9. Kematian sang pengacara
Gerimis turun di penghujung senja. Mobil hitam yang dikendarai Deri bersama Faris meluncur pergi meninggalkan rumah sederhana itu. Saatnya mereka kembali ke rumah Tuan Radit.
Hari ini Tuan Radit dan Nyonya Rinta baru saja kembali dari bepergian ke luar negeri. Dan Faris harus terlihat ada di rumah.
Faris tampak enggan masuk ke dalam rumah besar itu. Dia telah merasa nyaman berada di rumah Deri. Mbok Darmi menyambut Faris dengan tergopoh.
"Oalah, Le cah bagus. Kenapa wajahmu memar semua seperti ini?" Dengan lembut Mbok Darmi mengusap wajah Faris.
"Terbentur sedikit kemarin karena jatuh, Mbok." Dusta Faris.
Mbok Darmi terlihat prihatin dan menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah. Masuk kamar dulu, bebersih. Sebentar lagi makan malam yo, Le."
Faris hanya mengangguk dan beranjak pergi untuk naik ke lantai atas, kamarnya.
Dia merebahkan diri di atas ranjang. Netranya menerawang memandang langit-langit kamar.
Entah kenapa, ia merasa hidupnya hampa. Padahal ia hidup dalam kemewahan. Dia merindukan saat-saat bersama Emak dan Fatih, yang setiap hari hanya bisa makan sayur daun singkong. Ia juga rindu saat menjajakan tahu bakso buatan Emak. Bahagia sekali jika tahu bakso itu bisa habis. Ia akan tertawa riang bersama Fatih.
Faris mengusap wajahnya, saat terdengar ada yang mengetuk pintu kamarnya. Ternyata seorang pelayan mengabarkan bahwa ia telah ditunggu oleh keluarga Wicaksono di meja makan. Dengan malas dia melangkah keluar.
Seluruh keluarga telah berkumpul. Dan mereka tidak acuh akan kehadiran Faris. Hanya Tuan Radit yang tersenyum dan menyapanya.
Hanya ia saja yang terlihat khawatir melihat wajah Faris yang memar. Semua hanya memandang sinis terhadapnya. Kecuali Fidel.
Pemuda itu tampak tidak acuh dan asyik dengan dirinya sendiri.
Makan malam penuh basa-basi yang ingin segera ditinggalkan oleh Faris. Mereka hanya membicarakan tentang perusahaan dan saham.
Membosankan.
Itu yang terlihat dari raut wajah Faris.
Dan juga Fidel. Ia tampak menghela napas berkali seperti ingin cepat segera pergi dari tempat terkutuk itu.
Fidel memainkan sebuah pisau kecil pengiris daging. Ia memutar-mutarkan pisau itu. Faris diam-diam mengamatinya.
Faris merasa takjub akan kelincahan jemari Fidel dalam memainkan pisau itu.
"Fidel, letakkan pisaunya. Itu bisa melukai orang." Sebuah suara mengagetkan Faris dan Fidel.
Fidel menatap malas pada Kakak tertuanya.
"Aku tidak melemparkannya kepada siapapun," jawabnya santai.
"Tapi ini di meja makan. Pantaskah kamu bermain pisau seperti itu?" Farrel menatap tajam adik bungsunya.
"Sudah-sudah. Mungkin Fidel terlihat bosan mendengar percakapan kita. Dia masih belum mengerti tentang bisnis." Bela Tuan Radit.
"Tapi Fidel harus ikut mendengarkan dan harus tahu. Karena kelak dia juga akan masuk perusahan. Bukan begitu, Pi?" Farrel memandang pada Papinya.
"Iya, tentu saja. Tapi sekarang ini dia masih senang bermain. Bukan begitu, Nak," ujar Tuan Radit. Lalu ia melanjutkan, "begitu juga dengan Faris. Dia juga harus mempelajari bisnis dan perusahaan keluarga kita."
Semua orang terhenyak dengan pernyataan kepala keluarga itu. Bahkan Faris tampak tersedak minumannya sendiri. Hanya Fidel yang tetap tampak tidak acuh.
"Pi ...." Nyonya Rinta memandang bergantian antara suaminya dan Faris.
"Kenapa kalian semua kaget? Bukankah Faris juga anak Papi. Adik kalian. Dia juga berhak." ucap Tuan Radit merasa tidak bersalah.
Nyonya Rinta dan ke dua anaknya memandang sinis pada Faris. Bahkan Farrel terlihat sekali sangat membencinya.
Keadaan itu membuat Faris gerah dan muak.
"Maaf. Sepertinya saya sudah selesai makan. Dan saya tidak tertarik dengan apa yang kalian semua bicarakan. Saya undur diri, Ayah."
Faris berdiri dan mengangguk hormat pada Tuan Radit dan segera pergi naik ke atas.
"Lihatkan, Pi. Ga ada sopan santunnya anak itu. Belum ada diantara kita yang meninggalkan meja makan." Gerutu Nyonya Rinta.
Faris berjalan cepat menuju kamarnya. Samar, masih di dengarnya repetan ibu tirinya itu, di bumbui oleh Felice.
Sedangkan di balik pintu dapur, Deri tersenyum puas mendengarkan semuanya.
Tuan Radit memikirkan Faris untuk masuk perusahaan. Dan itu sangat menguntungkan baginya.
Deri masih tersenyum sendiri saat pintu dapur terbuka tiba-tiba, dan muncul Fidel di hadapannya.
Deri kaget, tapi ia dengan cepat menguasai keadaan. Mata mereka bertemu.
Saling berkilat.
Dan ada senyum seringai di keduanya.
"Ada yang Anda butuhkan, Tuan muda?" Sapa Deri basa-basi.
Fidel mendekatinya. Ia memainkan pisau kecil di wajah Deri.
Deri hanya diam dan wajahnya datar tidak takut sedikitpun.
"Siapa kamu?" tanya Fidel tiba-tiba. Deri tersenyum angkuh.
"Suatu hari nanti, pisau ini tidak hanya bermain di wajahmu. Tapi dia juga akan menggores setiap inci bagian wajah dan tubuhmu," bisik parau Fidel di telinga Deri.
"Saya akan menunggu saat itu, Tuan. Kita lihat, siapa yang akan duluan tergores pisau itu." Deri membalas berbisik juga pada Fidel dengan suara dingin.
Lalu mereka saling menatap. Deri menyadari, Fidel sudah tahu bahwa dirinya adalah seorang pemangsa. Dan pertarungan mereka akan segera di mulai.
Tatapan tajam mereka berakhir saat tiba-tiba mendengar suara gaduh dari ruang tamu. Mereka segera berlari untuk melihat apa yang terjadi.
Di ruang tamu telah berdiri beberapa orang polisi yang sedang berbicara pada Tuan Radit. Nyonya Rinta dan ke dua anaknya terlihat cemas.
"Saya bersama istri baru pulang dari Kanada, Pak. Dan sudah dua minggu saya tidak bertemu dengannya." Tuan Radit menjelaskan pada para polisi itu.
"Kami hanya meminta kesaksian Anda, Tuan. Karena beliau adalah pengacara perusahaan Anda."
"Baiklah, saya akan ikut dengan kalian."
Lalu Tuan Radit pergi bersama para polisi ditemani oleh Pak Anton sekertaris pribadinya.
"Mi, ada apa?" tanya Fidel pada Nyonya Rinta.
"Om Alex, pengacara Papi ditemukan tewas dengan luka tusukan di apartemennya." jawab Nyonya Rinta.
Deri mengernyit dan tampak memikirkan sesuatu mendengar berita itu.
Sedangkan di anak tangga, Faris juga ikut mengernyit ketika mendengar kabar tewasnya pengacara Ayah angkatnya. Ia teringat, Alex adalah pengacara yang membawa Fatih saat itu. Dia kunci tentang keberadaan Fatih. Tapi sekarang ia telah tewas.
"Mungkin Om Alex dibunuh salah satu rekan relasi atau musuh relasinya karena suatu kasus yang sedang ditanganinya." Farrel mencoba menerka.
"Atau bisa jadi, ia mati dibunuh selingkuhannya. Sudah jadi rahasia umum kalau Om Alex punya banyak wanita simpanan." Felice ikut menimpali.
"Sudah-sudah. Kalian ini bisanya cuma menerka saja. Biarkan itu menjadi urusan polisi," ucap Nyonya Rinta lalu memanggil seorang pelayan untuk mengambilkannya minum.
Diam-diam Deri melangkah pergi dari ruang tamu, sebelum majikannya menyadari keberadaanya.
Saat akan berbalik, mata Deri menangkap ekspresi wajah Fidel yang sedang tersenyum.
Tersenyum penuh kepuasaan sambil memainkan pisau kecilnya.