Bab 2 Survey Desa
Bab 2 Survey Desa
Keenam mahasiswa itu menatap spanduk besar yang dipasang di depan rumah Kepala Desa. Penanda untuk posko mereka. Tidak menyangka takdir membawa mereka ke daerah ini dan mempertemukan mereka dengan orang-orang baik.
Tugas pertama mereka selesai, spanduk terpasang dengan baik. Mereka akan lebih mudah ditemukan oleh peserta KKN yang lain. Langkah selanjutnya, memikirkan program kerja (Proker) Desa dan individu.
Sebelum memikirkan semua hal di atas, mereka memutuskan untuk memilih Koordinator Desa (kordes), Sekretaris, dan juga bendahara. Setiap posko harus memiliki perangkat yang lengkap.
"Jadi, pemilihan Kordes langsung tunjuk apa milih nih?" Deya yang selalu bersemangat, mulai berceloteh. Sementara Ana dan Nasywa hanya diam-diam mengamati.
"Biar adil, kita pakai pemilihan, tulis nama, trus dikumpulkan. Jangan lupa digulung," usul Gala. Cowok satu itu memiliki aura pemimpin yang kuat. Beberapa kali Nasywa mencuri tatap ke arahnya.
"Aku setuju," Hayyan mengangguk setuju, disusul Alan, Nasywa, Ana dan Deya yang mengikut saja.
Setelah menulis nama calon yang diusul, masing-masing meletakkan gulungan kertas ke tengah lingkaran. Hayyan yang berinisiatif melakukan perhitungan suara, mengambil gulungan kertas dan membukanya satu-persatu.
"Alan" suara pertama tertuju pada Alan.
"Lah, kenapa jadi Aku nih?" Alan terheran-heran. Siapa yang berani-berani mengusulkan namanya. Deya diam-diam menggigit bibir, pipinya merona merah, menunduk malu-malu.
"Tenang, kan suaranya masih satu," pungkas Ana, berusaha meramal siapa yang berani menulis nama Alan di sana.
"Nasywa," Hayyan melanjutkan tugasnya. membuka gulungan, nama selanjutnya adalah Nasywa, seketika sang calon Dokter menatap Ana penuh tanya, Ana yang merasakan tatapan Nasywa pura-pura memperhatikan arah lain.
"Gala," Hayyan kembali bersuara, membuka gulungan demi gulungan.
"Gala," Gala mulai tidak enak perasaannya. Ia menatap Hayyan dan Alan bergantian.
"Hayyan," Hayyan mengerutkan kening. Ini pasti ulah Gala, tebaknya.
"GALA," Hayyan membuka gulungan terakhir dan membacakan nama Gala dengan lantang.
Gala menggelengkan kepala, ia tidak menyangka jika teman-teman yang baru Ia temui, memilihnya menjadi Kordes.
"Karena nama Gala unggul. Maka, Kordes posko Timpuseng adalah Gala," jeda sebetar. "Bagaimana jika bendaharanya perempuan saja?" usul Hayyan.
"Aku setuju, sekalian sekretarisnya, Kamu saja" Alan memberi suara. Menunjuk Hayyan menjadi sekretaris. Ia ingin lebih bebas tanpa beban.
"Bagaimana dengan yang lain?" Hayyan menatap satu-persatu peserta pemilu, semua menggangguk setuju dengan usulan Alan.
"Baik. Jadi kita menetapkan perangkat posko Timpuseng, Gala Kordes, Hayyan Sekretaris dan Naswa bendahara." Keputusan tidak bisa lagi diganggu gugat. Tugas mereka mengembang amanah dengan baik dan menjadi sebaik-baik pemimpin bagi Gala.
Setelah pemilihan perangkat posko, mereka berenam memutuskan untuk berjalan-jalan keliling Desa, sekaligus mencari toko yang menjual alat tulis-menulis. Gala yang ditetapkan menjadi Kordes, segera mengajak teman-temannya untuk minta izin pada tuan rumah. Mereka harus menjaga norma kesopanan dan tatakrama.
"Pak, Kami minta izin keluar sebentar," Gala duduk berhadapan dengan Kepala Desa, di samping kiri dan kanannya ada Alan dan Hayyan, sementara cewek-cewek duduk pada kursi terspisah.
"Mau jalan-jalan yah?" tebak Kepala Desa, ini bukan kali pertama Desa mereka dikunjungi oleh anak-anak KKN.
"Ya pak, Kami hendak melihat-lihat, sekaligus meninjau untuk program kerja yang akan kami jalankan." Kepala Desa mengangguk mengerti, dan memberikan mereka izin.
"Berangkat ke Dusun terisolir besok saja yah, medannya terlalu terjal setelah hujan begini, berhati-hatilah. Oh ya, di bawah ada motor dan mobil dinas, kalian bisa memakainya," pungkas Kepala Desa.
"Terima kasih banyak Pak, atas fasilitasnya. Tapi, sepertinya kami jalan kaki saja, biar bisa lebih akrab dengan warga," Jelas Gala sopan.
Karena ingin dekat dengan warga, Gala dan teman-teman memilih jalan kaki, menikmati sejuk suasana desa cukup menenangkan. Setelah bergelut dengan kehidupan ibukota, akhirnya mereka bisa memanjakan mata dengan pemandangan hijau, sawah dan gunung-gunung yang jaraknya terlihat cukup dekat.
"Berasa liburan," Deya menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
Meski mereka berada di Desa, fasilitas jalanan yang ada di sana, bisa dikatakan sangat baik. Mulus dan luas. Di sisi kiri jalan, ada sungai besar, sementara di sisi kanan ada sawah yang ditanami padi, jagung dan kacang.
"Firasatku mengatakan, Aku akan betah di sini,"
Deya merentangkan tangannya dan berlari-lari kecil. Nasywa dan Ana menggeleng melihat tingkah kekanakan Deya. Sementara kaum cowok-cowok sudah berjalan lebih dahulu. Sepertinya mereka tidak memikirkan kaum cewek-cewek yang tidak bisa berjalan cepat. Menyebalkan.
"Cowok-cowok gak peka nih, ya masa, kita ditinggal begitu saja, kalau kita diculik bagaimana?" Deya menggerutu.
"Jangan lebay deh, di sini banyak warga. Tuh, tuh," Ana menunjuk beberapa petani yang sedang menggarap sawah.
"Selamat sore Neng," sapa seorang pemuda dengan pakaian bersimbah lumpur. Ana jadi malu sendiri ketika Ia terpergok menunjuk pemuda itu.
"Aih jadi malu," Ana, menutup wajahnya yang memerah.
"Sore mas, numpang lewat yah," Nasywa yang membalas. Ia tidak ingin jika mereka meninggalkan kesan sombong pada pertemuan pertama ini.
"Silahkan Neng," balasnya tersenyum. Nasywa dan Deya ikut mengulas senyum, sementara Ana masih menunduk malu-malu.
Nasywa dan teman-teman mempercepat langkah ketika melihat Gala, Alan dan Hayyan sedang menunggu mereka di depan sebuah tokoh dengan spanduk besar bertuliskan (FOTO COPY WAHID), tersedia banyak daftar pelayanan pada tokoh tersebut.
"Tadi, ngapain berdiri lama di sana?" tanya Alan, gemas dengan teman-temannya. Mereka harus menunggu lebih lama.
"Anu, tadi ada Pak Tani yang menyapa kita, biar sopan, kita sapa balik," jelas Deya.
"Anak KKN yah?" tanya sang empunya toko. Tanpa menjawab pun, penampilan mereka yang menggunakan almamater merah dengan logo kampus di dada kiri, sudah menjawab semuanya.
"Iya pak. Kami baru tiba siang tadi," jawab Gala cepat.
"Wah, selamat datang yah. Semoga betah di Desa kami. Kalau kalian butuh sesuatu jangan malu-malu ngomong sama warga. Mereka baik-baik dan selalu menyambut anak KKN dengan baik," pungkas si bapak, kemudian mengajak mereka masuk ke rumah. "Ayo masuk dulu, mari."
"Terima kasih pak," jawab mereka serentak. Seperti latihan pramuka saja, saking kompaknya.
Benar kata senior-sernior mereka. KKN itu enak. Bisa berinteraksi langsung dengan warga, bisa lebih dekat dan tentu saja ilmu yang mereka dapat bisa dipraktekkan lebih cepat.
"Jadi di rumah ini tuh, anak-anak Karang Taruna sering berkumpul, kalau kalian ingin berkenalan, kalian bisa datang setelah salat isya." bapak yang tidak memperkenalkan namanya itu menyuguhkan kopi dan cemilan, kemudian mengajak mereka mengobrol.
"Jadi di Desa ini ada Dusun yang sedikit terisolasi yah pak?" tanya Nasywa.
Ia mulai antusias dengan topik-topik yang diangkat si bapak, terutama ketika menjelaskan Dusun yang sulit diakses oleh kendaraan roda empat. Nasywa mulai penasaran dan ingin mengunjungi Dusun tersebut.
"InsyaAllah, kami akan mengunjunginya besok pak,"
Sama dengan Nasywa, Gala juga penasaran dengan daerah yang dimaksud. Ternyata di derah yang jaraknya bisa dibilang masih dekat dari kota, ternyata memiliki daerah-daerah terpencil tanpa fasilitas jalan yang memadai. Jiwa kemanusiaan Gala mulai terpanggil.
"Kalian bisa mengajak anak-anak Karang Taruna untuk berangkat bersama, bahaya kalau kalian berangkat tanpa orang berpengalaman," jelas si bapak.
"Oh Ia, boleh kami tahu nama bapak?" Hayyan memberanikan diri untuk bertanya. Sedari tadi mereka mengobrol tanpa berkenalan. Ada pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak akrab.
"Bapak sampai lupa. Kenalkan saya Fahmi,"
Akhirnya mereka melakukan perkenalan dengan baik, saling bersalaman dan melempar senyum. Senang rasanya bisa bertemu dengan orang-orang seperti Pak Fahmi ini. Semoga warga yang lain menerima mereka, sebagaimana pak Fahmi menerima mereka dengan baik.
"Sepertinya kami harus pamit sekarang pak, sebentar lagi magrib," Gala memohon izin untuk pamit.
"Benar-benar, diminum dulu kopinya, bapak siap-siap dulu, sekalian kita berangkat ke masjid sama-sama," Masjid di Desa tersebut berada tepat di sisi rumah Kepala Desa. Tidak ada salahnya jika mereka jalan bersama saja.
Sepanjang perjalan pulang, pak Fahmi masih sibuk menjelaskan banyak hal. Mulai dari batas-batas wilayah, apa-apa saja yang perlu dibenahi di Desa mereka. Hingga menjurus pada topik mahasiswa KKN yang menikahi gadis-gadis di Desanya.
Menyenangkan bisa mengenal warga seperti Pak Fahmi, selain memberi bahan untuk program kerja, Ia juga memiliki pemikiran luas, enak diajak mengobrol dan bertukar ilmu. Semoga hari-hari KKN mereka akan bertemu dengan Fahmi-Fahmi yang lain.
***