Hayyan mengangguk mendengar jawaban Nasywa. "Tangan kamu berdarah," Nasywa segera merogoh sakunya, mencari antiseptik dan juga plaster yang selalu Ia bawa kemana-mana. Dengan cekatan Naswa membersihkan luka di tangan dan kaki Hayyan kemudian membalutnya dengan plaster.
"Terima kasih," ujar Hayyan, Ia naik kembali ke motornya. Alan yang hendak menolong mereka memutar arah melihat pemandangan yang sedikit akwar itu.
"Ayo naik lagi. Kita dikejar waktu," Nasywa menuruti perkataan Hayyan, kembali ke boncengan laki-laki itu dan motor kembali melaju.
Sepanjang jalan tidak hanya Hayyan yang merapalkan doa-doa, Nasywapun sama. Mereka berdua mengalami shock ringan. Tidak ada percakapan di antara mereka, sibuk dengan pikiran masing-masing.
*
Setelah menempuh perjalanan yang cukup menguras tenaga dan perasaan. Akhirnya mereka tiba dengan selamat. Gala dan teman-teman mengucap syukur setelah melewati perjalanan pertama mereka yang mengerikan.
Said membawa mereka ke sebuah sekolah yang bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Mereka melihat sekolah yang mirip sekali dengan kondisi sekolah pada film Laskar Pelangi, kondisi sekolah di dusun tersebut bobroknya hampir sama. Pun ruangannya hanya ada lima.
Ruangan pertama untuk kelas satu dan kelas dua yang digabung, kemudian ada kelas tiga, kelas empat, kelas lima dan terakhir kantor yang bergabung dengan kelas enam. Nasywa terheran-heran melihat kondisi memprihatinkan tersebut.
"Assalamu’alaikum pak," Gala menyapa Kepala Sekolah yang menyambut mereka hangat.
"Waalaikumsalam, mari masuk," ajak Kepala Sekolah. Deya menyikut Ana, memperlihatkan ponselnya yang tak bersignal.
Sebenarnya daerah seperti apa yang mereka kunjungi ini? Mengapa pemerintah tidak menaruh perhatian pada mereka? Jalan yang tidak layak disebut jalan, sekolah yang nyaris ambruk, dinding yang terbuat dari kayu sudah lapuk dan berlubang, juga tidak ada listrik dan signal. Deya tidak bisa membayangkan jika Ia harus berada di tempat tersebut selama sebulan.
"Assalamu’alaikum,"
"Waalaikumsalam," jawab mereka seretak dengan kepala menoleh ke arah pintu.
"Pak Kepala Dusun, mari masuk pak," sambut Kepala Sekolah. Gala berdiri diikuti yang lain. Mereka menyalami Kepala Dusun satu-persatu.
"Tadi malam Kepala Desa menelpon, katanya ada anak KKN yang datang. Kami senang mendengar kabar baik tersebut,"
"Pak Kepala Dusun ada sinyal?" tanya Deya takjub. Ia sedari tadi menggeser posisi ponselnya dan belum juga mendapatkan sinyal barang satu garispun. Hanya ada tanda silang dan dengan tulisan panggilan darurat.
"Huss," Ana menyikut Deya. Yang disikut malah cengengesan menggaruk tengkuk. Salah tingkah ketika matanya tidak sengaja menubruk tatapan Gala yang tidak bersahabat.
"Bapak menggunakan Hp ini, Hpnya harus digantung di dinding rumah biar dapat sinyal," Pak Kepala Dusun menunjukkan ponselnya. Deya berdecak kagum.
"Jadi begini pak, maksud dan tujuan kami datang ke sini, untuk meninjau setiap Dusun yang ada di Desa ini. Barangkali, ada usulan untuk program kerja kami selama sebulan ke depan," Gala segera angkat suara. Tidak ingin berlama-lama dengan pembahasan yang menurutnya kurang tepat di bahas pada pertemuan pertama mereka.
"Sebenarnya Kami kekurangan Guru di sekolah. Kami hanya punya empat Guru, dua dari Desa yang cukup besar di bawah dan dua yang menetap di sini. Alangkah senangnya kami jika ada yang berkenang untuk sementara membantu tenaga pengajar di sini," Gala mengangguk mengerti.
"InsyaAllah kami akan mengusahakan untuk usulan tersebut," pungkas Gala.
Gala tidak ingin mengecewakan orang-orang yang ada di Desa ini. Ia akan mengusahakan yang terbaik, menerima semua masukan dan berusaha untuk menjalankannya. Waktu mereka hanya sebulan lebih beberapa hari.
"Jika ada yang ingin menginap, kalian bisa memilih menginap di rumah Saya atau rumah pak Guru," tawar Kepala Dusun.
"Apakah di sini ada Dokter atau tenaga kesehatan yang lain pak?" Nasywa ikut membuka suara. Sedari tadi Ia ingin bertanya.
"Kami harus ke bawah untuk berobat nak," jawab Kepala Dusun. Nasywa segera mencatat dua program kerja yang akan Ia usulkan pada rapat malam nanti.
Setelah berdiskusi panjang lebar, Kepala sekolah mengajak mereka untuk melihat-lihat kelas. Betapa bahagianya anak-anak berseragam merah putih itu ketika Gala dan teman-teman mengajak mereka berinteraksi. Tidak cukup lama, Kepala Dusun mengajak mereka berjalan-jalan menyapa warga yang tinggal di daerah tersebut.
Tidak banyak rumah yang mereka temui. Juga, jaraknya yang terpisah jauh membuat suasana Dusun semakin terlihat mati. Hutan lebat dengan tebing dan jurang mengaga menjadi pemandangan di dusun tersebut, menambah kesan horor dan angker.
Tidak ada listrik, tidak ada kendaraan lalu-lalang, tidak ada bangunan-bangunan tinggi, apalagi super market. Kalian hanya akan menemukan hamparan pemandangan yang menghijaukan mata. Sejuk dan rimbun. Cocok untuk mereka-mereka yang butuh udara segar dan jauh dari kehidupan modern yang serba canggih.
***