Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Siapa, Deri?

Faris menggeliat. Ia mengerang karena tubuhnya terasa remuk semua. Ia membuka mata perlahan dan tercium aroma kopi masuk indra penciuman.

Netranya mengerjap, ia melihat sekeliling ruangan yang tampak asing baginya. Kamar ini sederhana, hanya satu ranjang berukuran sedang, sebuah almari dan sebuah nakas di samping ranjang.

Faris mencoba duduk. Rasa nyeri dan ngilu di sekujur tubuh membuat ia sedikit kesulitan untuk bangun.

"Sudah bangun, Tuan muda?" Deri masuk ke kamar dengan membawa nampan.

"Di mana ini?"

"Di rumah saya. Makanlah dan minum coklat panas ini dulu, Tuan."

Faris mulai makan karena perutnya juga sudah berbunyi minta di isi. Meski bibirnya terasa perih karena tonjokan Bryan tadi, tapi Faris tetap berusah untuk memakan makanannya tanpa mengeluh.

"Kamu enggak makan?" ucap Faris pada Deri yang hanya duduk diam memperhatikannya.

"Dengan melihat Anda saja, saya udah kenyang." jawab Deri dengan tersenyum.

"Kenapa rumah ini sepi sekali? Kamu tinggal sendiri di sini?"

"Rumah ini sering kali kosong. Dan saya hanya sebulan sekali pulang untuk membersihkannya."

Faris tampak manggut-manggut. Ia menyesap coklat panasnya.

"Sebaiknya malam ini kita menginap di sini dulu. Saya sudah telepon Mbok Darmi agar tidak cemas." Deri berjalan ke arah jendela dan menutup tirainya. Senja mulai hilang dan diganti dengan gelap malam. Suara jangkrik bersahutan di luar.

"Ada atau tidak ada aku di rumah juga tetap sama. Keberadaanku tidak pernah dianggap."

Faris meremas selimut di depannya.

"Jangan pedulikan mereka. Yang paling penting adalah Tuan Radit menyayangi Anda, Tuan. Itu sudah cukup."

Hibur Deri.

"Tapi ... apa kamu tidak merasa aneh, Deri? Kenapa ayah Radit mengangkatku anak, sedang Fatih nggak? Saat itu alasannya bahwa Nyonya Rinta tidak suka pada anak kecil. Kenyataannya, dia juga sangat membenciku. Aku seperti kuman yang selalu ingin disingkirkannya."

Faris menerawang. Terlihat jelas bahwa ia merasa penasaran.

"Itu yang harus Anda cari tahu, Tuan. Semua ada alasannya, dan di mana keberadaan Fatih juga masih menjadi misteri. Anak sekecil itu, haruskah juga disingkirkan?"

"Apa maksudmu disingkirkan? Kamu sepertinya mengetahui sesuatu. Deri, jelaskan!"

Faris mencengkeram bahu Deri. Ada embun di kedua netranya.

"Saya sudah bilang, Anda yang harus cari tahu. Ini hanya analisa saya. Kenapa Fatih tidak ikut diangkat anak juga, dan keberadaannya sampai sekarang entah di mana."

Deri melepas perlahan cengkraman tangan Faris.

"Yang utama, Anda harus mencari tahu dulu tentang keluarga Wicaksono. Dari mana harta mereka berasal selama ini. Dan juga, Anda terlalu emosi dalam bertarung. Pertarungan yang sesungguhnya, kita harus melepas seluruh emosi jika ingin menang,"

Deri menghela napas, lalu melanjutkan. "seorang pemangsa juga harus memiliki otak yang licik untuk mengalahkan lawan. Jangan mudah terprovokasi. Apa yang terjadi hari ini adalah kesalahan fatal. Seharusnya, Bryan bisa mati di tangan Anda."

Lagi, mata Deri berkilat penuh arti. Faris diam dan menyimak. Ia seperti terhipnotis oleh setiap kalimat Deri.

"Besok akan saya ajarkan tentang menyerang lawan dan cara mengendalikan emosi. Seorang pemangsa harus tenang dalam membunuh lawannya."

"Kenapa kamu yakin sekali kalau aku adalah seorang pemangsa? Apakah kau hanya melihat dari sorot mataku?" tanya Faris yang lalu mendapat tawa renyah dari Deri.

"Apakah selama hidup Anda, tidak pernah terbersit sekali pun ingin membunuh orang? Atau pernah melukai seseorang sampai ia hampir tewas?"

Deri memicingkan matanya, sedang Faris tampak memikirkan sesuatu.

Dulu, ia pernah membuat seorang anak hampir tewas. Saat itu, ia melihat Fatih kecil sedang di permainkan oleh seorang anak dengan perawakan tinggi besar. Fatih ditendang dan dipukul.

Lalu Faris membalasnya tanpa ampun. Meski perawakannya tidak sebanding dengan si anak, namun ia dapat mengalahkan anak tersebut, sampai si anak nyaris tewas.

Karena peristiwa itu, Abahnya menjual semua harta benda untuk membayar ganti rugi pada orang tua si anak. Dan karena kejadian itu juga, mereka sekeluarga akhirnya pindah ke luar kota.

Satu tahun setelah itu, Abah Faris meninggal dunia karena kecelakaan.

Faris meneteskan air mata mengenang semua itu. Bagaimana Abahnya yang sangat baik semasa hidup, dan sangat menyayangi dia dan Fatih adiknya.

Dia menyeka air matanya. Tetiba dia merasa malu karena terlihat cengeng di depan Deri.

Deri menepuk-nepuk pundaknya. Lalu menyuruhnya untuk beristirahat kembali. Dan ia keluar kamar.

Deri menuju kamarnya sendiri, membuka nakas yang di kunci dan mengeluarkan sebuah pistol. Ia memainkan pistol itu dan menyeringai.

"Tiga peluru cukup untukku menembak mereka bertiga, suatu hari nanti." Gumamnya sendiri lalu terkekeh.

Deri merebahkan dirinya di ranjang. Ia memeluk pistol itu. Pikirannya melayang pada saat Tuan Radit meminta bantuannya kala itu.

"Aku percayakan Faris padamu. Lindungi dia, karena hanya kamu yang mampu melindungi dan menyayangi dia." Tuan Radit menatap memohon pada Deri.

"Kamu bisa berjanji menjaga rahasia, tentang siapa aku pada Faris?" jawabnya menantang.

"Aku berjanji. Bahkan pada istri dan anakku yang lain tentang siapa kamu sebenarnya. Aku hanya ingin, Faris mendapatkan haknya." Tuan Radit memandang keluar jendela besar kantornya, menatap lurus pada gedung-gedung bertingkat di luar sana.

Deri terkekeh lagi mengingat semua itu.

"Akan kujadikan Faris pemuda yang hebat. Aku tidak sekedar melindunginya. Tapi suatu hari nanti, Faris juga akan kubuat melawanmu."

Deri masih terkekeh dan memejamkan matanya dengan memeluk sebuah pistol.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel